Meningkatkan Perlindungan Untuk Seluruh Pekerja Indonesia
Opini : Timboel Siregar
(Direktur BPJS Watch)
Para Menteri ketenagakerjaan anggota G20 akan mengadakan pertemuan para Menteri Ketenagakerjaan anggota G20 (G20 Labour and Employment Ministers’ Meeting/G20-LEMM) yang berlangsung di Catania, Italia, 22 s.d 23 Juni 2021.
Pertemuan tersebut akan membicarakan 3 isu terkait program dan kebijakan pemerintah antara lain penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak, lebih baik (decent), dan kesetaraan upah bagi pekerja perempuan; sistem perlindungan jaminan sosial dengan dunia kerja yang terus berubah; serta digital platform dan kerja jarak jauh (remote) yang berpusat pada manusia.
Saya nilai pertemuan tersebut sangat baik, untuk bisa mencari solusi dari seluruh persoalan di 3 isu tersebut. Namun demikian terkait dengan 3 isu tersebut, ada beberapa hal yang memang perlu dikritisi sehingga Pemerintah Cq. Kementerian Ketenagakerjaan tidak hanya sekadar membicarakannya namun mampu mencarikan solusi dan mengeksekusinya sehingga ada perbaikan yang cukup signifikan tentang isu-isu tersebut.
Untuk isu pertama yaitu penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak, lebih baik (decent), dan kesetaraan upah bagi pekerja perempuan. Sesuai dengan janji Pemerintah kepada rakyat Indonesia, kehadiran UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dijanjikan akan membuka lapangan kerja sehingga mampu menutupi defisit Angkatan kerja yang selama ini terjadi. Namun demikian Pemerintah hingga saat ini belum memiliki strategi untuk meningkatkan pembukaan lapangan kerja, khususnya di masa pandemi ini.
Kalaupun Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sepanjang kuartal I-2021 sebesar Rp 219,7 triliun, yang tumbuh 4,3% year on year (yoy), namun realisasi investasi tersebut lebih besar di sektor tersier. investasi di sektor primer sebesar Rp 26,6 triliun, sekunder Rp 88,3 triliun, dan tersier Rp 104,8 triliun (atau setara 47,7% total realisasi investasi). Sektor tersier (sektor penyedia layanan jasa) minim menyerap tenaga kerja dan kurang memiliki multiplier effect, dibandingkan dengan sektor sekunder dan primer.
Selain membuka lapangan kerja secara kuantitas, Pemerintah juga memang harus mendorong lapangan kerja yang berkualitas atau layak (decent). Hak mendapatkan pekerjaan yang layak merupakan amanat UUD 1945. Tentunya hak atas pekerjaan yang layak terkait dengan hak pekerja untuk dilindungi dalam bekerja seperti mendapatkan perlindungan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), upah layak, jaminan sosial (enam program jaminan sosial yang ada saat ini), dsb.
Hukum positif di Indonesia sebenarnya sudah menjamin pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak, namun dalam implementasinya hukum positif tersebut dilanggar tanpa pengawasan dan penegakkan hukum yang baik.
Saat ini isu pekerjaan yang layak kerap kali menjadi masalah. Faktor pengawasan yang lemah membuat hak pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak terabaikan. Tingkat kecelakaan kerja terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, di 2017 jumlah kasus kecelakaan kerja sebanyak 123.040 kasus, naik di 2018 menjadi 173.415 kasus, naik lagi di 2019 menjadi 182.835, dan di 2020 menjadi 221.740 kasus. Upaya pencegahan relatif rendah, disertai pengawasan terkait alat dan proses pencegahan kecelakaan kerja yang juga lemah sehingga jumlah kecelakaan kerja terus meningkat tiap tahun.
Upah layak yang dimanisfestasikan dalam upah minimum pun masih banyak belum dirasakan pekerja, walaupun diwajibkan dibayarkan pengusaha kepada pekerjanya. Ini terjadi karena lemahnya penegakkan hukum. Pelanggaran upah minimum banyak terjadi, yang hukumannya pidana penjara, pun kerap kali tidak diproses oleh Pengawas ketenagakerjaan, sehingga menjadi perselisihan hak yang diproses melalui UU No. 2 Tahun 2004.
Berdasarkan data BPS, Februari 2021, tingkat partisipasi Angkatan kerja (TPAK) perempuan masih 54,03 persen sementara pria sebesar 82,14 persen. Dengan data ini seharusnya Pemerintah cq. Kemnaker lebih fokus pada peningkatan TPAK perempuan sehingga lebih banyak lagi perempuan yang bekerja. Demikian juga dengan pekerja perempuan yang banyak diposisikan sebagai pekerja mitra seperti pekerja rumahan yang marak terjadi dan pekerja perempuan yang bekerja di toko-toko atau sektor informal lainnya yang minim keterampilan, perlindungan upah, K3, jaminan sosial, dsb, seharusnya Pemerintah sudah mampu mencarikan solusinya karena hal ini sudah lama terjadi.
Dengan fakta-fakta tersebut memang mendorong terjadi kesenjangan upah antara pekerja pria dan pekerja perempuan. Berdasarkan hasil survei ILO pada Juli 2020, pekerja perempuan Indonesia memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sementara itu secara global, perempuan mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen.
Tentunya kesenjangan yang terjadi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan data global, oleh karenanya pertemuan tersebut bisa digunakan oleh Ibu Menteri Ketenagakerjaan untuk belajar dari negara-negara lain yang leboh baik dari Indonesia. Dan sepulangnya dari Italia, diharapakan Kemenaker menyusun roadmap penurunan tingkat kesenjangan upah pekerja perempuan dan pria.
Tentang isu kedua yaitu sistem perlindungan jaminan sosial dengan dunia kerja yang terus berubah, saya nilai memang pelaksanaan jaminan sosial harus mampu memberikan perlindungan kepada seluruh pekerja Indonesia, baik pekerja formal, informal, hingga pekerja migran kita yang bekerja di luar negeri.
Dunia kerja terus berubah, dan jaminan sosial sosial harus mampu melindungi seluruh pekerja dengan perubahan-perubahan dunia kerja tersebut. Saat ini sudah banyak hubungan kerja kemitraan yang dibangun, khususnya untuk pekerja yang bekerja dengan basis aplikasi seperti ojek online. Demikian juga perusahaan starup yang semakin marak dalam dunia kerja di Indonesia. Seharusnya pekerja-pekerja tersebut wajib dilindungi, dan ini butuh regulasi yang pasti. Selama ini Pemerintah hanya melindungi pekerja formal dengan regulasi-regulasinya.
Dengan perubahan dunia kerja saat ini maka sudah seharusnya Pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan pekerja-pekerja tersebut dilindungi. Sebenarnya Pasal 7 dan 8 Peraturan Presiden no. 109 tahun 2013 mewajibkan pekerja bukan penerima upah (atau pekerja mandiri) terdaftar di program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) di BPJS Ketenagakerjaan, namun dalam pelaksanaannya kepesertaan pekerja mandiri masih bersifat sukarela.
Selaras dengan adanya kepastian perlidungan jaminan sosial kepada pekerja informal dan kemitraan, tentunya Pemerintah Cq. Kemnaker terus berusaha meningkatkan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan dan Kesehatan di sektor formal dan Pekerja migran Indonesia (PMI). Masih rendahnya kepesertaan jaminan sosial bagi pekerja formal dan PMI tidak lepas dari lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum di Indonesia.
Isu ketiga terkait digital platform dan kerja jarak jauh (remote) yang berpusat pada manusia, memang ini akan menjadi tren ke depan. Oleh karenanya Pemerintah pun harus mampu menyeimbangkan hal ini dengan perlindungan bagi pekerjanya, baik dari sisi jaminan sosial, jam kerja, pendapatan, K3 dsb.
Dari seluruh uraian di atas sebenarnya persoalan utama bagi Kementerian Ketenagakerjaan adalah masalah pengawasan dan penegakkan hukum untuk menjamin perlindungan bagi pekerja yang memang sudah ada hukum positifnya. Dan bagi pekerja kemitraan dan informal tentunya Kementerian Ketenagakerjaan mampu membuat regulasi-regulasi yang akan melindungi pekerja-pekerja dengan hubungan kerja tersebut.
Semoga pertemuan di Italia dapat memberikan perbaikan bagi dunia ketenagakerjaan kita untuk meningkatkan perlindungan semua pekerja, bukan digunakan sebagai sarana jalan-jalan.
Pinang Ranti, 22 Juni 2021