Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Menikah Muda

Menikah Muda: Tren atau Pilihan



Menikah Muda: Tren atau Pilihan

Modisty Budiono
Santriwati Ponpes Kauman, Lasem


“Tak kenal maka tak sayang”.

Siapa yang tidak pernah membaca atau mendengar pepatah di atas? Ya, kalimat tersebut telah dikenal luas. Tidak peduli seseorang tinggal di kota atau di desa, atau apakah dia mengenyam pendidikan kampus terbaik se-Nusantara atau hanya tamatan sekolah menengah, di era sekarang, kalimat itu kerap diungkapkan dengan berbagai maksud. Sebagaimana halnya yang netizen sebut dengan ‘modus’. Pepatah di atas sama-sama berfungsi untuk memulai sebuah perkenalan. Tetapi tahukah pembaca, di telinga penulis kini ada sebuah tagline yang lebih sering bergema lagi: “Tak kenal maka ta’aruf”.

Barangkali telah sering didengar, istilah ta’aruf sedang begitu marak di tengah-tengah masyarakat kita, khususnya kawula muda, bahkan hingga detik ketika penulis menyusun tulisan ini. Ta’aruf sudah tidak lagi diucapkan oleh mereka yang berlatar belakang agamis, penghuni pondok pesantren, atau tokoh-tokoh alim lainnya. Kata ta’aruf tak se-eksklusif itu lagi. Seperti tak kenal maka tak sayang, nasib ta’aruf telah menjelma jamur yang tumbuh subur di mana-mana. Lebih dalam lagi, ta’aruf berdampak tak hanya positif, tetapi, menurut penulis, berpotensi lebih banyak negatifnya. Penulis beranggapan ta’aruf bahkan pantas-pantas saja dikatakan sebagai wabah bawaan Covid-19, menyerang hampir di seluruh lapisan masyarakat muda, bahkan di berbagai genre, pemerhati maupun selebriti. Wabah tersebut memicu tumbuhnya “penyakit” lain, tidak lain tidak bukan adalah ‘menikah muda’. Apakah tren menikah muda yang semakin booming sejak Covid-19 muncul di Indonesia ini menjadi pilihan bijak para pelakunya? Penulis lebih senang mencatat terlebih dahulu spekulasi-spekulasi yang memungkinkan keputusan menikah muda dicetuskan.

Dugaan pertama datang dari alasan terkuat yang kerap kali dielu-elukan ialah untuk mengatasi tabu. Ini sejalan dengan yang ditulis Nadira Irdiana dalam artikelnya yang membahas upaya-upaya pencegahan pernikahan terlalu dini pada anak. Kata Nadira, mengapa perkawinan anak masih tinggi di Indonesia adalah karena ketakutan masyarakat terhadap perzinaan semakin kuat seiring dengan meningkatnya konservatisme. Studi ini menunjukkan bahwa alasan orang tua meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka meskipun belum cukup umur adalah karena mereka khawatir anak-anak mereka akan melakukan perzinaan, terutama ketika anak-anak mereka mulai memiliki pacar.

Poin di atas nampak wajar dan terdengar begitu mulia, karena berkaitan dengan upaya mencegah perbuatan dosa. Sebuah surat dalam Al-Qur’an, Az-Zariyat ayat 49 berbunyi wa min kulli syai`in khalaqnaa zaujaini la’allakum tadzakkaruun, dijelaskan, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. Ayat tersebut menjadi sebuah dalil yang kuat, sebuah anjuran, untuk seluruh umat muslim melaksanakan salah satu perintah Allah demi menyempurnakan separuh agamanya. Dalam konteks ini, menikah menjadi perkara yang seribu persen positif, sehingga baik untuk disegerakan. Tak pelak lagi, menikah bukan sesuatu yang tabu yang harus dipertanyakan, apalagi dikaitkan dengan hal negatif. Menikah dalam ayat ini justru menjadi sebuah ibadah yang tiada putusnya, menghubungkan seorang umat dengan Tuhannya bahkan hingga hamba tersebut telah beralih dari alam semesta, alias meninggal dunia. Menikah  juga diyakini menjadi salah satu cara untuk menghindari maksiat di antara laki-laki dan perempuan yang sudah baligh menurut pergaulan dalam Islam. Akan lebih baik apabila bisa menikah muda menurut Islam. Tetapi, mari mengingat lagi bahwa Al-Qur’an juga telah mengingatkan kita untuk tidak langsung menerjemahkan secara harfiah kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an. Diperlukan keluasan dan kedalaman ilmu yang tidak main-main untuk menafsirkan isi Al-Qur’an.

Nah, dewasa ini, tampaknya menikah sudah tidak bertujuan “sepolos” itu lagi. Yang sedang marak ialah secara mudah menjadikan ta’aruf sebagai dalil untuk menjalin suatu hubungan yang baik, lebih agamis, dan terhindar dari macam-macam perbuatan dosa. Padahal pada pelaksanaannya, bisa saja ta’aruf digunakan sesuai kepentingan pelakunya. Ta’aruf menjadi pola hubungan dua manusia yang tak jauh berbeda dengan pacaran. Padahal, dalam pengertian umumnya ta’aruf merupakan kegiatan berkunjung ke rumah seseorang untuk berkenalan dengan seluruh penghuninya. Ta’aruf dapat menjadi langkah tepat untuk mengenalkan dua keluarga yang akan menjodohkan salah satu anggota keluarga mereka. Ta’aruf dapat dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan si anak yang bersangkutan apakah bersedia atau tidak untuk menjalani pernikahan.

Ta’aruf yang sesungguhnya jauh berbeda dengan perilaku pacaran. Pada halaman 20 bagian B, buku “Sejak Memilih, Meminang, Hingga Menikah sesuai Sunnah”, dituturkan oleh pengarangnya, “Yang penting adalah kecintaannya tersebut tidak membutakannya dari kebenaran. Adapun jika cinta itu belum tumbuh sempurna, dan ia mengakui hal itu, akan tetapi ia hendak berusaha untuk saling memupuk kecintaan tersebut dalam rumah tangga nanti, maka semoga Allah menanamkan kecintaan yang luar biasa kepada pasangan yang ikhlas ini.” Keterangan tersebutlah yang lebih tepat untuk menjelaskan ta’aruf, dan yang sebaiknya dijadikan pegangan oleh kita semua. Tetapi menurut opini penulis, pada praktiknya ta’aruf saat ini seringkali melenceng dari pengertian luhur di atas. Menjadi seakan tidak adanya dengan berpacaran.

Tren menikah muda, dibuktikan oleh berita-berita yang beredar di berbagai media, menjadi lebih semarak sejak pandemi Covid-19 merebak. Ini seperti pilihan yang diambil pelaku menikah muda karena alasan kebosanan ataupun ketiadaan aktivitas selama di rumah. Atau, kalau lebih menohoknya lagi, semacam aji mumpung. Pelaksanaan pernikahan di masa pandemi ini tentu saja memiliki beberapa keuntungan, di antaranya yakni memangkas besarnya beban biaya pernikahan. Alasan demikian, bisa dimaklumi namun juga seakan-akan memburu-burukan proses. Asal bisa segera menikah, asal menikahnya lebih murah, asal ikut tren, dan lain sebagainya. Menurut penulis, daripada sekadar mengikuti tren, alasan menikah seharusnya sebagai sebuah pilihan, panggilan, dan bentuk kemantapan hati.

Diceritakan oleh Muhidin M. Dahlan dalam esainya tentang seorang pengarang yang baru wafat di bulan Juli lalu, Ajip Rosidi, bahwa bagaimana Ajip bisa sangat produktif menulis dan menerbitkan lebih dari 100 buku sepanjang hayatnya adalah karena mengambil salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya: drop out dari sekolah untuk kemudian menikah muda dan mengarang. Muhidin memaparkan bahwa bagi sebagian orang ijazah itu sangat penting. Namun, bagi seorang Ajip Rosidi belia, bini lebih penting untuk dibawa pulang ke kampung. Juga, profesi mengarang. Berbini dan mengarang keduanya tidak butuh ijazah. Juga, tidak butuh Jakarta.

Penulis berpikir, pendapat tersebut lucu sekali sekaligus keren. Fenomena Ajip Rosidi bisa saja menjadi sebuah alternatif motivasi bagi siapa saja yang memutuskan untuk menikah muda. Menikah bukan sekadar dijadikan ajang dulu-duluan atau keren-kerenan yang tidak dipikir panjang dan memiliki landasan yang matang. Masih dalam esainya, Muhidin berusaha menunjukkan kepada pembacanya bahwa menikah di usia muda juga dapat dijadikan salah satu tali pecut untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, seperti yang tentu saja telah dipraktekkan oleh sang legenda Ajip Rosidi dan istri dengan berhasil.

Dengan demikian, tren menikah muda yang saat ini tengah riuh, menurut penulis bukanlah satu-satunya cara pandang atas sebuah pernikahan, apalagi acuan untuk diikuti. Menikah bukanlah soal tren, melainkan pilihan. Termasuk memilih untuk tidak menikah yang sekadar mengikuti tren yang sedang viral. Kita boleh menikah muda tentu saja, tetapi sebagai sebuah keputusan yang matang dan berlandaskan syari’ah. Tak mengikuti tren pun tak masalah.


Referensi:

Irdiana, Nadira 2019. Why Raising the Minimum Age for Marriage Is Not Enough for Indonesia to Put an End to Child Brides.
Dalamislam, Redaksi. https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/ayat-pernikahan-dalam-islam
Muhammad, Abu dan Ibnu Shalih bin Hasbullah. Sejak Memilih, Meminang, Hingga Menikah sesuai Sunnah. Bogor: Pustaka Ibnu Umar.
Dahlan, Muhidin M. 2020. Jejak Ajaib Ajip Rosidi: Nikah Muda Tanpa Ijazah SMA Bikin Produktif Nulis.