Menhan Rusia: Moskow akan Melanjutkan Misi Sampai Tujuan Tercapai
Berita Baru, Internasional – Kamis lalu, militer Rusia dan sekutunya di Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk memulai operasi militer skala besar yang bertujuan untuk demiliterisasi dan denazifikasi negara. Operasi itu dimulai setelah serangan berupa penembakan, mortir dan sabotase yang meningkat selama berminggu-minggu oleh angkatan bersenjata Ukraina dan batalyon sukarelawan ultra-nasionalis di Donbass.
Tujuan utama dari operasi militer Rusia di Ukraina adalah pertahanan negara terhadap ancaman militer yang diciptakan oleh Barat. Pasukan Rusia, seperti dilansir dari Sputnik News, akan melanjutkan misi sampai mereka mencapai tujuan untuk demiliterisasi dan denazifikasi negara, kata menteri pertahanan Sergei Shoigu.
Saat berbicara pada briefing hari Selasa (1/3), Shoigu mengatakan bahwa militer Rusia tidak akan hengkang untuk menduduki di wilayah Ukraina, dan menekankan bahwa pasukan akan melakukan segala yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan nyawa warga sipil, termasuk dengan membatasi serangan hanya pada objek militer menggunakan senjata presisi.
“Hal utama bagi kami adalah untuk melindungi Federasi Rusia dari ancaman militer yang ditimbulkan oleh negara-negara Barat, yang mencoba menggunakan rakyat Ukraina dalam pertempuran mereka sendiri melawan negara kami,” katanya.
Shoigu memuji angkatan bersenjata Rusia atas keberanian dan kepahlawanan mereka, juga profesionalitasnya dalam melaksanakan tugas yang diberikan selama operasi.
Sayangnya, tambah menteri pertahanan, pihak Ukraina kian menunjukkan arogansinya di mana mereka tidak ragu untuk menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia, termasuk dengan mengerahkan sistem artileri, senjata berat dan mortir kaliber besar di dekat daerah pemukiman, sekolah dan taman kanak-kanak.
Shoigu juga mengumumkan rencana untuk mengadakan ‘Kongres Antifasis Internasional Pertama’ pada bulan Agustus, yang bertujuan untuk “menyatukan upaya komunitas internasional dalam memerangi ideologi Nazisme, neo-Nazisme dalam segala bentuk manifestasinya di dunia modern.”
Rusia memulai operasi militer skala besar di Ukraina pada 24 Februari setelah menerima permintaan bantuan dari Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk, yang menghadapi peningkatan serangan penembakan, mortir, penembak jitu dan sabotase selama berminggu-minggu. Moskow mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mengakui DPR dan LPR sebagai negara merdeka pada 21 Februari.
Situasi dramatis di Ukraina adalah puncak dari krisis keamanan yang dimulai pada tahun 2014, ketika kekuatan politik pro-Barat yang didukung oleh Washington dan Brussel menggulingkan pemerintah negara itu dalam sebuah kudeta dan menetapkan arah untuk menyeret Kiev ke dalam Uni Eropa dan NATO. Kudeta mendorong Krimea untuk melepaskan diri dari kendali Kiev dan bergabung kembali dengan Rusia. Di Ukraina timur, kebangkitan gerakan pro-kemerdekaan yang masih muda mendorong Kiev mengirim pasukan untuk mencoba menghancurkan perlawanan, yang memicu konflik sipil selama bertahun-tahun. Upaya yang dipimpin Rusia, Prancis, dan Jerman untuk mengakhiri konflik melalui Perjanjian Damai Minsk 2015 gagal membuahkan hasil, dengan pemerintah Kiev secara teratur menolak memberikan Donbass otonomi yang diamanatkan secara konstitusional sebagai imbalan reintegrasi damai ke dalam yurisdiksi Ukraina.