Menakar Perppu Pilkada Serentak Tahun 2020 di Tengah Pendemi Covid-19
Anggota Bawaslu Bengkalis
Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Pemilihan Kepala Daerah. Perppu Tersebut ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 4 Mei tahun 2020. Nomenklatur Perppu adalah perubahan ketiga atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang pemilihan Gubenur Bupati dan Wali Kota menjadi Undang undang. Dengan terbitnya perppu ini setidaknya ada 2 hal besar yang diatur melalui dua pasal tambahan.
Mengenai penundaan pemungutan suara Pilkada 2020 akibat wabah Covid-19. Di antara Pasal 201 dan Pasal 202 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 201A yang mengatur mengenai penundaan pemungutan suara. Ayat (1) pasal tersebut mengatur bahwa pemungutan suara Pilkada 2020 ditunda karena bencana non alam, dalam hal ini adalah pandemi Covid-19 di Tanah Air. Kemudian pada Ayat (2) disebutkan bahwa pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Namun, dalam Ayat (3) diatur bahwa pemungutan suara dapat diundur lagi apabila memang pada bulan Desember 2020 pemungutan suara belum bisa dilaksanakan.
Perppu ini terbit setelah sebelumnya sejumlah tahapan pilkada ditunda akibat mewabahnya Virus Corona yang hingga saat ini masih terus terjadi peningkatan kasus positif bahkan meninggal dunia. Setidaknya ada Empat tahapan yang di tunda oleh KPU pada bulan Maret tahun 2020 lalu. Empat tahapan tersebut itu diantaranya adalah: Pertama, Pelantikan dan Masa Kerja PPS; Kedua, Verifikasi Syarat Dukungan Calon Perseorangan; Ketiga, Pembentukan PPDP dan Pelaksanaan Coklit; dan Keempat, Pemutakhiran dan Penyusunan Daftar Pemilih.
Dengan terbitnya Perppu nomor 2 Tahun 2020 Tantang Pemilihan Kepala Daerah tersebut telah memberikan kewenangan kepada penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU untuk menunda atau melanjutkan pilkada. Karena pada undang undang sebelumnya, tidak diatur dengan jelas siapa yang berwenang untuk menunda Pilkada jika gangguan bersifat nasional, dengan terbitnya perppu ini, KPU mestinya segera mematangkan revisi peraturan KPU (PKPU) tentang tahapan, program, dan jadwal Pilkada 2020. KPU juga harus segera berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait, baik BNPB maupun Kemenkes, terkait kepastian penyelesaian pandemi Covid-19. Sehingga KPU mendapat kepastian apakah hari pemungutan suara Pilkada 2020 dapat dilaksanakan sesuai Pasal 201A Ayat (2), yakni di bulan Desember tahun ini, atau harus diambil waktu lebih lama lagi, sehingga harus menggunakan ketentuan Pasal 201A Ayat (3) yakni Dalam hal pemungutan suara serantak sebagaimana di maksud pada ayat (2) tidak dapat di laksanakan, pemungutan suara serentak di tunda dan di jadwalkan kembali setelah bencana Nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme debagaimana dimaksud dalam pasal 122A.
Dampak Bagi Penyelenggara
Korea Selatan yang telah berhasil dan sukses melaksanakan pemilihan umum ditengah wabah covid 19. Dapat disampaikan bahwa korea selatan telah berhasil menggelar pemilu di tengah wabah pandemic Covid-19 ini pertengah april lalu. Hal ini dapat terlaksana karena pemerintah dan masyarakat di sana sengat disiplin menjalankan prptokol yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan negara tersebut tidak pernah menunda pemilu meskipun dalam situasi perang sekali pun. Dikutip dari berbagai sumber bahkan pada tahun 1952 dalam situasi perang korsel juga menggelar pemilu untuk memilih presiden.
Melihat perkembangan dan situasi penanganan Covid-19 di Indonesia, sejauh ini sangat pesimis pilkada dapat dillaksanakan pada bulan Desember tahun 2020. Kalau pun harus dipaksakan pada bulan Desember dipastikan sangat beresiko yang akan sangat berdampak secara langsung bagi penyelenggaran pemilu dalam hal ini KPU dan Bswaslu hingga penyelenggara di tingkat adhock. Di tambah lagi tingkat disiplin warga masih sangat minim hal ini tentunya akan sangat berisiko terhadap penularan covid 19 kepada penyelenggara, peserta dan pemilih.
Hingga saat ini kasus postitif terkonfirmasi akibat Covid-19 di Indonesia melampaui Negara Negara di Asia Tenggara, mencermati perkembangan kausus saat ini, banyak kalangan ragu pada akhir bulan Mei nanti kasus ini akan berakhir sebagaimana target pemerintah. Trend peningkatan kasus positifnya setiap hari justru semakin bertambah dan anjuran pemerintah untuk tetap di rumah sepertinya tidak begitu berdampak dan terkesan ada kebijakan yang tumpang tindih. Hal ini tentunya menyulitkan bagi penyelenggara pemilu untuk membuka kembali pelaksanaan tahapan, program dan jadwal pilkada serentak tahun 2020 yang harus di mulai pada awal bulan Juni tahun 2020 ini.
Setidaknya ada beberapa resiko yang akan mengancam penyelenggara pemilu di tengah pendemi Covid-19 ini. berbagai risiko yang mungkin terjadi itu seperti keamanan, keuangan, dan logistik. Bahkan dapat dipastikan akan beresiko kepada rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan jika pilkada di laksanakan pada bulan desember tahun 2020. Aspek resiko ini juga mesti harus diantisipasi oleh penyelenggara pemilu agar demokrasi kita tetap berkualitas. Padahal salah satu indikator suksesnya penyelengaraan pemilu dan pemilihan meningkatnya jumlah pemilih dalam setiap kali pelaksanaan pemilu. Ditambah lagi bangsa ini belum secanggih negara-negara maju yang sudah siap melaksanakan pemilihan umum secara eletronik (E-voting).
Efektivitas Penyelengaraan
Terbitnya Perppu Nomor 2 tahun 2020 tentang pemilihan kepala daerah secara normatif telah menjawab kebutuhan penyelengara pemilu untuk di laksanakan atau tidak pilkada pada bulan Desember tahun 2020. Perppu itu menunda jadwal Pemilukada dari yang semula Septermber 2020 menjadi Desember 2020 karena mempertimbangkan bencana Covid-19. Anehnya, waktu penundaan terlalu pendek, dimana potensi wabah potensial terjadi, bahkan bukan tidak mungkin kian meluas. Hal ini tentunya akan merubah skenario penyelenggaraan dan memungkinkan adanya norma baru yang menyesuaikan dengan protokol kesehatan sesuai dengan standar penanganan Covid-19.
Secara umum Perppu Nomor 2 tahun 2020 Tentang Pemilihan Kepala Daerah tersebut telah memberikan ruang yang cukup luas khususnya kepada KPU untuk mengatur secara teknis bahkan menjadwalkan kembali keberlanjutan pemilihan serentak kepala daerah apabila situasi bencana nonalam ini belum juga usai. Penyesuaian pelaksanaan tahapan pilkada selanjutnya ada di tangan KPU. Bagaimana KPU memodifikasi tahapan itu supaya lebih sederhana dengan memperhatikan protokol kesehatan. Meskipun begitu tidak mutlak KPU yang benar benar memiliki kewenangan untuk melanjutkan atau tidak pilkada serentak 2020. Paling tidak ada 3 aktor baru yang di mandatkan oleh perppu pilkada untuk menyepakati pilkada bisa di lanjutkan atau tidak yakni KPU, DPR dan Pmerintah.
Melihat fenomena pendemi ini sejatinya salah satu pasal dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang telah terbit tersebut juga terkesan di paksanakan. Hal ini juga dapat memberikan tradisi baru kepada penyelenggara pemilu untuk mencari formulasi penyelenggaran pemilu di tengah wabah ini. KPU harus memiliki formulasi penyelenggaraan yang inovatif dan tidak bertentangan dengan undang undang ataupaun perutaran. Begitu juga bawaslu sesegra mungkin mengembangkan inovasi pengawasan berbasis elektronik tanpa mengurangi substansi tahapan apa yang akan di awasi. Termasuk bagaimana kemudian KPU sebagai penyelenggara teknis dapat memetakan daerah daerah pilkada dengan status Zona merah, Kuning dan Hijau serta menyusun aturan teknis penyelenggaraan yang akan di operasionalkan di level penyelenggara tingkat adhock.
Menimbang Bahaya Kerawanan Pilkada 2020
Melihat kembali hasil survey Indeks Kerawanan Pemilu yang telah di rilis oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia pada bulan Februari 2020 lalu telah memberikan gambaran setidaknya ada beberapa daerah yang dengan tingkat kerawanan rendah, sedang dan tinggi. Hal ini Bawaslu telah menajdikan empat indikator yang di gunakan untuk menyusun Indeks Kerawanan Pemilu yakni Dimensi Sosial dan Politik, Konteks Pemilu yang bebas dan adil, kontestasi, serta partsisipasi pemilih.
Dengan demikian apabila pilkada tetap dilaksanakan pada bulan desember 2020 setidaknya akan memantik kerawanan pemilu itu sendiri. Melihat situasi yang berkembang dengan kondisi social yang sedang diterpa pandemic covid 19 ini akan memunculkan konflik social yang tinggi. Dan kecendrungan bakal calon atau calon kepala daerah untuk melakukan kampanye terselubung dan mengakpitalisasi bantuan kepada masyarakat berpotensi sangat besar.
Selain itu ada beberapa bahaya yang akan menanti ketika pilkada serentak 2020 tetap di laksanakan, salah satunya adalah pemnyelenggara pemilu, peserta dan pemilih rentan terpapar covid 19. Hal ini harus menjadi perhatian sebagai upaya untuk meminimalisir potensi ancaman penyebaran virus karena harus diakui aturan perundang undangan yang dimiliki oleh Indoneisa dalam melaksanakan Pemilu belum qualified.
Harusnya faktor keselamatan penyelenggara, peserta dan pemilih menjadi indikator utama untuk memastikan apakah pilkada akan di lanjutkan atau di tunda. Untuk itu KPU, Pemerintah dan DPR harus benar benar clear dalam mengantisipasi potensi bahaya yang mengintai seluruh jajarajan penyelenggara pemilu. Apapun itu keselamatan dan kesehatan warga Negara jauh lebih utama dari segalanya. Jangan sampai agenda penting demokrasi untuk memilih kepala daerah justru banyak memakan korban. [*]