Membayangkan Kehidupan Pasca Cetak
Oleh: Joko Priyono*
Dunia terkait cetak-mencetak memiliki hutang besar pada dua orang terkemuka. Mereka adalah Ts’ai Lun, penemu kertas dan Johan Gutenberg, penemu mesin cetak. Atas jasa yang disumbangkan pada peradaban dunia, keduanya dalam catatan Michael Hart termasuk orang berpengaruh dalam karyanya yang berjudulkan Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Pustaka Jaya, 1982). Mereka yang memberikan fondasi dan membangun dunia dalam keping-keping kertas yang dilalui oleh mesin pencetak. Dari sana, lahirlah banyak penulis dengan ide maupun gagasannya yang berkaitan dengan penggambaran akan sebuah dunia dalam perjalanan hidupnya.
Tulisan demi tulisan yang tersublim pada beragam media baik itu koran, majalah, buletin, hingga buku memberikan andil dan pengaruh pada peradaban dunia. Tulisan menjadi sebuah manifestasi intelektual dengan kuasi kerja untuk keabadaian, sebagaimana apa yang pernah diungkapkan oleh seorang sastrawan masyhur Indonesia, Parmoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk kehidupan. Kerja-kerja intelektual belumlah sahih ketika masih mengabaikan keberadaan tulisan. Tulisan adalah satu jalan menuju manifestasi ilmu pengetahuan. Bahkan, tulisan tak dapat dipungkiri kemudian menjelma menjadi sebuah industri dan berelasi pada aspek ekonomi.
Dalam media cetak, tulisan tersusun rapi dalam baris demi baris yang memenuhi layout sebuah koran, larik demi larik pada buletin, lembar demi lembar pada sebuah majalah, serta halaman demi halaman pada sebuah buku. Namun, lambat laun kerja-kerja dalam industri, utamanya cetak sudah mulai berangsur-angsur berkurang dan terlihat lesu, ada pertanyaan yang menjadi penting: sejauh mana industri produksi tulisan dalam bentuk cetak dapat bertahan? Hal tersebut bukanlah tanpa alasan mendasar, pergeseran dan perubahan zaman yang cepat dan dinamis menjadi persoalan lain dalam kemunculan paradigma yang berkembang dalam masyarakat secara luas.
Arus digitalisasi yang semakin cepat menjadikan sebuah realitas yang tak dapat ditampik keberadaannya. Kehidupan tersebut bernama kehidupan digital. Kehidupan dengan berbagai platform yang semakin memudahkan tiap orang dan efektif dalam melakukan komunikasi dan menjadikannya sebagai sarana mengakses pengetahuan. Saat menilik bunga rampai berjudul Buku dalam Indonesia Baru(Yayasan Obor Indonesia, 1999), P.M. Winarno melalui tulisannya Penerbitan Elektronik dan Peluang Penerbitan di Era Internet, menaruh sebuah optimisme: bahwa internet merupakan kesempatan baik bagi penerbit untuk mendapatkan informasi secara lebih cepat dan murah. Para editor dapat mencari informasi yang menarik, kemudian menerbitkannya.
Pergeseran
Namun, apakah perubahan secara mendasar dalam cara pandang mengenai keberadaan arus digital itu semata-mata kemudian menghanguskan kehidupan cetak? Tentu tidak. Sebelum kepada hal tersebut, ada sesuatu yang mestinya diluruskan terlebih dahulu. Dalam hal ini adalah terkait mengenai kesiapan secara kolektif dalam perkembangan masyarakat secara luas. Hal tersebut erat kaitannya dengan keberadaan sains dan teknologi yang kerap digaungkan sebagai sebuah mantra kemajuan, kedigdayaan kehidupan modern. Padahal, selain menghadirkan optimisme, sains dan teknologi yang disalahmaknai juga menghadirkan sederet masalah pelik dalam kehidupan.
Masalah-masalah itu menyangkut mengenai sikap berlebihan dalam menggunakan tanpa dibarengi akan kesadaran untuk terus melatih nalar. Hingga kemudian, muncullah perkara serius yang muncul dan kait-kelindan yang memperburuk keadaan. Kehidupan digital yang sejatinya merupakan proses kesadaran rasionalitas—terdiri atas struktur algoritmik dalam cakupan aturan bilangan biner—ya dan tidak, justru penuh kecamuk dengan hal-hal yang irasionalitas. Akan bagaimana mudahnya bermunculan berita bohong, pengetahuan semu, dan omong kosong yang kesemuanya dengan mudah dimasuki tipu muslihat untuk berebut kebenaran dalam ruang publik.
Pertanyaannya kemudian: apakah saat transformasi yang tak dapat dielakkan menuju arus digital itu sudah menjadikan kerangka acuan untuk mempersiapkan diri? Jangan-jangan barulah sebatas ikut-ikutan tanpa ada kesadaran untuk mempersiapkan. Patutlah, jikalau demikian terjadi. Dunia digital pada akhirnya sangat rentan dalam perebutan identitas. Ia tak sebatas pada kepentingan penyediaan informasi lebih cepat dan instan. Namun, melainkan dari itu, ada identitas yang menjadi taruhan tatkala tidak ada prinsip dan keteguhan sikap sebagi modal untuk menapakinya.
Bernalar
Ketakutan mengenai situasi itu misalnya diungkapkan oleh seorang Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung, Iwan Paranoto. Melalui sebuah buku yang berjudulkanKasmaran Berilmu Pengetahuan(2018), ia mengatakan—nalar berhasil menciptakan teknologi digital, tetapi nalar juga kelimpungan membendung tindakan tak bernalar (unreason) yang memancar dan menunggangi teknologi ciptaannya sendiri. Melihat pernyataan tersebut tentunya ada sebuah dilema tersendiri dalam meneroka bagaimana kehidupan dalam arus digital.
Oleh sebab itu, di sinilah sebenarnya arti penting akan hadirnya nalar. Yang mana, tradisi bernalar itu sudah semestinya dijadikan sebuah kesadaran yang bermuara pada kebudayaan. Kehadiran nalar memang perlu dilatih, sekaligus ada kemauan juga oleh beberapa kalangan yang bekerja pada wilayah tersebut untuk bersama-sama memiliki kesepakatan: ada masa depan kehidupan nyata yang menjadi pertaruhan dalam struktur demi struktur algoritmik yang muncul dalam ruang-ruang digitalisasi. Ada kepentingan berperan di sana untuk mengatasi bagaimana supaya sebuah bangsa tidak mudah dibohongi dan tidak mudah diadu domba.
Secara praksis, hal-hal di atas berwujud pada mereka yang secara otoritas keilmuan harus mau berperan serta dan ikut memberikan sebuah pantikan kesadaran bernalar dalam berbagai ruang yang ada di kehidupan digital. Kiranya, memang ruang-ruang tersebut perlu terus diinisiasi dan diperbanyak. Pekerjaan-pekerjaan ini tak melulu menyangkut dalam bidang penerbitan yang sudah semestinya mengkikuti perkembangan zaman, namun pada aras laian seperti komunitas maupun kelompok diskusi, forum seminar, sosialisasi, dan lain sebagainya. Hal itu sebagai salah satu syarat etika dan tanggung jawab keilmuan.
Dengan kesadaran bernalar tersebutlah pada akhirnya menjadikan ruang demi ruang yang hadir dijadikan sebagai momentum untuk saling menguatkan, berpikir ilmiah, dan bertindak masuk akal. Ada sesuatu yang menarik saat beberapa komunitas maupun pegiat filsafat mengadakan festival dalam jaringan berupa Philofestpada 7-13 Desember 2020. Pada sesi penutupan, salah satu pengajar di STF Driyarkara Jakarta, Karlina Supelli melontarkan sebuah pernyataan menarik menjelaskan konsep gagasan dari filsuf Hans Jonas pada ceramah ilmiahnya: untuk menghadirkan etika tanggung jawab, manusia itu harus dihadapkan pada kewajiban yang pertama untuk etika masa depan adalah membangkitkan perasaan takut. Takut bahwa kita sendiri yang telah menciptakan kehancuran bagi diri kita.[]
*Joko Priyono, Penulis Lepas dan Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta.