Membaca Potensi Community Carbon Market Pasca Kebijakan Nilai Ekonomi Karbon
Berita Baru, Yogyakarta – Pemerintah telah menetapkan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021. Untuk itu, Konferensi Nasional Ecological Fiscal Transfer (EFT) III menaruh perhatian khusus guna pemanfaatan praktik baik dari potensi pasar karbon pasca kebijakan tersebut.
“Yang kita identifikasi dalam diskusi tematik ada tantangan atau kendala, kita identifikasi juga peluang. Kemudian dari peluang dan tantangan tersebut ada rekomendasi tindak lanjut,” kata Stephanie Juwana, dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), selaku Fasilitator kelompok 3 dalam serial diskusi tematik konsolidasi masyarakat sipil yang fokus membicarakan ‘potensi community carbon market pasca kebijakan nilai ekonomi karbon’ pada Konferensi Nasional EFT III, Selasa (15/11).
Tantangan dan Kendala
Stephanie menyebut, setidaknya terdapat 8 poin tantangan dan kendala dalam melihat potensi community carbon market pasca kebijakan nilai ekonomi karbon. Yang pertama diidentifikasi adalah terkait pendataan karbon di Indonesia yang belum benar-benar mendukung.
“Baru merefleksikan 15% dari potensi yang ada” tuturnya.
Kedua adalah terkait blue carbon. Menurut Stephanie masih banyak perdebatan terkait perhitungan nilai padang lamun. Bahkan untuk tanaman mangrove pun, apabila dibandingkan dengan potensi karbon di terestrial, untuk pendataan dan perhitungannya masih lets and found.
Ketiga, kendalanya juga terdapat pada pengetahuan masyarakat dan stakeholder terkait, termasuk pemerintah daerah, menyoal pemahaman NEK yang belum merata. Hal itu kadang disebabkan terputusnya informasi dari pusat ke daerah.
Selain itu, ada beberapa standar perhitungan karbon internasional yang belum diakui oleh pemerintah. Salah satunya yang banyak didiskusikan adalah standar penghitungan Plan Vivo.
“Sehingga hal ini menyebabkan akses ke pasar internasional terbatas, sementara kita tidak bisa hanya mengandalkan relay on pasar domestik. Karena memang untuk pasar domestik ini belum benar-benar berkembang seperti pasar internasional,” terangnya.
Tantangan dan kendala selanjutnya yaitu minimnya informasi terkait asosiasi carbon trader yang dapat dipercaya. Padahal di Indonesia sudah ada Indonesia Carbon Trade Association (ICDTA). “Sebagai LSM butuh informasi yang lengkap, kita tidak ingin masyarakat menjadi terjebak oleh partner yang kurang menguntungkan mereka,” sambungnya.
Keenam, belum adanya instrumen nasional yang dapat memastikan manfaatnya dirasakan oleh masyarakat secara adil. Ketujuh, tingkat kegagalan penanaman mangrove tinggi. Kedelapan dan di saat bersamaan, perkebunan sawit emisinya masih tinggi dan belum ada disintensif yang cukup untuk menekan emisi tersebut.
Rekomendasi Kepada Pemerintah
Dari berbagai tantangan dan kendala tersebut, menurut Stephanie, Konferensi EFT III mendorong rekomendasi untuk pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Agar pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon dapat berkelanjutan dan dirasakan secara langsung dampaknya untuk kepentingan masyarakat.
Pertama, Pemerintah perlu melakukan pengaturan distribusi manfaat yang sesuai dengan kebutuhan daerah dalam pencapaian target-target SDGs dan menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat utama dari NEK.
Kedua, pemerintah juga segera mengakui metodologi Plan Vivo agar karbon Indonesia dapat diperdagangkan di dalam maupun luar negeri, menimbang pasar di luar negeri harganya lebih tinggi.
Rekomendasi berikutnya, Pemerintah melakukan peningkatkan kapasitas KPH dan penyuluh kehutanan terkait NEK sebagai pendamping untuk Perhutanan Sosial dan kelompok masyarakat. Selain itu pemerintah juga melakukan perbaikan pendataan potensi carbon terutama untuk blue carbon yang masih terbatas.
Rekomendasi berikutnya untuk pemerintah adalah memastikan akses informasi agar masyarakat benar-benar mengetahui potensi dan manfaat karbon. Serta melakukan kemitraan dengan funding agency untuk perhitungan di kawasan konservasi. Kedelapan adalah memastikan HPH yang diberikan tidak menyebabkan setback dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
“Yang juga sangat penting, agar pemerintah dan pemerintah daerah “memastikan akses, partisipasi dan kontrol masyarakat termasuk kelompok rentan dalam proses penyusunan kebijakan karbon,” pungkas Stephanie.