Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Melihat Lebih Dekat Toxic Positivity dari Joy di Film “Inside Out”

Melihat Lebih Dekat Toxic Positivity dari Joy di Film “Inside Out”



Berita Baru, Entertainment – Masih ingat dengan cerita animasi “Inside Out” yang fenomenal itu? Film yang rilis pada 2015 tersebut diproduksi oleh Pixar Animation Studios dan berada di bawah bendera Walt Disney Studios sebagai distributornya.

“Inside Out” ditulis oleh Pete Docter dan Ronnie del Carmen dengan bercermin dari pengalaman Pete ketika mengamati adanya perubahan perilaku pada putrinya, Ellie, yang saat itu menginjak usia 11 tahun. Proses pengembangan film ini juga melibatkan para ahli psikologis, lho.

Tak bisa dianggap sembarang, “Inside Out” sesungguhnya mengangkat masalah kesehatan mental yang substansial, sehingga menjadikannya penting untuk disimak. Belum lama ini, media sosial juga heboh dengan teori bahwa Joy adalah penjahat dalam film “Inside Out” yang mempromosikan toxic positivity.

Apa itu? Baca tulisan ini sampai selesai, ya!

Berbasis pada film keluarga

Riley Andersen (Kaitlyn Dias) adalah seorang anak 11 tahun yang pindah dari Minnesota ke San Francisco bersama orangtuanya. Namun kepindahannya itu menjadi asal dari banyak kejadian yang tak diharapkannya. Truk berisi barang mereka tersesat di Texas. Yang paling parah, Riley teringat pada teman-teman dan kehidupan lamanya di Minnesota.

Film ini menyoroti lima emosi pada diri manusia, yakni Fear (takut), Anger (marah), Joy (bahagia), Disgust (jijik), dan Sadness (sedih). Kelimanya hidup sebagai karakter yang digambarkan bekerja dalam benak manusia. Joy dkk mengontrol emosi yang ada dalam diri setiap orang dan membawa Riley berpetualangan menuju kehidupan yang baru.

Kesedihan itu menyebalkan

Dalam film ini, kita melihat bagaimana Sadness dianggap menyebalkan. Ia pemurung, malas gerak alias mager, dan hanya bermuram durja. Joy selalu menjauhkan Sadness dari bola-bola berisi memori bahagia karena jika ia menyentuhnya, maka memori itu akan berubah menjadi memori yang menyedihkan.

Masalah muncul ketika Sadness menyebabkan Riley menangis di hari pertamanya di sekolah baru. Kejadian itu berbuntut pada hancurnya pulau-pulau kepribadian Riley yang terhubung ke pusat pengelolaan emosi, dan membuat Riley jadi sosok yang hilang arah.

Joy berusaha membangun kembali pulau itu dan menjadikan Riley pribadi yang ceria, seperti dirinya. Ia terjebak bersama Sadness di pulau-pulau kepribadian, dan nasib Riley ditangan mereka.

Nggak harus bahagia, kok!

Dalam petualangan Joy dan Sadness, terlihat satu poin yang menjadi kesimpulan seluruh isi cerita: jangan paksakan dirimu untuk bahagia.

Melihat Joy yang mati-matian menjauhkan Sadness dari meja kontrol emosi, seolah-olah mengatakan bahwa manusia harus selamanya bahagia. Padahal, emosi kita kan ada beragam! Boleh nggak sih kita bersedih?

Justru nampaknya kita perlu memberikan ruang pada diri sendiri untuk bersedih. Jujur pada diri sendiri merupakan langkah awal untuk mencintai diri seutuhnya. Ambisi Joy untuk membahagiakan Riley bisa dilihat sebagai bentuk toxic positivity, lho. Apa itu?

Toxic positivity dapat diartikan sebagai kondisi ketika seseorang memaksa diri sendiri atau orang lain untuk selalu memiliki pikiran dan bersikap positif dan bahagia, serta menolak emosi yang cenderung negatif seperti bersedih dan menangis, sebagaimana dilansir dari laman Alodokter.

Padahal, menangis dan bersedih bisa membantu mengurangi beban masalah. Kehadiran Sadness juga berharga, dan Joy baru menyadari di akhir cerita. Ia pun mengajak Sadness, Disgust, Anger, dan Fear bersama-sama menjaga Riley. Apakah kamu pernah mengalami toxic positivity?