Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Masyarakat Sipil Desak Pemenuhan Hak Atas Kesehatan yang Inklusif, Adil dan Setara

Masyarakat Sipil Desak Pemenuhan Hak Atas Kesehatan yang Inklusif, Adil dan Setara



Berita Baru, Jakarta – Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan diharapkan dapat meningkatkan sistem kesehatan di Indonesia. Namun, setelah satu tahun disahkan, implementasi dari undang-undang ini belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Asas utama dari undang-undang ini menekankan bahwa kesehatan mencakup aspek fisik, jiwa, dan sosial, serta harus diakses secara setara dan tidak diskriminatif.

Menanggapi hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan bahwa aspek inklusif sangat penting diterapkan sejak penyusunan hingga implementasi kebijakan. Pelibatan berbagai kelompok kepentingan, termasuk kelompok rentan, menjadi kunci untuk menghasilkan kebijakan yang berkualitas.

“Untuk itu, masyarakat harus memiliki hak untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan, dan mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan,” tegasnya dalam siaran pers yang dikutip Senin (15/7/2024).

Masyarakat sipil mendesak agar penyusunan aturan turunan undang-undang kesehatan mempertimbangkan beberapa poin penting. Pertama, tata laksana layanan aborsi yang mengutamakan kepentingan korban kekerasan seksual, perkosaan, dan individu dalam situasi kedaruratan medis harus segera diimplementasikan. Keputusan dalam tata laksana ini harus diberikan kepada korban dan individu yang membutuhkan layanan.

“Kedua, Kemenkes RI harus mensosialisasikan asas layanan aborsi yang berorientasi pada korban atau perempuan dengan alasan indikasi kedaruratan medis kepada Aparat Penegak Hukum (APH) dengan prinsip HAM, untuk menghilangkan stigma aborsi sebagai tindakan kriminal. Aborsi harus ditempatkan sebagai salah satu upaya pemulihan kesehatan,” jelasnya.

Ketiga, lanjut Koalisi, Kemenkes RI harus memperhatikan aturan lain, seperti UU TPKS, yang mencakup pencegahan, penanganan, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual dan perkosaan agar sejalan dengan prinsip yang mengutamakan kepentingan korban.

Keempat, secara geografis dan akses, tidak semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Maka, perlu adanya task shifting untuk memastikan kewenangan tata laksana aborsi aman dapat diberikan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat primer. Dengan demikian, akses aborsi aman dengan berbagai metode dapat tersedia di fasilitas kesehatan tingkat primer yang paling dekat dengan masyarakat dan korban. Ini akan menciptakan terobosan layanan dalam menangani korban kekerasan seksual dan perkosaan yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan.

Kelima, UU Kesehatan dan aturan turunannya harus mengakomodasi kebutuhan kontrasepsi darurat bagi korban kekerasan seksual, tidak hanya terbatas pada korban perkosaan saja. Akses layanan untuk kontrasepsi darurat dan penanganan kesehatan korban kekerasan harus dimandatkan pada unit-unit atau lembaga pendamping korban berbasis masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS, tidak terbatas pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut.

Keenam, dalam upaya melindungi kelompok rentan, UU Kesehatan telah menunjukkan kemajuan signifikan seperti tercantum di pasal 28 yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan akses Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan yang mencakup masyarakat rentan dan bersifat inklusif non-diskriminatif. UU Kesehatan menegaskan bahwa kelompok rentan juga mencakup individu yang tersisihkan secara sosial karena orientasi seksual dan identitas gendernya. Prinsip ini harus diterapkan dalam penyusunan aturan turunan UU Kesehatan, antara lain dengan tidak lagi menempatkan orientasi seksual tertentu sebagai disfungsi dan gangguan, sehingga tidak memperparah stigma dan diskriminasi pada kelompok rentan termasuk kelompok dengan berbagai orientasi seksual dan identitas gender.

Dalam konteks pelayanan kesehatan, penting untuk memahami bahwa remaja memiliki beragam pengalaman gender dan seksualitas. Akses layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dengan prinsip ramah remaja, terbuka, dan terjangkau harus disediakan tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Layanan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanpa memandang status perkawinan, untuk memastikan remaja dapat menjalani hidup dengan percaya diri, sehat secara fisik dan mental.

Terakhir, aturan turunan UU Kesehatan harus menempatkan kesehatan penyandang disabilitas dalam perspektif Hak Asasi Manusia sebagaimana diamanatkan dalam UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Menempatkan kedisabilitasan sebagai suatu penyakit yang bisa dicegah dan disembuhkan justru melanggengkan stigma dan diskriminasi kepada orang dengan disabilitas, khususnya disabilitas psikososial. Stigma dan diskriminasi masih dominan muncul dalam pasal-pasal dalam undang-undang, seperti pada pasal 41 (1), pasal 71 (1), pasal 89 (2), pasal 93 (2), pasal 109 (3), dan lainnya.

Diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil tersebut terdiri dari:

  1. Save All Women and Girls (SAWG)
  2. Yayasan Kesehatan Perempuan
  3. Perhimpunan Jiwa Sehat
  4. Dokter Tanpa Stigma
  5. Asosiasi LBH APIK Indonesia
  6. LBH APIK Sulawesi Selatan
  7. Transmen Indonesia
  8. Koalisi Perempuan Indonesia
  9. Mubadalah.id
  10. Marsinah.id
  11. Samsara
  12. Yayasan Curahan Hati Sambung Kasih