Masyarakat Pulau Mendol Tuntut Hak Atas Tanah dan Kelestarian Lahan Gambut di Hari Kemerdekaan
Berita Baru, Riau – Dalam peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79 dan Hari Jadi Provinsi Riau yang ke-67, masyarakat Pulau Mendol dari Desa Teluk, Teluk Bakau, dan Teluk Beringin menggelar aksi protes yang mencerminkan kekecewaan mereka terhadap penindasan yang masih mereka rasakan. Dengan membentangkan spanduk bertuliskan “79 Tahun Indonesia Merdeka, 67 Tahun Provinsi Riau, Namun Masyarakat Pulau Mendol Belum Merdeka Dari Jajahan PT TUM,” ratusan warga mengelilingi desa mereka sambil menyuarakan aspirasi dan tuntutan.
Melalui siaran pers yang diterbitkan oleh Walhi Riau pada Selasa (20/8/2024), Aksi yang dimulai dari lapangan bola Desa Teluk Bakau ini diakhiri di pelabuhan desa yang berjarak sekitar 2 kilometer. Spanduk-spanduk protes kemudian dipasang di lahan milik warga sebagai simbol perlawanan terhadap perusahaan sawit, PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM), yang dianggap merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat setempat. Aksi ini ditutup dengan makan dan doa bersama, menegaskan solidaritas dan kesatuan masyarakat dalam memperjuangkan hak mereka.
Aksi ini juga merupakan bentuk respon atas penolakan permohonan kasasi Bupati Pelalawan oleh Mahkamah Agung (MA). Keputusan ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru, yang memerintahkan Bupati Pelalawan untuk mencabut izin usaha perkebunan PT TUM serta menghentikan seluruh kegiatan di areal eks Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B). Namun, keputusan ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan lahan yang selama ini dikuasai oleh PT TUM.
Misbun, perwakilan masyarakat Desa Teluk, mendesak Bupati Pelalawan untuk segera mengambil langkah hukum terkait putusan kasasi tersebut. “Pada kesempatan kemerdekaan ini, kami sampaikan bahwa kami belum mendapatkan hak atas tanah. Proses hukum saat ini menghambat kami mengelola lahan dan kebun, ini seperti terjajah,” ujar Misbun dengan tegas.
Sementara itu, Wati, perwakilan perempuan dalam aksi tersebut, menyatakan bahwa masyarakat Pulau Mendol tetap menolak kehadiran perusahaan yang berusaha merebut dan merusak lahan mereka. “Pulau Mendol ini perlu dilindungi karena merupakan lahan gambut yang harus dijaga kelestariannya untuk memberi manfaat bagi masyarakat,” ungkap Wati. Menurutnya, jika pulau ini ditanami sawit, akan berdampak pada mengeringnya lahan gambut yang menjadi sumber air tanah, yang pada akhirnya dapat menimbulkan krisis air dan meningkatkan risiko kebakaran lahan.
Bagi Misbun dan Wati, Pulau Mendol telah memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat sejak lama. Mereka menegaskan bahwa mereka akan terus melawan upaya perusakan lingkungan di pulau ini. “Kami sangat menolak jika ada perusahaan perusak lingkungan yang hadir di pulau ini, sampai kapanpun akan menolak,” tegas Wati.
Selain itu, masyarakat Pulau Mendol juga meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mengawal gugatan PT TUM di PTUN Jakarta terkait Surat Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor: 1/PTT-HGU/KEM-ATR/BPN/I/2023 tentang Penetapan Tanah Telantar. “Proses ini perlu dikawal terutama oleh Kementerian ATR/BPN untuk memastikan proses hukum berpihak pada hak masyarakat. Kami berharap Majelis Hakim yang memutus perkara kasasi ini memberikan keadilan bagi masyarakat,” tutup Misbun.