Maria Sumardjono: RUU MHA Mendesak untuk Disahkan
Berita Baru, Jakarta – Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono menegaskan, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) mendesak untuk segera disahkan.
Seperti ia sampaikan dalam Webinar Festival Ibu Bumi, Rabu (25/5), ia mengaku resah dengan kondisi masyarakat adat yang sampai sekarang belum memiliki landasan hukum atas wilayah adatnya.
“Saya heran ya, kenapa sejak dulu sampai sekarang RUU MHA selalu gagal disahkan. Harapannya, sebelum 2024, ini sudah sah,” ungkapnya.
Menurut Maria, pengesahan RUU MHA mendesak sebab itu berkaitan erat dengan hak dasar masyarakat.
Jika hak ini tidak dipenuhi, maka itu merupakan sebentuk ketidakadilan yang nyata.
Maria mengatakan, pihak yang bicara tentang reforma agraria memang tidak sedikit. Namun, mereka sekadar menyuarakan isu pentingnya redistribusi dan resolusi konflik.
Isu yang lebih mendasar, mereka justru melupakannya, yakni landasan hukum bagi masyarakat adat berkaitan dengan wilayahnya.
“Kita sering bicara reforma agraria, tapi ketika bicara itu, orang ingatnya hanya redistribusi dan resolusi konflik. Pemenuhan hak masyarakat adat malah diabaikan, padahal ini penting, khususnya dalam bentuk segera disahkannya RUU MHA,” ungkap Maria.
Undang-undang Parsial
Dalam Webinar bertajuk Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia ini, Maria juga menyinggung tentang undang-undang tentang masyarakat adat yang parsial.
Menurut Maria, regulasi yang parsial memang sudah ada, tapi persoalannya itu kerap tumpang tindih.
Akibatnya, pemerintah penting untuk mengumpulkan dan menyempurnakannya menjadi satu UU khusus.
Ia memberi contoh tentang regulasi pertanahan dan kehutanan masyarakat adat. Keduanya membahas tentang wilayah masyarakat adat, tapi jalan sendiri-sendiri.
“Regulasi yang parsial sudah ada, tapi tidak selalu sejalan satu sama lain, bisa tumpang tindih. Contoh, yang pertanahan bicara masyarakat adat dan ulayatnya dan yang kehutanan bicara hutan adatnya. Ini membingungkan,” kata Maria.
“Kalau mendaftar, mestinya yang didata itu seluruh wilayah mencakup tanah, hutan, dan air. Soal pengelolaan, untuk hutan, silahkan KLHK, sedangkan di luar wilayah hutan silahkan ATRBPN. Yang sekarang terjadi, ATR/BPN tidak berani mengelola yang di luar kawasan hutan,” Maria menambahi.
Hak Ulayat
Lebih jauh, Maria menegaskan bahwa hak ulayat MHA tidak mencakup Sumber Daya Alam (SDA) di dalam bumi.
Hak ulayat mereka terbatas pada tanah, hutan, perairan, dan SDA di atasnya.
Akibatnya, untuk pengelolaan dan pemanfaatan SDA di dalam bumi dipegang oleh pemerintah melalui pihak ketiga.
Meski demikian, Maria menengarai, bukan berarti ketika demikian, maka MHA dilupakan begitu saja.
Betapa pun, SDA tersebut tetap berada di wilayahnya, sehingga MHA berhak atas manfaat yang dihasilkan dan pembagian keuntungan.
“Jadi kalau itu dieksploitasi atau dikelola, masyarakat adat harus mendapatkan prioritas manfaat, bahkan termasuk pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDA itu. Ini kita bisa membandingkannya dengan Filipina,” jelas Maria.
Perlu diketahui, diskusi yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co sebagai media partner ini dihadiri oleh Deputy Country Representative TAF Indonesia, Diplomat Keadilan Ekologis HuMa Nora Hidayati, Perwakilan Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai Sumatera Barat Rosmy, dan beberapa lainnya.
Untuk menambah seru diskusi yang ditayangkan langsung di kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi SETAPAK ini, hadir pula Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi sebagai penanggap dan Margaretha Tri Wahyuningsih dari TAF Indonesia sebagai pemberi catatan penutup.