Mantan Kepala BPIP Sebut RUU HIP di DPR-RI Ngawur
Berikut penolakan Forum Penegak Kedaulatan Rakyat atas RUU HIP :
Berkenaan dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diinisiasi DPR RI yang telah menimbulkan kegelisahan masyarakat (umat beragama), khususnya umat Islam dan golongan-golongan masyarakat lainnya yang menghendaki terpeliharanya kemurnian makna Pancasila dari penyelewengan, kami sebagai warga masyarakat Jawa Barat dari berbagai unsur, serta didukung oleh masyarakat di luar Jawa Barat, terpanggil untuk bersikap dan menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Materi yang dituangkan dalam RUU HIP merupakan materi yang sangat penting berkenaan dengan pemaknaan Pancasila, sehingga dapat dikatakan merupakan tafsir atas Pancasila. Oleh karena itu, seyogianya materi tersebut dibicarakan dan dikaji terlebih dahulu secara mendalam dengan melibatkan seluas-luasnya berbagai elemen bangsa, sehingga dapat terpenuhi suatu proses pembentukan hukum yang aspiratif, akomodatif, partisipatif, dan kolaboratif. Penjabaran Pancasila yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 harus dicantumkan di dalam Batang Tubuh UUD 1945, atau di dalam Ketetapan MPR, tidak boleh dituangkan dalam bentuk Undang-Undang karena akan mendegradasi Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi.
2. Mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sekarang berlaku, adalah UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, maka tafsir atas Pancasila harus memperhatikan isi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang mengantarkan berlakunya kembali UUD 1945 tersebut. Pertimbangan substantif terpenting yang secara eksplisit dinyatakan di dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (alinea kelima) adalah menjiwai UUD 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Oleh karena itu, setiap upaya dan kebijakan yang berkenaan dengan pemaknaan dan pelaksanaan UUD 1945 pada umumnya dan Pancasila pada khususnya, dijiwai oleh nilai-nilai agama, khususnya Islam, tidak malah menihilkannya.
3. Tampaknya RUU HIP tidak dimaksudkan untuk mengatasi problem riil yang sangat serius yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia dewasa ini yang telah menjauhkan bangsa ini dari nilai-nilai serta norma-norma yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam RUU HIP tidak terbaca adanya deskripsi faktual yang diungkapkan dengan jujur dan dengan semangat memperbaiki, tentang kondisi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia yang sedang dialami saat ini, yang justru semakin memprihatinkan, seperti nyaris tak bersisanya kedaulatan rakyat dan negara karena sangat tergantungnya pemerintah Indonesia kepada negara komunis Cina; terpuruknya perekonomian di tengah lautan hutang, sangat merosotnya moralitas para penyelenggara negara dan korupsi yang kian menggila, meluasnya PHK dan banjir tenaga kerja Cina yang tak terbendung, dominasi produk-produk impor dari mulai produk industri sampai pruduk pertanian; produk perundang-undangan yang tidak berpihak kepada rakyat banyak, sering terjadinya penegakan hukum yang diskriminatif dan berbau kriminalisasi; dan masih sederet lagi hal yang memilukan dan menyulut kemarahan rakyat. Perlu dikemukakan secara khusus, suatu hal yang sekaligus membahayakan Pancasila dan membahayakan agama adalah dipertentangkannya Pancasila dengan agama, bangsa ini dengan keberagaman agama termasuk didalamya agama Islam. Bagi umat Islam hubungan Islam dan Pancasila sudah final sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
4. Yang sangat dibutuhkan umat beragama terutama Islam sekaitan dengan penegasan dan penjabaran Pancasila adalah, jangan dipertentangkannya Agama dengan Pancasila; jangan jadikan Pancasila sebagai alat untuk memojokan agama, terutama agama dan umat Islam; dan berikan fungsi dan peran yang wajar kepada umat beragama terutama umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Yang mempertentangkan Agama dan Pancasila adalah budak-budak kekuatan kapitalis-liberalis dan komunis yang anti agama utamanya Islam dan ingin mengubah Pancasila menjadi ideologi yang sekular dan materialistik, serta membiarkan pribumi rakyat asli Indonesia sebagai pemilik negeri yang kaya raya ini menjadi sekedar jongos-jongos di negerinya sendiri.
5. Penolakan para inisiator RUU HIP untuk mencantumkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, di dalam konsiderans ‘Mengingat’-nya, mengungkap dengan jelas gagasan apa yang ada di balik RUU HIP dan mau dibawa ke mana Indonesia dengan produk hukum itu. Bangsa Indonesia tidak bisa melupakan tragedi berdarah Gerakan 30 September PKI dan peristiwa-peristiwa berdarah sebelumnya yang melatarbelakangi diterbitkannya Ketetapan MPRS tersebut. Larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tersebut oleh UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
6. BAB II RUU HIP yang berjudul Haluan Ideologi Pancasila memuat pokok-pokok pikiran dan keyakinan yang menjadi ruh dari RUU tersebut. Pancasila bisa diperas menjadi trisila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan) dan diperas lagi menjadi ekasila (gotong-royong). Pemahaman seperti itu merupakan penyelewengan terhadap Pancasila, dan karenanya harus ditolak. Apa yang dinyatakan dalam RUU HIP tersebut bukan gagasan baru. Hal itu merupakan gagasan lama yang sejarah telah membuktikan kegagalannya. Gagasan itu akan mengingatkan bangsa Indonesia pada doktrin Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme), PKI (Partai Komunis Indonesia) dan peristiwa G 30S PKI.
7. Berkenaan dengan ketentuan di dalam Pasal 4 RUU HIP perlu dikemukakan:
a. ketentuan di dalam huruf a. yang menyebutkan, antara lain, “mewujudkan mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”, menjadikan HIP sangat potensial untuk dijadikan alat represi, apalagi jika pemerintahan negara dijalankan dengan semangat fasis atau komunis.
b. pada huruf b. Pasal 4 yang menyinggung bidang-bidang pembangunan nasional, tidak disebutkan bidang agama yang berarti tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bidang spiritual yang disebutkan dalam ketentuan tersebut tidak bisa disamakan dengana agama.
c. pada huruf d tertulis “pedoman instrumentalistik yang efektif untuk mempertautkan bangsa yang beragam (bhinneka) ke dalam kesatuan (ke-ika-an)”. Sejauh ketentuan tersebut diterapkan ke dalam keberagaman agama, maka akan berarti mempertautkan beragam agama ke dalam kesatuan. Ketentuan tersebut memberikan peluang dan dasar hukum bagi pengembangan paham pluralisme agama – suatu paham yang menurut Majelis Ulama Indonesia adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan umat Islam haram mengikutinya. Dalam keberagaman agama ini, yang dituntut adalah sikap saling menghormati dan dapat bekeja sama dalam membangun, memajukan dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, bukan mempertautkan keyakinan ajaran agama-agama ke dalam kesatuan.
d. Ungkapan “kemungkinan terjadi sengketa ideologis berkepanjangan” yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 4 huruf d., bila ditafsirkan dengan pengopinian bahwa “agama (Islam) adalah musuh Pancasila”, akan menjadi landasan hukum bagi penguatan opini tersebut, sehingga HIP akan dijadikan alat untuk mengutak-atik agama khususnya Islam dan memojokan umat Islam.
8. Pasal 6 ayat (1) RUU HIP menyatakan bahwa sendi pokok Pancasila adalah ‘keadilan sosial’. Tanpa memungkiri bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan salah satu sila dari Pancasila, menyendirikan keadilan sosial sebagai sendi pokok seperti dalam ketentuan tersebut telah mereduksi makna Pancasila secara keseluruhan sebagai satu kesatuan, dan membuka peluang menafsirkan Pancasila berdasarkan ideologi lain yang sejatinya bertentangan dengan Pancasila.
9. Di dalam tata masyarakat Pancasila menurut RUU HIP, jaminan untuk kehidupan keagamaan ditempatkan sejajar dengan jaminan untuk kebudayaan (Pasal 9 huruf e.), dan di bawah “tercukupinya kebutuhan sandang, pangan dan papan; tercapai tujuan pemeliharaan kesehatan dan pendidikan; tercipta lapangan kerja dan jaminan sosial; terwujud jaminan keamanan, kebebasan berpendapat dan berserikat”. Masyarakat Pancasila yang digambarkan oleh ketentuan-ketentuan di dalam RUU HIP menggambarkan masyarakat yang sekular dan materialistik.
10. Ketentuan-ketentuan di dalam RUU HIP tidak memberikan ruang yang layak bagi pembangunan agama dan perlindungan agama dari penodaan, serta tidak menjadikan agama sebagai sumber kekuatan dan rambu-rambu bagi bangsa Indonesia dalam upaya mencapai tujuannya, padahal Pancasila memposisikan agama (Ketuhanan Yang Maha Esa) sebagai sila pertama.
11. Salah satu ciri yang dimiliki manusia Pancasila, menurut Pasal 12 ayat (3) huruf a. RUU HIP, adalah “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ….. menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Ketentuan tersebut menyiratkan kemungkinan adanya keimanan dan ketakwaan yang tidak adil dan tidak beradab.
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, kami menyatakan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab atas masa depan bangsa dan negara seraya mengharap ridlo serta pertolongan Allah SWT, menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila.