Maling dan Kebiadaban Manusia Kerumunan
Dosen di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Korona telah mengubah dunia. Rumah sakit penuh sesak. Kabar kematian diumumkan tiap hari. Ekonomi tak menentu. Banyak orang tiba-tiba jatuh miskin. Banyak tahanan menghirup asimilasi. Negara disesaki urusan korona.
Menyelinaplah beragam narasi ketakutan dalam alam pikir masyarakat, salah satunya narasi tentang maling. Semakin banyak orang jatuh miskin, semakin banyak maling. Semakin susah mencari uang, maling semakin sering jadi alternatif. Semakin banyak tahanan mendapat asimilasi, semakin banyak maling berkeliaran. Seolah menjadi hukum, adagium-adagium itu mulai merupa kesadaran palsu dalam alam pikir masyarakat.
Ketakutan ini semakin mendapatkan legitimasi seiring semakin banyaknya sebaran berita tentang maling. Isu tentang rombongan maling yang diturunkan di suatu tempat, berkeliaran bebas di pesan-pesan WA. Video-video penangkapan maling semakin marak.
Mata publik jadi waspada. Ronda yang sudah lama tertidur, kini kembali menyala. Solidaritas masyarakat untuk saling jaga menyemarak di mana-mana. Penjagaan ketat terjadi di berbagai penjuru.
Solidaritas begini, mestinya tak pantas disebut kebiadaban. Sayangnya, realitas berkata lain. Dalam kebersamaan itu, kebiadaban seringkali menyelinap. Kekhawatiran berlebih sering bersemayam. Dengan mengatasnamaan kebenaran dan keamanan, kerumunan sering main hakim sendiri.
Beberapa linimasa media sering mengabarkan ini belakangan ini. Ada maling yang dikabarkan dikoroyok massa hingga babak belur bahkan tewas. Beberapa pengeroyokan itu juga ada yang salah sasaran dan tak mengindahkan usia.
Ini jelas kabar buruk. Maling itu memang tindak terkutuk. Tapi, menghajar maling hingga tak berdaya bahkan tewas itu tindakan yang tak kalah terkutuk.
Lantas, mengapa masyarakat kita menjadi begitu kejam terhadap maling? Bukankah maling itu juga manusia? Bukankah maling yang sering tertangkap itu justru maling-maling tak profesional yang hanya mencuri karena terpaksa?
Menuduh sistem pendidikan kita sebagai penyebab utamanya, rasanya berlebihan. Betapapun dalam pendidikan dasar, kita sering dikenalkan dengan lagu si kancil yang liriknya melegitimasi kekejaman atas maling, kurang bijak rasanya jika pendidikan dijadikan biang kerok realitas ini. Memang lagu si kancil begitu popular dan bisa jadi berpengaruh, tetapi narasi-narasi pendidikan kita secara keseluruhan masih lebih disesaki oleh ajaran memanusiakan manusia.
Selain itu, kalaupun betul tindak biadab atas maling itu karena masyarakat kita salah didik, tak sepenuhnya pendidikan bisa dipersalahkan. Bagaimanapun, sejatinya tiap pribadi itu memiliki kemerdekaan untuk menentukan sikap. Tiap pribadi memiliki kemampuan memfilter mana didikan yang baik atau yang sebaliknya.
Lantas mengapa produk pendidikan kita banyak yang seolah kehilangan rasa kemanusiaannya kala menjumpa maling dalam kerumunan?
Secara psikologis, kerumunan memang memungkinkan individu tak merdeka mengambil sikap. Kerumunan sering memaksa individu bertindak di luar perimbangan nalar. Kendali diri tergadai oleh laku kawanan. Godaan-godaan jahat pun dengan mudah menyelinap di kerumunan. Alhasil, tindak kebiadaban yang selama ini tak terbayang secara pribadi dengan mudah menyata dalam kerumunan.
Namun, prilaku kerumunan ini tak cukup menjelaskan persoalan kebiadaban pada maling yang amat kompleks. Tindak barbar kerumunan atas maling itu terjadi secara berulang dan hampir merata di mana-mana. Ini tentu tak cukup sekedar dijelaskan lewat nuansa psikologis kerumunan seperti di atas.
Ada hal lain yang turut melicinkan jalan psikologi kerumunan menyatakan tindak biadabnya. Hal lain itu bernama ketakberdayaan hukum. Baik hukum negara maupun hukum tak tertulis masyarakat nyaris tak berdaya di hadapan kerumunan.
Kebiadaban kerumunan atas maling seringkali tak tersentuh hukum. Kalaupun tersentuh, sanksi atas kerumunan kerap ringan. Efek kejut dan jera pun hanya menjadi cerita khayalan. Tindak hukum atas kerumunan yang remeh tak bisa jadi pelajaran bagi kerumunan-kerumunan lainnya. Tak ayal, imunitas hukum kerumunan menjadi daya tular yang mematikan dan pada gilirannya memicu kebiadaban-kebiadaban kerumunan lain.
Tak hanya hukum negara yang tak berdaya. Hukum masyarakat juga terlena atas kebidaban kerumunan. Tindak barbar kerumunan itu bagaimanapun adalah atas nama kepentingan bersama, sementara, luka dan kematian maling hanya mewakili kepentingan pribadi. Maka, atas dasar prinsip “kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi” kebiadaban kerumunan pun jadi mulia.
Kisah-kisah barbar atas maling menjadi cerita heroik. Dengan bangga ia dibagikan ruang-ruang media sosial. Luka, isak, rintih, serta regangan nyawa maling jadi tontonan normal dan memantik minat banyak pasang mata.
Lalu, masih pantaskah kita mendaku “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai falsafah bangsa? Jika masih ingin dikatakan pantas, maka hukum harus tetap digdaya di muka kerumunan. Ketegasan hukum dapat memaksa kerumunan untuk mengendalikan diri dan respek terhadap manusia yang lain, tak terkecuali maling. Penegakan hukum memberadabkan kerumunan.