Mahfud Minta KPU Lawan Habis-habisan Putusan PN Jakpus: Vonis itu Salah!
Berita Baru, Jakarta – Menko Polhukam Mahfud MD menilai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) membuat sensasi yang berlebihan terkait putusan yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari, membuat sensasi yang berlebihan.
“Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yg berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN,” tulis Menko Polhukam Mahfud MD dalam akun media sosialnya Instagram, Kamis (2/3).
“Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar,” sambungnya.
Oleh sebab itulah, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mendorong agar KPU melakukan banding dan melawan habis-habisan putusan PN Jakpus tersebut. Bagi Mahfud, secara logika seharusnya KPU bisa memenangkan gugatan.
“Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut Mahfud MD mengurai beberapa alasan hukum yang mendasari KPU bisa memenangkan perkara tersebut. Pertama, ia menilai PN Jakpus tidak memiliki wewenang untuk menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari, lantaran kompetensi sengketa pemilu bukan di PN.
“Sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN,” jelasnya.
Mahfud menyebut, Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK).
“Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu,” tutur Mahfud.
Kedua, lanjutnya, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.
Dalam UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
“Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” jelasnya.
Ketiga, Mahfud MD melihat vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. “Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” tambahnya.
Alasan keempat, menurut Mahfud, penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertentangan dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.
“Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” pungkas Mahfud MD.