Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Jokowi dan karhutla
Ilustrasi. Foto: wikimedia commons

MA Vonis Presiden Bersalah, Menteri LHK Membela



Beritabaru.co, Jakarta. – Putusan MA terkait vonis bersalah kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pada pemerintah, ditanggapi secara gamblang oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya.

Gugatan tersebut dilandasi kejadian karhutla tahun 2015. Kejadian yang menghanguskan sekitar 2,6 juta Ha lahan dan hutan itu, terjadi kurang dari setahun Presiden Jokowi menjabat. Karhutla sebelumnya merupakan rutin massif terjadi selama hampir 20 tahun.

“Waktu baru menjabat, Presiden dan kita semua sebenarnya sudah mengikuti gerak hotspot atau titik apinya dengan turun ke lapangan. Tapi sayangnya memang tidak tertolong, titik api sudah membesar di 2015″. Tutur Siti Nurbaya melalui siaran pers Kementerian LHK, Sabtu (20/7).

Karena baru menjabat, lanjut Siti, tentu kami semua harus pelajari penyebabnya, ada apa nih begini? Kenapa? Dimana letak salahnya? Ternyata banyak yang salah-salah dari yang dulu-dulu, dan Pak Jokowi justru membenahi yang salah-salah itu.

Selain memerintahkan tindakan tanggap darurat, Presiden Jokowi juga menginstruksikan kepada semua pihak agar memperbaiki, membenahi, mencegah agar jangan ada kejadian karhutla lagi. Apalagi sampai terjadi asap lintas batas ke negara tetangga.

Dalam waktu relatif singkat pasca karhutla 2015, di bawah kendali langsung Presiden Jokowi, dikeluarkan berbagai kebijakan dan langkah koreksi besar-besaran untuk pengendalian karhutla.

Diantaranya dengan keluarnya Instruksi Presiden nomor 11/2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla, Inpres 8/2018 tentang Moratorium Izin, PP 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, hingga pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Sementara di KLHK, dikeluarkan kebijakan krusial seperti Peraturan Menteri LHK nomor 32/2016 tentang Pengendalian Karhutla, membenahi tata kelola gambut dengan baik dan berkelanjutan melalui pengawasan izin, penanganan dini melalui status kesiagaan dan darurat karhutla, dan berbagai kebijakan teknis lainnya.

“Jadi paradigma menangani karhutla berubah total. Kalo dulu, api sudah besar saja belum tentu Pemdanya ngapa-ngapain. Pemerintah pusat juga tidak bisa bantu karena harus menunggu status dulu. Harus menunggu api besar dulu baru dipadamin, itu yang menyebabkan bencana berulang-ulang. Kalau sekarang kita antisipasi dari hulu hingga ke hilir. Terjadi perubahan paradigma dari penanggulangan ke pengendalian. Kebijakannya melibatkan banyak stakeholders, termasuk para pemilik izin konsesi. Semuanya berubah total di bawah pengawasan penuh pemerintah,” ungkap Menteri Siti.

Pengendalian yang dimaksud mulai dari tahap perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pasca kebakaran, koordinasi kerja, hingga pada tahap status kesiagaan. Pengendalian karhutla juga melibatkan TNI/Polri, BNPB, dan lembaga lainnya secara bersama-sama.

Sebagai catatan, karhutla di Indonesia sebenarnya telah menarik perhatian global sejak kebakaran dahsyat tahun 1982/1983 dan 1997/1998. Pada tahun 1997, karhutla bahkan sampai menghanguskan sekitar 10-11 juta Ha hutan dan lahan di Indonesia.

Karhutla dalam skala yang luas juga terjadi lagi pada tahun 2007, 2012 dan 2015, hingga menyebabkan pencemaran kabut lintas batas di wilayah ASEAN. Baru pada tahun 2016, 2017 dan 2018 di masa pemerintahan Presiden Jokowi, karhutla berhasil diatasi signifikan dan tidak ada asap lintas batas seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dalam kurun waktu 2015-2018 lebih hampir 550 kasus dibawa ke pengadilan baik melalui penegakan hukum pidana maupun perdata. 500 perusahaan dikenakan sanksi administratif terkait pelanggaran yang dilakukan, bahkan ada yang dicabut izinnya. Untuk pengamanan kawasan hutan dan sumberdaya kehutanan lebih dari 713 operasi pengamanan dilakukan dengan melibatkan KLHK, Kepolisian dan TNI.

Kasus karhutla yang berhasil dimenangkan nilainya mencapai Rp. 18 triliun, dan menjadi nilai terbesar sepanjang sejarah tegaknya hukum lingkungan pasca karhutla 2015. [Priyo Atmojo/Siaran Pers]