Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Luka Ekologis Indonesia dan Kegagapan Pendidikan Kita | Opini: Musyarrafah S.

Luka Ekologis Indonesia dan Kegagapan Pendidikan Kita | Opini: Musyarrafah S.



Sepertinya tak ada negara yang lebih membutuhkan pendekatan ecopedagogy dalam pendidikannya saat ini selain Indonesia. Di atas kertas, negeri ini digambarkan sebagai surganya biodiversitas: hutan tropis yang membentang dari Papua hingga Sumatera, garis pantai terpanjang kedua di dunia, dan kekayaan hayati laut yang disebut-sebut sebagai pusat segitiga karang dunia. Namun di balik citra itu, Indonesia juga memegang rekor dalam hal kehilangan hutan tercepat, perusakan ekosistem mangrove, dan polusi sungai yang mengkhawatirkan. Ironisnya, kerusakan ini terjadi beriringan dengan tumbuhnya berbagai proyek pembangunan yang sering dibanggakan dalam narasi kemajuan nasional.

Kerusakan ekologis di Indonesia bukan lagi gejala baru, tetapi luka terbuka yang dibiarkan menganga selama puluhan tahun. Deforestasi masif di Papua dan Kalimantan, terus terjadi atas nama perkebunan dan infrastruktur. Di Sulawesi, reklamasi pesisir dan tambang nikel yang katanya untuk masa depan “energi hijau” justru menyisakan jejak pencemaran yang panjang. Sementara itu, komunitas adat dan masyarakat lokal, yang selama ini menjadi penjaga tanah dan air, terus dipinggirkan demi investasi. Sayangnya, semua itu jarang—atau bahkan tak pernah—menjadi bagian dari pelajaran di ruang kelas sekolah kita.

Di ruang kelas, murid-murid masih diajari untuk “mencintai alam” dalam bentuk hafalan jenis-jenis flora dan fauna, atau ditugasi membuat kerajinan tangan dari barang bekas sebagai simbol kepedulian lingkungan. Tetapi mereka tidak pernah diajak berpikir kritis tentang konflik agraria yang merampas hutan dari penjaganya. Mereka bisa menyebutkan sumber daya alam di Indonesia, namun tak diminta menganalisis bagaimana ekstraksi nikel untuk baterai mobil listrik global justru mencemari sungai-sungai di kampung mereka sendiri. Alih-alih menjadi ruang penyadaran, pendidikan kita justru membentuk siswa menjadi “sumber daya manusia unggul” versi industri, kompeten secara teknis, namun apatis secara etis.

Inilah wajah pendidikan kita, sistemik dalam menyembunyikan krisis, gagap dalam membaca kenyataan. Tak ada mata pelajaran khusus yang membahas perubahan iklim secara mendalam dan lintasdisipliner. Tak ada ruang yang cukup bagi siswa untuk mengaitkan fakta lokal dengan isu global, atau untuk bertanya, mengapa kampung kami banjir setiap tahun? Mengapa laut kami mulai kotor dan tak lagi melimpah ikan? Mengapa kabut asap menjadi agenda tahunan? Dan lebih penting lagi, siapa yang mengambil keputusan yang menyebabkan semua ini?

Kegagapan ini juga menyentuh wilayah yang lebih dalam, ketakutan institusional terhadap pemikiran kritis. Guru yang ingin membawa isu-isu lingkungan ke dalam diskusi kelas sering kali dianggap menyimpang dari kurikulum, atau bahkan “terlalu politis.” Padahal, menyadarkan siswa tentang bagaimana kebijakan pembangunan berdampak pada lingkungan bukanlah indoktrinasi politik, melainkan bagian dari pendidikan yang jujur dan bertanggung jawab terhadap realitas. Ketika kritik dianggap ancaman, dan empati pada alam dianggap utopis, maka pendidikan telah berubah menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan.

Dalam konteks inilah ecopedagogy menjadi sangat relevan, bahkan urgen. Sebagai pendekatan pedagogis yang menempatkan krisis ekologi dalam bingkai keadilan sosial, ecopedagogy tidak hanya mengajak siswa mencintai lingkungan, tapi juga memahami bahwa kerusakan lingkungan adalah hasil dari relasi kekuasaan yang timpang. Ia mendorong pemahaman bahwa degradasi ekologis tak bisa dipisahkan dari eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya. Dengan demikian, ecopedagogy adalah tentang membangun kesadaran sistemik, reflektif, dan realis.

Lebih jauh, ecopedagogy mendorong keberanian untuk membayangkan alternatif. Jika selama ini pendidikan berjalan seolah dunia akan tetap baik-baik saja, maka ecopedagogy justru mengajak kita menyadari bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja, dan bahwa masa depan membutuhkan cara berpikir dan cara hidup yang radikal berbeda. Ini bukan sekadar soal inovasi teknologi, tetapi transformasi nilai. Bukan sekadar mencetak “green jobs,” tetapi menciptakan generasi yang tahu mengapa bumi harus diselamatkan dan bagaimana membangun dunia yang lebih adil bagi seluruh makhluk hidup.

Sayangnya, ecopedagogy belum menjadi arus utama dalam pendidikan Indonesia. Ia masih berada di pinggiran, dalam diskusi akademik, inisiatif guru-guru alternatif, atau gerakan akar rumput yang terbatas sumber daya. Namun ruang kecil inilah yang sebetulnya menyimpan harapan. Karena di tengah sistem yang menormalisasi kebungkaman, setiap kelas yang berani membuka mata murid pada realitas ekologis adalah bentuk perlawanan. Setiap guru yang memilih mendiskusikan reklamasi, deforestasi, dan keadilan iklim, meski melenceng dari kisi-kisi soal, sedang menanamkan benih pembebasan.

Kita tidak bisa lagi menunggu kurikulum nasional sadar akan pentingnya pendidikan ekologis. Lagi pula agaknya tidak salah jika sejak lama kita sudah begitu skeptis dengan arah sistem pendidikan Indonesia. Kita tidak bisa berharap kementerian akan menjadikan krisis iklim sebagai fondasi sistem pendidikan dalam waktu dekat. Yang bisa kita lakukan adalah mulai dari kesadaran kecil, dari ruang kelas, dari keberanian guru, dari pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu dan menggugah. Karena masa depan tidak ditentukan oleh mereka yang diam, tetapi oleh mereka yang berani belajar dan bertindak.

Selain pembahasan tentang robot humanoid, kemajuan neurosains, penjelajahan antariksa, ekonomi global, perang dunia, dan learning big data—yang juga jarang dibicarakan oleh guru maupun pendidikan kita hari ini—krisis iklim menjadi salah satu hal yang paling dekat dan nyata dilihat. Jika pendidikan memang bertujuan membekali generasi menghadapi masa depan, maka isu iklim adalah tantangan terdekat yang seharusnya menjadi perhatian utama. Setiap diskusi tentang suhu bumi yang meningkat, migrasi ekologis, krisis pangan, atau ketimpangan energi global bukan hanya soal bencana, melainkan tentang bagaimana kita membayangkan dunia esok, dan siapa yang akan menjadi bagian darinya. Pendidikan yang gagal membicarakan iklim hari ini bukan sekadar tertinggal, tetapi sedang menyiapkan generasi yang buta terhadap zaman yang akan mereka hidupi.


Luka Ekologis Indonesia dan Kegagapan Pendidikan Kita | Opini: Musyarrafah S.

Musyarrafah, S. Peneliti di Oase Institute yang berkantor di Kota Malang. Fafa, panggilan akrabnya, juga telah menyelasaikan studi pascasarjana bahasa Indonesia di Universitas Negeri Malang.