LPBI PBNU Kritisi Pengeluaran Sampah Batu Bara dari Limbah B3
Berita Baru, Jakarta – Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang tertyang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Direktur Bank Sampah Nusantara (BSN) LPBI NU Fitria Aryani mengatakatan, kebijakan Presiden Jokowi tersebut dikhawatirkan berdampak pada pencemaran lingkungan hingga kesehatan masyarakat.
“Jika memang bisa dimanfaatkan, itu lebih baik. Tapi yang harus diwaspadai adalah masih ada pemilahan kategori limbah batu bara, artinya di pasal tersebut ada pengecualian. Tidak semua limbah batu bara itu dikeluarkan dari limbah B3. Pertanyaannya siapa yang akan mengawasi pemilahan limbah tersebut, yang termasuk B3 dan tidak termasuk limbah B3,” tegas Fitria dikutip dari laman resmi PBNU, Sabtu (13/3).
Fitria mengingatkan agar jangan sampai kebijakan yang diambil pemerintah semakin memperburuk keadaan. Pemerintah jangan abai terhadap dampak lingkungan hidup, dan kesehatan masyarakat. Karena banyak yang akan terdampak, seperti masyarakat sekitar, nelayan, kelompok perempuan, dan masyarakat adat.
“Keberadaan limbah bottom ash dan flying ash yang dikeluarkan dari kategori limbah B3, menurut saya berpotensi mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir. Jadi kalau pemerintah tidak hati-hati, kebijakan ini menunjukan hanya menghitung potensi investasinya saja,” paparnya.
Fitria menjelaskan, rencana gasifikasi batubara masih dalam proses di Indonesia. Perusahaan penambang batubara milik negara, PT Bukit Asam, berencana membangun pabrik gasifikasi yang akan mulai beroperasi pada 2023 atau 2024.
“Belum ada regulasi yang jelas dalam mengatur emisi atau limbah dari pabrik gasifikasi batubara ini. Tahun lalu, Indonesia mengeluarkan dua Undang-Undang klausul yang dipandang sangat menguntungkan industri ekstraktif. Yaitu, revisi UU Pertambangan, Mineral dan Batubara disahkan dengan dukungan kuat dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia,” papar Fitria.
Hal ini, menurut Fitria justru mempermudah industri untuk memperpanjang izin, melipatgandakan ukuran maksimum zona penambangan tradisional, dan memberikan izin untuk kegiatan penambangan di dasar sungai dan laut, dan ini akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan masyarakat setempat.
Selain batu bara, menurut Fitria, kebijakan pemerintah juga mencabut limbah penyulingan sawit, atau yang biasa disebut dengan spent bleaching earth (SBE) dari kategori limbah 3B.
Fitria menegaskan, jangan sampai kebijakan itu diambil hanya untuk mengakomodir permintaan para pengusaha, akan tetapi merugikan masyarakat.
“Pemimpin harus bisa bersikap adil, jujur, dan tidak semena-mena. Pemimpin tidak boleh mencelakai rakyat dan bangsanya,” ungkapnya.