Lockdown di Afrika Membuat Penjarahan Supermarket
Berita Baru, Internasional – Pada tanggal 18 Maret, Daily Mail menulis laporan berita bahwa kerusuhan meletus di berbagai negara di Afrika. Kerusuhan itu bermula dari diterapkannya prosedur karantina wilayah (lockdown) dalam upaya untuk mencoba memperlambat penyebaran virus korona. Aturan karantina wilayah itu kemudian membuat warga khawatir akan kekurangan pangan hingga membuat mereka melakukan penjarahan di beberapa toko dan supermarket.
Di Afrika Selatan, aturan karantina wilayah mulai diterapkan pada tanggal 27 Maret. Namun aturan karantina wilayah itu membuat warga semakin tertekan karena krisis pangan.
Pada hari Selasa (14/4), ratusan orang yang marah dan kelaparan menyerang polisi dengan melmparkan batu, membuat barikade dengan membakar ban di jalanan Mitchells Plain di Cape Town karena paket makanan yang belum terkirimkan. Sebagai balasan, polisi menembaki mereka dengan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan mereka.
Kerusuhan ini menimbulkan kekhawatiran akan terus berlanjut dan semakin membludak. Di tengah krisis pangan tersebut, Joanie Fredericks, seorang pemimpin komunitas kota Mitchells Plain di Cape Town, Afrika Selatan, membagi-bagikan makanan kepada warga. Namun ia mengatakan semakin hari antrian yang meminta makan semakin panjang.
Frederick khawatir jika krisis ini terus berlanjut, maka kerusuhan itu akan semakin tidak terkendali. Dalam unggahan videonya, ia memohon kepada presiden untuk segera memberikan solusi. “Tuan Presiden kita berada di tengah-tengah krisis pangan. Ada perang di sini.”
Dalam video itu, ia juga menyampaikan pembelaan kepada Presiden Cyril Ramaphosa atas aturan karantina wilyaha selama lima minggu untuk mencoba dan memperlambat penyebaran virus Korona.
Julian May, direktur Pusat Keunggulan dalam Ketahanan Pangan di Universitas Western Cape mengomentari kerusuhan tersebut dengan mengatakan, “Ada banyak dari kita di rumah menjadi gemuk dan ada banyak orang yang benar-benar tidak memiliki apa-apa … Dan itu berbicara banyak tentang ketidaksetaraan di Afrika Selatan (yang) kemungkinan akan keluar.”
Aturan karantina itu juga membuat banyak orang kehilangan pekerjaan hingga mereka mengalami kesusahan dalam memperoleh makanan.
“Karena orang tidak mendapatkan paket makanan atau mendengar orang lain menerima paket, mereka mulai bereaksi. Dan saya tidak berpikir itu akan mereda kecuali ada pengiriman makanan yang lebih cepat kepada orang-orang di daerah miskin,” jelas May.
Banyak beredar video penjarahan supermarket terjadi di Afrika dalam beberapa hari terakhir. Terkait hal itu, Institute for Poverty, Land and Agrarian Studies (PLAAS) mengeluarkan peringatan bahwa “ada setiap kemungkinan konflik kekerasan, termasuk penjarahan yang meluas.”
Di Lesotho, sebuah negara enklave yang terkurung di Afrika bagian selatan yang sepenuhnya dikelilingi oleh Afrika Selatan, tentara dimobilisasi untuk menangani kerusuhan tersebut.
Dalam pidato di televisi publik pada 18 April, perdana menteri Lesotho Thomas Thabane mengumumkan tentara akan “memulihkan ketertiban.”
“Ini untuk menghindari menempatkan bangsa dalam bahaya,” ujar Thabane.
Di Nigeria, pemerintah mengumumkan bahwa Abba Kyari, kepala staf untuk Presiden Muhammadu Buhari, telah meninggal karena COVID-19.
Sebelumnya, ada laporan beberapa menteri pemerintah dan duta besar AS yang terinfeksi virus corona di Burkina Faso.
Sementara itu, di Zimbabwe, aturan karantina wilayah sudah berakhir pada hari Minggu (19/4) kemarin. Selama tiga minggu Zimbabwe memberlakukan aturan karantina wilayah dan hanya terdapat 24 kasus COVID-19.
Presiden Emmerson berbicara kepada penduduk melalui saluran televisi nasional mengingatkan warganya untuk tidak jumawa ketika negara itu hanya terdapat 24 kasus COVID-19. Peringatan itu disampaikan pada tanggal 18 April, ketika Zimbabwe merayakan hari kemeredekaannya yang ke 40. Ia juga menyuarakan optimisme terkait upaya untuk menahan penyebaran virus.
Di samping itu, pada kesempatan tersebut Presiden Emmerson berterima kasih kepada warga dan negara-negara yang membantu mereka “atas tanggapan kolektif” dalam upaya memerangi pandemi ini.
Ketakutan Tidak Makan Meningkat
Sebelumnya, PBB memperingatkan bahwa wilayah-wilayah di negara berkembang, khususnya di Afrika, berisiko mengalami kelaparan akibat pandemi virus korona. Selain karena faktor ekonomi yang rendah, aturan karantina wilayah dan pembatas sosial juga bisa menjadi faktor penghambat dalam upaya memberikan bantuan kemanusiaan. Surat kabar The Guardian memperingatkan bahwa kerusuhan-kerusuhan ini bisa lepas kendali di seluruh benua Afrika.
UNECA, pada awal bulan April juga menerbitkan laporan yang memperingatkan bahwa Afrika bisa menjadi episentrum virus korona (Ditautkan ke berita sebelumnya, COVID-19 di Afrika: PBB Perkirakan 300.000 hingga 3,3 Juta Kematian) karena banyaknya penduduk, rumah yang berdekatan dan kurangnya akses dasar cuci tangan. Selanjutnya UNECA memperkirakan setidaknya 300 ribu sampai 3.3 juta orang di Afrika akan meninggal dunia karena virus korona.
Dominique Burgeon, direktur kedaruratan di Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga mengomentari krisis pangan di Afrika. Ia mengatakan, “Dari sudut pandang ketahanan pangan, beberapa tempat sangat dekat dengan kelaparan … Jumlah orang yang rentan kelaparan sudah sangat tinggi. Yang kami takutkan adalah bahwa jumlah ini akan semakin meningkat karena dampak Covid-19 pada ketahanan pangan.”
Situasi ini juga semakin diperparah dengan adanya serangan belalang gurun (belalang juta) terhadap tanaman. Beberapa lahan pertaninan terancam gagal panen dan pengiriman pestisida pun tertunda karena adanya karantina wilayah.
Sudah sebelum pandemi COVID-19, sekitar 20 juta orang diperkirakan berada dalam bahaya kerawanan pangan.
Menurut Worldmeters.info, pada tanggal 20 April, Afrika saat ini telah mengkonfirmasi 22,670 kasus dan 1.123 kematian akibat COVID-19, dengan jumlah kasus terbanyak terdapat di Afrika Selatan, 3.158 kasus.
Pada 17 April, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan peningkatan 51 persen kasus di Afrika dan lonjakan 60 persen dalam jumlah kematian telah didaftarkan dalam seminggu terakhir. Di samping itu, WHO juga memperingatkan bahwa kekurangan pengujian dapat menandakan “angka sebenarnya lebih tinggi dari yang dilaporkan.”
Sumber | Sputnik News |