Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Letss Talk Gelar Refleksi Akhir Tahun Bertajuk Politik Kekerasan Seksual di Indonesia

Letss Talk Gelar Refleksi Akhir Tahun Bertajuk Politik Kekerasan Seksual di Indonesia



Berita Baru, Jakarta – Kekerasan seksual menjadi isu utama yang penting direfleksikan. Akhir tahun ini, Letss Talk menggelar webinar akhir tahun 2021 dengan tema “Politik Kekerasan Seksual di Indonesia”. Acara diselenggarakan oleh Letss Talk yang dipimpin Farid Muttaqin.

Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 19 Desember 2021 pukul 19.00 dan bisa ditonton ulang secara daring di kanal Youtube Letss Talk.

Tema yang dipilih bertujuan agar menyadarkan masyarakat tentang pentingnya permasalahan kekerasan seksual di Indonesia hingga akhir tahun 2021 ini. Diisi dengan lima narasumber ahli dari latar belakang yang berbeda-beda diskusi menjadi tajam dan bernas.

Kekerasan seksual hari ini sudah tidak memandang relasi apa pun. Serta, tidak hanya terpaku pada permasalahan perorangan saja, tetapi mencakup sosio-politik yang ada. Bagaimana kekuasaan menerapkan aturan, advokasi formalitasnya, hingga politisasinya. 

Kekerasan seksual dimanfaatkan untuk mempertahankan privilege atau power kekuasaan. Pembelaan yang dilakukan kebanyakan penguasa terhadap korban kekerasan seksual hanya formalitas belaka.

Dede Oetomo selaku Pembela HAM LGBTI Indonesia mengatakan kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan saja, tetapi lelaki juga, khususnya LGBTI. Norma masyarakat Indonesia masih memaksa gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan, padahal, ada waria dan lain-lain.

“Pemaksaan ini juga bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Perlu diketahui, spektrum kekerasan seksual sangat luas sehingga tidak bisa mengkotak-kotakkan kepada korban perempuan saja,” tambahnya.

Ita Fatia Nadia, salah satu narasumber dari RUAS menjelaskan bahwa kekerasan seksual di Indonesia tidak lepas dari akar sejarahnya. Salah satunya adalah peristiwa 30 September 1965 (peristiwa ’65) yang mengubah geopolitik Indonesia hingga dunia.

“Masyarakat sipil dibangun berdasar kontrak seksual di mana sistem maskulin dan patriarki menjadi dasar di bawah presiden Soeharto, sehingga mempunyai akses pada tubuh dan seksualitas perempuan,” tambahnya.

Muncul juga konsep bapakisme, yang mempertahankan kekuasaan lewat kekerasan atau biasa disebut hegemonic maskuliniti. Setidaknya, ada lima institusi yang terdapat hegemoni maskuliniti: (1) keluarga, (2) pendidikan, (3) agama, (4) negara, (5) terutama pasar internasional.

Dampak kekerasan seksual, dituturkan oleh Yuniyanti Chuzaifah, bahwasannya pertama, tentu dapat merusak korban. Kedua, jejak digital yang dapat menjadi penghukuman sepanjang hayat. Ketiga, merusak pelaku dan keluarganya, tidak peduli seberapa suci dia.

Yuni juga melanjutkan, masyarakat sebaiknya berhenti menjadi penonton semata terhadap para korban kekerasan seksual. Lindungi mereka dengan penuh makna, bukan hanya sebagai formalitas pengesahan saja. 

Juga, harus mengawal bersamaan dengan transformasi “politik” dan kultural secara komprehensif. Secara undang-undang formal, mungkin sudah diperhatikan, tetapi fakta di lapangan tidak demikian, masih banyak kasus yang terjadi dan bahkan disepelekan.

Dalam agama islam, Aan Anshori menerangkan, masyarakat islam di Indonesia, mayoritas masih berpatokan pada political doctrine of Islam atau doktrin politik Islam. Salah satu poinnya adalah, perempuan harus dapat membuahi atau hamil tidak peduli sehebat apa dia.

Sulit mensejajarkan perempuan apabila doktrin politik Islam ini masih sangat berlaku dalam bermasyarakat di Indonesia. Masa depan politik kekerasan seksual di Indonesia akan sangat bergantung kepada mayoritas warganya yang beragama Islam.

Terakhir, Azriana R. Manalu, dari pihak advokat dan pernah menjabat sebagai ketua komnas perempuan periode 2015-2019, menegaskan kekerasan seksual di Indonesia sudah cukup panjang pengalamannya didiskriminasi.

“Aturan-aturan yang ada saat ini belum mengenali semua pengalaman kekerasan seksual yang panjang itu. Walau secara undang-undang, semua orang akan diberlakukan sama oleh hukum, tetapi itu masih belum berlaku kepada korban kekerasan seksual,” terangnya. (Fathan/ Mz)