LBM-NU: Panduan Salat Jumat di Masa New Normal
Berita Baru, Jakarta — Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU) memandang bahwa penularan Coronavirus Disease atau COVID-19 masih belum kelihatan akan segera berakhir.
Merespons hal itu, LBM-NU mengadakan Bahtsul Masail yang mebahas tentang tata-cara “Pelaksanaan Salat Jumat dalam Kondisi New Normal”.
“Belum kelihatan bahwa persebaran virus COVID-19 akan segera berakhir, bahkan di sebagian daerah menunjukkan adanya grafik kenaikan orang-orang yang terjangkit COVID-19,” begitu bunyi keterangan yang dirilis oleh LBM-NU.
Sebagaimana diketahui, pandemi COVID-19 tidak hanya memberikan dampak bagi sektor ekonomi saja, tetap juga berefek pada aktivitas keagamaan yang selama ini menjadi tradisi bersama umat beragama, terutama bagi Muslim dalam menunaikan ibadah Salat Jum’at.
Dalam Bahtsul Masail itu, LBM PBNU menyatakan bahwa Salat Jum’at wajib bagi setiap individu dan dilaksanakan secara berjamaah. Oleh sebab itu seseorang yang tidak melaksanakan Salat Jum’at maka dosanya di tanggung sendiri. Sementara secara sosial, Salat Jum’at mengandung nilai syi’ar. Sehingga, apabila masyarakat islam tidak mendirikan Salat Jum’at akan mendapat dosa kolektif.
“Kedua menurut jumhur fuqaha, Shalat Jumat harus dilaksanakan satu kali di satu tempat di setiap kawasan, desa atau kota. Dengan demikian, menurut jumhur ulama, tidak boleh ada Shalat Jumat lebih dari satu kali (ta’addudul Jumat) baik di tempat yang sama maupun tempat yang berbeda. Sebab, kalau ta’addudul Jumat itu terjadi, maka pelaksanaan yang sah hanya shalat Jumat yang pertama,” tulisnnya.
Lebih lanjut, LBM PBNU menjelaskan, Ketidakbolehan ta’addudul Jumat tidak bersifat mutlak, sehingga ta’addud dapat ditempuh dengan mempertimbangkan tiga kebutuhan, yaitu keterbatasan daya tampung tempat shalat Jumat, adanya pertikaian yang tidak memungkinkan pelaksanan Shalat Jumat pada satu lokasi, dan jarak tempuh penduduk yang tinggal di ujung sebuah kawasan (balad) dan masjid yang menjadi tempat pelaksanaan shalat Jumat.
“Tidak ada tempat lain adakalanya bersifat de facto (hissiyyun māddiyyun) dan ada kalanya de jure (hukmiyyun maknawiyyun). Intinya tidak ada tempat lain,” ungkap Rais Syuriyah PBNU KH Afifuddin Muhajir.
Pihak LBM PBNU mengatakan bahwa pandangan fiqih ulama terdahulu itu dapat dijadikan acuan hukum perihal pelaksanaan shalat Jumat pada di era tatanan normal baru. Secara teknis, umat Islam misalnya dapat memanfaatkan mushala-mushala sebagai tempat shalat Jumat.
Adapun ketika pelaksanaan shalat Jumat di beberapa tempat tidak mungkin untuk ditempuh karena kebijakan pemerintah (seperti pada sebagian negara di luar negeri), kebijakan di perkantoran, atau uzur lainnya, LBM PBNU mengemukakan perbedaan dua pendapat ulama.
Pertama, sebagian ulama membolehkan pelaksanaan Shalat Jumat dua atau lebih gelombang pada lokasi yang sama dengan tetap mempertimbangkan jumlah jamaah (40 orang) dan kebutuhan untuk mengadakan gelombang shalat Jumat di samping verifikasi lapangan untuk memastikan kebolehan ta‘addudul Jumat di satu kawasan.
Kedua, sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa pelaksanaan shalat Jumat secara bergelombang pada satu tempat bukan solusi ketika ta’addudul Jumat tidak mungkin dilakukan di tempat lain. Mereka mempersilakan jamaah yang tidak mendapat kesempatan melaksanakan ibadah Jumat untuk mengerjakan Shalat Zuhur di rumah masing-masing.
“Fatwa-fatwa kontroversial memang harus dihindari. Tetapi, anggapan bahwa PBNU picik juga harus dihindari. Oleh karena itu, saya menyetujui kedua pendapat itu sama-sama disajikan dengan argumentasi masing-masing,” kata Kiai Afif.
KH Azizi Chasbullah dari LBM PBNU menambahkan bahwa yang perlu diperhatikan adalah kebolehan ta‘addud karena hajat bagi orang yang wajib Shalat Jumat dan orang yang bisa mengesahkan Jumat.
“Jika ikut pendapat yang memperbolehkan, ya silakan, tetapi tidak harus karena kebolehan bukan berarti kewajiban,” kata Kiai Azizi