LBH Makassar Walk Out dari RDP, DPRD Sulsel Dinilai Abaikan Aspirasi Masyarakat
Berita Baru, Makassar — Suasana panas mewarnai Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di ruang Rapat Lantai 9 Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa (10/12/2024). Rapat yang sedianya bertujuan membahas dugaan upaya melawan hukum oleh PT. Masmindo Dwi Area (MDA) berubah menjadi forum yang tidak kondusif. Warga Luwu beserta Aliansi Wija to Luwu dan Tim Hukum LBH Makassar memilih untuk walk out dari forum tersebut setelah salah satu petugas mematikan mikrofon saat perwakilan LBH Makassar menyampaikan aspirasi.
“Kami tidak diberi kesempatan untuk membahas perlindungan lingkungan atau Gunung Latimojong yang seharusnya tidak boleh dilakukan aktivitas pertambangan. Padahal, area konsesi Masmindo mencaplok kawasan rawan bencana tersebut,” ujar Nurwahidah, pendamping hukum dari LBH Makassar sebagaimana dikutip dari siaran persnya pada Rabu (11/12/2024).
RDP ini dipimpin langsung oleh Pimpinan Komisi D DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam undangan yang disampaikan sebelumnya, agenda RDP disebutkan untuk membahas dugaan eksploitasi dan monopoli komoditas oleh PT. MDA di Kabupaten Luwu. Namun, dalam pelaksanaannya, forum dinilai lebih berpihak kepada perusahaan dan pihak-pihak berkepentingan.
Cones, salah satu korban pengrusakan tanaman cengkeh oleh PT. Masmindo Dwi Area, turut hadir bersama Aliansi Wija To Luwu dan Tim Hukum LBH Makassar. Sayangnya, Cones mengaku tidak dilibatkan secara partisipatif dalam rapat tersebut. Lebih dari itu, terungkap bahwa Cones bukan satu-satunya korban dari skema pembebasan lahan yang dilakukan oleh PT. MDA. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari aparat desa yang hadir di forum.
“Berapapun ganti rugi yang mau diberikan perusahaan, tidak akan menghilangkan rasa sakit hati yang kami rasakan. Bahkan, sampai saat ini anak saya, Livia, masih takut untuk kembali ke rumah di Rante Balla,” ungkap Cones dengan nada penuh emosi.
Tim Hukum LBH Makassar juga menyoroti status Gunung Latimojong yang merupakan kawasan dengan kemiringan lereng tinggi. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Luwu No. 08 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, wilayah tersebut dilarang untuk dijadikan lokasi aktivitas penggalian atau pertambangan. Hasbi Asiddiq, Koordinator Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) LBH Makassar, mengingatkan bahwa aktivitas pertambangan di Latimojong bertentangan dengan regulasi tersebut.
“Dalam izin lingkungan telah dijelaskan bahwa proses pembebasan lahan harus dijalankan dengan musyawarah. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka ada mekanisme hukum yang tersedia di pengadilan. Kehadiran aparat keamanan di wilayah tersebut hanya menunjukkan kegagalan Polda Sulsel dalam memahami fungsi dan tugas sebagai aparat penegak hukum. Ini bertentangan dengan prinsip profesionalisme POLRI dan reformasi kepolisian,” ujar Hasbi Asiddiq.
Polda Sulsel juga menjadi sorotan dalam RDP ini. Warga menilai kehadiran aparat kepolisian di lokasi konflik tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsinya. Menurut informasi dari pihak LBH Makassar, Polda Sulsel mengusulkan agar perusahaan memberikan ganti rugi kepada warga, dengan harapan kasus dapat diselesaikan tanpa proses hukum lebih lanjut. Namun, hal ini dipandang keliru.
“Adanya ganti rugi dari perusahaan terhadap tanaman cengkeh milik warga tidak menggugurkan sifat melawan hukum pidana. Pengawalan oleh aparat keamanan juga tidak dapat dibenarkan tanpa adanya SOP yang jelas dalam proses pembebasan lahan,” tegas Hasbi Asiddiq.
Menurut LBH Makassar, langkah tersebut mencerminkan ketidakpahaman Polda Sulsel terhadap esensi hukum pidana. Polda seharusnya mengedepankan aspek penegakan hukum, bukan sekadar memberikan ruang bagi perusahaan untuk “membeli” penyelesaian kasus dengan kompensasi.
Atas berbagai peristiwa tersebut, LBH Makassar dan Aliansi Wija To Luwu menyampaikan empat tuntutan utama, yakni:
- Meminta PLN dan Pemkab Manggarai untuk menghentikan pembangunan proyek Geothermal di wilayah Poco Leok.
- Mendesak KfW (Bank Pembangunan Jerman) untuk meninjau ulang pendanaan proyek geothermal karena pelaksanaannya tanpa prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
- Menuntut Kapolda NTT dan Kapolres Kabupaten Manggarai, Flores, untuk menarik mundur pasukan dan menghentikan intimidasi serta kekerasan terhadap warga, serta membebaskan warga yang ditangkap.
- Meminta TNI untuk menarik pasukannya dari lokasi dan kembali ke barak.
Dengan kondisi yang semakin panas, warga Luwu menyerukan solidaritas kepada masyarakat luas. “Alerta, alerta! Kami memanggil solidaritas seluruh rakyat!” teriak massa dari Aliansi Wija To Luwu saat walk out dari forum. Suasana tegang ini menegaskan perlunya perhatian lebih serius dari para pemangku kebijakan terhadap hak-hak masyarakat adat dan korban yang terdampak proyek-proyek berskala besar.