LBH Jakarta Kecam Pemerasan Polisi di DWP 2024: Desak Reformasi Total Polri
Berita Baru, Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengeluarkan pernyataan keras melalui rilis pers bernomor 494/RILIS-LBH/XII/2024 pada Minggu (22/12/2024), terkait kasus pemerasan oleh aparat kepolisian terhadap pengunjung Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. LBH Jakarta menilai kasus ini mencerminkan permasalahan sistemik dalam tubuh Polri yang mendesak untuk segera direformasi secara total.
“Kami mengecam keras tindak tanduk sewenang-wenang dan koruptif aparat kepolisian yang melakukan tes urin acak dan pemerasan terhadap pengunjung DWP 2024. Kejadian ini tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah ‘oknum’ semata, tetapi bagian dari masalah institusional Polri yang telah berurat berakar,” ujar LBH Jakarta dalam rilis persnya.
Berdasarkan berbagai laporan media, polisi memaksa pengunjung konser untuk menjalani tes urin tanpa bukti awal yang memadai. Bagi mereka yang dinyatakan positif, polisi meminta sejumlah uang tebusan yang fantastis, yakni sebesar RM 9 juta atau sekitar Rp 32 miliar, untuk membebaskan mereka. LBH Jakarta menegaskan bahwa tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga Hak Asasi Manusia (HAM).
LBH Jakarta menyebut pemaksaan tes urin tanpa dasar hukum yang jelas serta pemerasan sebagai bentuk pelanggaran hak atas privasi dan keamanan pribadi. “Hal ini melanggar Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin kebebasan individu dari tindakan sewenang-wenang,” tegas LBH.
Selain itu, LBH Jakarta juga menyoroti pola berulang pelanggaran serupa oleh aparat kepolisian. “Istilah ‘oknum’ hanya digunakan untuk menghindari tanggung jawab kelembagaan. Padahal, preseden kasus korupsi di tubuh Polri, dari level bintara hingga jenderal, membuktikan bahwa ini adalah masalah yang melibatkan sistem secara keseluruhan,” jelas LBH Jakarta.
Dalam pernyataannya, LBH Jakarta juga mengkritik minimnya transparansi dalam penanganan kasus ini. Hingga kini, 18 personel yang diduga terlibat hanya menjalani pemeriksaan etik di Bidang Propam Polda Metro Jaya, namun belum ada kepastian terkait proses hukum pidana.
“Tanpa transparansi, sulit membayangkan penyelesaian kasus ini dapat menyentuh pelaku di level pengambil keputusan. Struktur Polri yang hierarkis membuat sulit bagi bawahan untuk bertindak tanpa sepengetahuan atasan,” kata LBH Jakarta.
LBH Jakarta menyerukan sejumlah langkah konkret untuk menuntaskan kasus ini dan mendorong reformasi Polri secara menyeluruh:
- Kapolri diminta meminta maaf secara terbuka dan mengakui kasus ini sebagai masalah institusional.
- Proses hukum terhadap pelaku harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, tidak hanya terbatas pada pelaku di lapangan.
- Presiden dan DPR RI diminta membentuk tim independen untuk mengevaluasi tubuh kepolisian dan menyusun agenda reformasi Polri yang berkelanjutan.
“Tanpa reformasi total, Polri akan semakin jauh dari mandat konstitusionalnya untuk melindungi dan melayani masyarakat. Kami mendesak tindakan nyata dari pemerintah dan legislatif untuk memastikan reformasi ini berjalan,” tutup LBH Jakarta.