KPK dan Korupsi Militer, Nasib Demokrasi Indonesia Terguncang
Berita Baru, Jakarta – Diskusi Publik yang bertajuk “Dilema KPK dan Korupsi Militer: Dimana Supremasi Hukum?” diselenggarakan oleh Pramadina Public Policy Institute pada Senin (31/7/2023), membawa isu yang memicu perdebatan tentang nasib KPK dan fenomena korupsi militer di Indonesia.
Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, mengungkapkan keprihatinan mengenai pentingnya pengawasan terhadap lembaga pemerintahan dan hukum. Ia menilai KPK yang sebelumnya dianggap lembaga yang kuat, kini menghadapi permasalahan yang signifikan.
“Penting mengawasi lembaga pemerintahan dan lembaga hukum. Jika lembaga hukum rusak maka kehidupan kita rusak. Mengapa KPK seperti ini? Lembaga yang dulu dianggap keren sekarang dijuluki dodol,” kata Didik.
Didik juga menyoroti kemunduran kehidupan demokrasi secara umum yang dapat mempengaruhi situasi hukum dan sebaliknya. Ia juga mengkritik pemilihan Pimpinan KPK oleh partai politik, yang menurutnya harus lebih dijaga dan diawasi untuk mencegah korupsi di dalamnya.
“Lembaga KPK merosot sejak masa pemerintahan SBY hingga Jokowi, yang berujung pada dilemahkannya KPK menjadi lembaga independen yang tetap berada dalam lingkungan pemerintahan,” tegasnya.
Persoalan Utama dalam Korupsi
Politisi nasional, Dipo Alam, membahas dua persoalan utama yang harus dihadapi dalam menghadapi korupsi. Pertama, dari segi etika, penting untuk memberantas kejahatan luar biasa ini. Ia mengkritik pernyataan dari wakil ketua KPK, Johanis Tanak, yang mengakui khilaf dan meminta maaf atas penetapan tersangka Kabasarnas.
Menurut Dipo Alam, pernyataan tersebut mendemoralisasi semangat pemberantasan korupsi dan mengabaikan substansi penegakan hukum. Ia mengatakan penanganan kasus korupsi di Basarnas harus dilakukan di peradilan umum dan tidak harus melalui pengadilan militer.
“Solusi agar masalah serupa tidak muncul lagi di masa depan, yakni dengan memastikan perwira polisi dan TNI yang ditugaskan di lembaga sipil harus dipensiunkan dari jabatan kesatuan mereka untuk menghindari polemik dan kebingungan hukum,” tutur Dipo.
Dosen Universitas Paramadina, Asriana Issa Sofia, menegaskan bahwa kasus Basarnas seharusnya ditangani oleh KPK karena melibatkan anggota TNI aktif yang bertugas di lembaga sipil.
Ia menyoroti dampak korupsi terhadap kepercayaan publik, yang tidak hanya merugikan secara keuangan negara tetapi juga mempengaruhi keyakinan masyarakat terhadap institusi-institusi negara.
“Inilah pentingnya kesetaraan di mata hukum, dimana baik anggota TNI maupun sipil harus diadili secara transparan dalam peradilan umum,” tegasnya.
Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak memframing kasus Basarnas dalam pertarungan antara Polri dan TNI, melainkan fokus pada upaya pemberantasan korupsi yang independen dan transparan.
Kemunduran KPK
Selanjutnya, mantan Pimpinan KPK, Saut Situmorang, membahas kemunduran KPK setelah disahkan undang-undang 19/2019 yang membuat lembaga tersebut kehilangan independensinya.
Ia menyatakan bahwa hal ini merupakan contoh dari upaya melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Saut Situmorang juga menyoroti penurunan angka Indeks Persepsi Korupsi di era Jokowi, yang menunjukkan kekhawatiran terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Terkait UU KPK, Jokowi setuju, sehingga KPK jadi lemah. Kalau Jokowi mau membuat Perppu dia menjadi presiden terkeren sepanjang sejarah. Dan itu sudah terbukti dalam sejarah mulai dari tahun 95, indeks persepsi korupsi itu naik terus tapi di era dia terjadi penurunan 6 poin lebih,” kata Saut.
Senada dengan Saut, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto mengatakan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran bahkan putar balik ke arah otoritarianisme.
“Kalau kita periksa dengan seksama momentum titik nadir demokrasi diulai pada tahun 2019 ada peristiwa revisi UU KPK yang tetap dilakukan meskipun ratusan ribu aktivis mahasiswa turun ke jalan di kota besar di seluruh indonesia termasuk 2 orang yang meninggal,” kata Wijayanto.
Ia mengatakan, peristiwa KPK minta maaf menyiratkan dua hal, pertama kekhawatiran kita dahulu bahwa revisi UU KPK akan melemahkan KPK sudah terjawab hari ini dan juga Indeks Persepsi Korupsi yang semakin buruk.
“Kemunduran demokrasi yang serius adalah ketika militer kembali mengintervensi kehidupan sipil. Kita melihat bahwa kecenderungan ke arah sana semakin menguat,” tegas Wijayanto.