KPA Desak Pemerintahan Prabowo-Gibran Tuntaskan Konflik Agraria
Berita Baru, Jakarta – Setelah resmi dilantik pada 20 Oktober 2024 dalam Sidang Paripurna MPR RI, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dihadapkan pada berbagai pekerjaan rumah, terutama warisan konflik agraria dari pemerintahan sebelumnya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti tantangan besar yang harus segera dituntaskan oleh duet kepemimpinan ini.
Dalam siaran pers yang dirilis pada Senin (21/10/2024), KPA menyampaikan kritik tajam terhadap kegagalan pemerintahan Joko Widodo dalam menjalankan reforma agraria yang dijanjikan sejak awal pemerintahannya. Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menegaskan, “Selama periode 2015-2023, terjadi 2.939 letusan konflik agraria dengan korban mencapai 1,7 juta rumah tangga petani. Ini adalah dampak dari tidak terealisasinya agenda reforma agraria sejati yang seharusnya menjadi dasar pembangunan nasional.”
KPA juga mencatat bahwa penguasaan tanah oleh korporasi, khususnya di sektor perkebunan sawit, tambang, dan kayu, semakin meluas. Lebih dari 25 juta hektar tanah saat ini dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar oleh pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektar oleh pengusaha kayu. Sementara itu, jutaan petani gurem hanya menguasai lahan di bawah 0,5 hektar, menciptakan ketimpangan yang semakin tajam.
Kartika menambahkan, “Pemerintah Prabowo harus memiliki keberanian politik untuk menjalankan reforma agraria sejati, sesuai mandat UUD 1945 dan UUPA 1960. Redistribusi tanah kepada petani gurem, buruh tani, dan perempuan petani harus menjadi prioritas untuk memulihkan hak-hak korban perampasan tanah.”
KPA juga menyoroti beberapa program yang direncanakan oleh Prabowo, seperti Bank Tanah dan Food Estate, yang dianggap berpotensi memperparah konflik agraria. “Kita mendesak Prabowo untuk menghentikan program Food Estate dan fokus pada pembangunan pedesaan yang berbasis pada kepentingan rakyat,” ujar Kartika.
Selain itu, KPA meminta pembentukan Dewan Pertimbangan Reforma Agraria Nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden dan melibatkan organisasi rakyat. Lembaga ini diharapkan mampu memastikan pelaksanaan reforma agraria sesuai dengan tujuan awal, yaitu mengembalikan tanah kepada petani dan masyarakat adat.
Konsorsium ini juga menuntut pencabutan regulasi yang dianggap merugikan petani, seperti UU Cipta Kerja dan produk turunannya. KPA menggarisbawahi pentingnya penghentian segala bentuk kejahatan agraria yang telah berlangsung, termasuk praktik perampasan tanah atas nama investasi.
Dalam penutup pernyataannya, Dewi Kartika menekankan, “Jika persoalan-persoalan agraria ini tidak diselesaikan dengan cepat dan tepat, maka pemerintahan Prabowo-Gibran akan dihadapkan pada bom waktu konflik agraria yang lebih besar. Kita perlu mengingat semangat para pendiri bangsa dalam melahirkan UUPA 1960 sebagai jalan revolusi kaum tani untuk membebaskan diri dari kolonialisme berbasis penghisapan tanah dan sumber agraria.”
Pemerintahan baru ini diharapkan dapat memberikan perhatian lebih terhadap agenda reforma agraria untuk memperbaiki ketimpangan struktural yang telah lama membebani sektor pertanian di Indonesia.