Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Bamby
Ilustrasi: Astawa Teja

Kota Sunyi Tanpa Suara Tanpa Kata-Kata | Cerpen: Bamby Cahyadi



 ”Kota ini sangat sunyi!” sungut lelaki kurus berwajah pucat di dalam hatinya.

Sebuah gerutuan ketika ia baru saja sampai di kota ini dan menginap di sebuah hotel tua. Kesunyian adalah pemandangan pertamanya di kota ini. Pemandangan abu-abu suram disertai hujan yang menambur-nambur puncak menara balai kota di dekat alun-alun. Suara petir membelah kesunyian yang terasa ganjil seperti datang dari ruang terbuka gelap di antara dua gedung yang berdiri di depannya.

Ia kembali memandang keluar jendela, menembus kaca jernih yang lebih rendah dari ketinggian lantai tiga hotel tua ini. Ia mengikuti saja kehendak pandangannya ke sesuatu yang pasti bagian dari gedung yang berada tepat di seberang hotel.

Gedung itu memiliki halaman yang melingkar di bagian depannya, dan dikelilingi oleh dinding terbuat dari tembok setinggi tiga meter. Pintu masuk ke halaman terbuat dari jeruji besi yang tak kalah tinggi yang diatapi oleh lengkungan kanopi.

“Brengsek! Kenapa kota ini benar-benar sangat sunyi?” batinnya kesal.

Lelaki itu berberanjak dari jendela. Ia lantas berdiri mengamati dirinya di sebuah cermin yang tergantung di dinding. Ia kelihatan sangat pucat di pantulan cermin itu, bayang-bayang abu-abu di bawah matanya begitu mencolok memberikan kesan rasa lelah. Sambil memandangi pantulan dirinya sendiri di cermin, ia mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Tidur atau tetap terjaga dan terus-terusan memandangi cermin hingga pagi tiba.

Sebenarnya ia tak suka memandangi cermin. Ia tak terbiasa melihat wajahnya yang tampak beriak ketika ia menatapnya seperti pantulan yang terlihat di air mendadak bergelombang dikarenakan ada getaran yang melanda permukaan air itu.

Beberapa saat kemudian hujan reda. Sepetak cahaya bulan menyelinap melalui sela-sela jendela. Sinar rembulan yang bocor dari celah awan memantul dari beberapa titik genangan air di jalanan berlubang di depan hotel. Ia merasakan tubuhnya sangat letih, ia pikir membaringkan tubuhnya di ranjang bisa meredam kelelahannya. Ia memilih kemungkinan untuk tidur.

Saat ia merebahkan tubuhnya di ranjang dengan kaki masih menjejak lantai, ia melihat dalam keremangan puncak kepala seseorang sedang menunduk di tepi ranjang. Seseorang itu sosok perempuan. Perempuan yang sedang menunduk itu menengadah lantas menatapnya. Alis perempuan itu tampak berwarna sedikit gelap daripada rambutnya yang berwarna keperakan. Perempuan itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat kepadanya. Ia menatap lekat ke arah perempuan itu dan bertemu pandang dengannya. Mata perempuan itu berwarna cokelat yang sangat gelap hingga terlihat begitu kelam ada sorot kerinduan yang berlarat-larat. Sambil melengkungkan punggung, perempuan itu menarik tubuh kurus lelaki itu dalam pelukan. Lelaki itu merasakan sesuatu yang hangat dan basah keluar dari tubuh perempuan itu. Lelaki itu membiarkan sentuhan tangan perempuan itu menenangkannya. Ia pun memeluk tubuh perempuan itu erat-erat bagaikan bayi yang takut terlepas dari gendongan ibunda.

Badannya bergetar hebat. Ia terbangun, tersentak dari tidurnya yang begitu lelap dengan mimpi yang terasa aneh. Gelombangan kesedihan menerpanya saat ia mengingat-ingat adegan mimpi yang terjadi semalam ketika ia tertidur.

”Mimpi yang seharusnya tidak perlu terjadi,” batinnya.

Perempuan yang datang dalam mimpi itu adalah ibunya yang telah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu saat pandemi Covid-19 melanda dunia. Namun, ibu adalah alasan terbesar mengapa ia berada di kota ini. Kenangan dan rasa rindu tentang bagaimana ia bisa sampai di kota ini  memanjat dalam benaknya.

Pagi ini cuaca cerah, namun ia baru saja membayangkan kesepian akibat rasa rindu pada ibunya. Ia mendatangi kota ini untuk berziarah ke makam ibunya.

***

Dengan berjalan kaki dari ibu kota ia menuju kota sunyi ini. Saat ia mulai berjalan kaki, hari itu hari yang suram dan penuh kabut. Cuaca berkabut seperti ini biasanya terjadi setiap tahun di negerinya. Untuk menuju ke kota yang terletak di titik pertemuan dua sungai, jalan yang harus dilaluinya begitu turun naik dan berliku-liku menembus lereng-lereng perbukitan yang di kanan-kirinya adalah jurang-jurang curam dan dalam.

Berbelok ke kiri mengelilingi dasar sebuah gunung yang cukup tinggi dengan tebing curam di sebelah kanan jalan yang diberi pagar berupa tonggak-tonggak kayu penyelamat, sekaligus pembatas agar kendaraan yang melewati jalan itu tidak terperosok ke jurang. Akan tetapi, sekarang, pemerintah negerinya melarang warganya menggunakan kendaraan bermotor yang bisa menimbulkan suara bising, maka cara terbaik adalah berjalan kaki selama sehari semalam dari ibu kota. Begitu melewati punggung gunung maka sampailah ia di kota sunyi ini.

Sebuah kota yang dijadikan tempat isolasi sekaligus pusat karantina nasional ketika pandemi Covid-19 melanda dunia beberapa tahun silam. Kota ini dipilih oleh pemerintah negerinya karena letak kota yang strategis ialah tertutup serta dikelilingi pegunungan, dan tentu saja cukup jauh dari pusat keramaian kota-kota lain.

Pada masa itu, ibunya dinyatakan positif terpapar Covid-19 entah dari mana, entah dari siapa? Menjadi bukan hal penting untuk dipertanyakan. Tentu saja satuan tugas Covid-19 mengevakuasi ibunya ke pusat karantina nasional di kota ini untuk diisolasi dan dirawat. Namun karena mengalami gejala yang berat dan sang ibu memiliki riwayat penyakit bawaan diabetes, nyawa ibunya tak terselamatkan.

Ia mengetahui informasi tersebut dari surel yang dikirim ke alamat emailnya dari Pusat Isolasi dan Karantina Nasional setelah tujuh hari kematian ibunya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pemerintah sedang menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat secara ketat yang mewajibkan warga beraktivitas dari rumah, pun saat itu ia masih seorang remaja tak berdaya yang mendadak menjadi anak yatim piatu.

Ayah lelaki itu sudah lama meninggal ketika ia masih kanak-kanak dan pendemi Covid-19 belum terpikirkan dalam imajinasi manusia dapat meluluhlantakkan dunia. Ketika itu, ia hidup bahagia dan berkecukupan bersama ibunya di ibu kota. Hingga kebahagiaan hidupnya terenggut oleh pandemi yang baru usai bertahun-tahun kemudian.

Gedung bertembok tinggi yang kini ditatapnya dengan mata nanar dari balik kaca jendela hotel adalah salah satu bekas rumah sakit darurat Covid-19 di kota ini di mana ibunya dirawat.

***

Udara di sekitarnya berubah dingin saat ia membuka pintu kamar hotel dan keluar menuju lobi. Jantung lelaki kurus berwajah pucat ini mulai berdetak lebih cepat, udara di sekitarnya mendadak terasa berat.

Dari lobi hotel ia berbelok ke kanan menembus kerumunan peziarah lainnya yang sedang berkumpul di depan pintu masuk hotel, ia terus bergerak maju dengan kecepatan yang sudah dipertimbangkannya. Orang-orang melompat ke samping, menggerutu tetapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk mengumpat. Mereka tidak ada yang bersuara mengeluhkan perlakuan kasarnya tentang cara ia berjalan ketika ia lewat membelah kerumunan hanya dengan menggerakkan bahunya.

Pandemi Covid-19 memang benar-benar hilang dari negerinya ketika pemerintah melarang warganya mengeluarkan suara untuk sekadar berbicara atau berkomunikasi. Suara sekecil apapun, misalnya berdehem di tempat umum adalah tindak pidana, dan akan mendapat ganjaran hukuman setimpal. Karena jalan senyap itulah cara satu-satunya agar virus itu tidak menulari orang kepada lainnya, agar orang-orang tak perlu memakai masker lagi sepanjang hari ketika beraktivitas di luar rumah. Upaya ini sudah dilakukan lima tahun terakhir di seluruh negeri. Pun orang-orang tidak diperbolehkan bersuara bermula dari kota ini sebagai bagian dari uji klinis. Dan berhasil.

Pada waktu itu pemerintah negeri ini sangat frustrasi dengan penyebaran virus Covid-19 yang bermutasi menjadi pelbagai varian dengan begitu masif. Semua usaha telah dilakukan, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan vaksinasi massal, namun semuanya tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Warga negeri ini memang terkenal susah diatur, mereka sangat suka keluyuran keluar rumah, berwisata, berkumpul, berpesta, dan malas menggunakan masker serta mematuhi protokol kesehatan lainnya. Hingga Menteri Kesehatan memberikan sebuah solusi kepada Presiden berdasarkan hasil uji coba di kota ini. Usulan itu ialah melarang siapa pun bersuara. Mengeluarkan suara melalui mulut, atau hidung sekalipun akan dipenjara di sebuah pulau terpencil yang telah disiapkan pemerintah. Presiden menyetujuinya.

Pada waktu itu, semua warga negeri diberikan semacam kalung terbuat dari besi nirkarat ketika melakukan vaksinasi massal. Kalung itu semacam alat pendeteksi suara dilengkapi dengan GPS yang begitu akurat dan dikontrol secara ketat oleh aparat dari Biro Pengawas. Karena itulah mengapa lelaki kurus ini saat menggerutu pun ia melakukannya di dalam hati.

Bukan hanya kota ini yang sunyi, seluruh negeri ini sebenarnya telah menjadi sunyi. Pun di negeri ini tidak diperbolehkan lagi kendaraan bermotor beroperasi. Seluruh mobilitas warga dilakukan dengan berjalan kaki, membuat warga malas untuk pergi jauh-jauh dari rumah. Meski negeri ini telah menjadi sunyi, namun yang ia rasakan kota ini sangat sunyi dibandingkan ibu kota atau kota-kota lain yang pernah ia kunjungi.

Saat ini, ia tengah berjalan menyusuri trotoar kota sunyi yang di kanan-kiri terhampar kuburan massal korban Covid-19 dimakamkan dan pelbagai papan peringatan untuk tidak bersuara.

Ia terus berjalan dalam diam, di dalam diam pandangannya bekerja keras menyapu beribu batu nisan, mencari pusara ibunya di hamparan kuburan massal yang begitu luas sampai matanya merasa lelah. Hingga menjelang senja ia tak menemukan kuburan ibunya. Bibirnya ingin sekali berucap untuk sekadar bertanya dan berbicara pada dirinya sendiri.

”Ibu di mana? Aku rindu Ibu!” Akhirnya ia berteriak dengan suara sangat keras sambil menangis meraung-raung. Ketakutan untuk bersuara terkalahkan oleh kerinduan. Kalung lelaki itu bergetar dan lampu indikatornya menyala merah. Beberapa saat kemudian ia telah dikepung oleh aparat dari Biro Pengawas yang entah muncul dari mana, tanpa suara, tanpa kata-kata.***

Jakarta, 25 Desember 2021


Bamby Cahyadi, lahir di Manado 5 Maret. Ia hanya menulis cerita pendek, karena menulis novel ia tak pernah sanggup. Kesehariannya ia bekerja di industri Food and Beverages yang penuh tekanan. Telah menerbitkan empat buku kumpulan cerpen dan sedang menanti kelahiran buku kumcer kelimanya yang berjudul Seminar Mengatasi Keluhan Pelanggan penerbit DIVA Press 2022.