Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kota Para Pengkhianat | Cerpen: Hari Niskala

Kota Para Pengkhianat | Cerpen: Hari Niskala



Sekira sepuluh tahun yang lalu kau adalah seorang remaja lima belas tahun dengan rasa penasaran yang tak henti berseliweran dalam benak. Tiap akhir pekan kau mengunjungi rumah kakekmu di balik bukit yang jalurnya turut mengantarmu ke pantai selatan. Kau tak mungkin lupa, sebelum jalur meliuk di antara pohon-pohon jati kau harus ambil belok ke kanan untuk bisa sampai ke rumah itu, rumah kakekmu. Jalan kecil bermakadam dan sering membikin ban sepeda motormu lecet adalah ujian terakhir yang akhirnya mempertemukanmu dengan cerita-cerita seru kakekmu, juga nasi jagung hangat nan lezat dari tangan nenekmu.

Sekira tiga tahun kemudian kau mengajak pacarmu untuk bertamasya singkat mengagumi telaga dan jajaran perbukitan yang menghijau. Kala itu adalah masa akhir kau bersekolah di sebuah SMA swasta di pusat kota. Kau merasa perlu merayakan kelulusanmu.  Rintik gerimis dari atas memaksa kalian berteduh di sebuah pohon raksasa. Tak ada siapa-siapa ketika itu, dan kalian bercumbu tanpa melontarkan sepatah atau dua patah kata. Hening. Gerimis masih berwujud gerimis saat tubuh kalian sama-sama telanjang dalam pergumulan penuh berahi. Kau menekan lebih kuat hingga muncul sebunyi desah penghabisan yang hingga berhari-hari kemudian menghantui siang dan malammu.

Seusai percumbuan itu kau mengajak pacarmu untuk sekadar mampir ke rumah kakekmu, dan lagi-lagi kau memperoleh cerita-cerita seru yang nyaris sama dengan sebelum-sebelumnya. Cerita mengenai pengkhianat. Hampir-hampir kau lupa bahwa pengkhianat itu ada di mana-mana. Para pengkhianat bahkan berserikat dan membangun sebuah pemukiman untuk dihuni bergenerasi-generasi tanpa pernah terendus manusia-manusia dari kubu yang berlawanan. Kau pernah mengambil sebuah dugaan secara serampangan, bahwa lawan kata pengkhianat adalah loyalis. Tapi, bukankah loyalis punya potensi lebih besar untuk melakukan pengkhianatan? Kau memendam pertanyaan itu dalam hati, hingga kau tak tahu kapan akan menyemburkannya.

Beberapa hari sebelumnya, bersama pacarmu kau sempat memperoleh cerita lain, yakni cerita mengenai para pengkhianat yang pernah mencoba merongrong pemerintahan yang sah di negerimu. Di masa itu sering digambarkan melalui serangkaian pemberontakan, penjarahan, dan aksi baku tembak yang melubangi dada anak-anak. Kau dapat bayangkan ceceran darah bercampur centang-perenang dengan bau mayat dan sampah-sampah lembab dan bau mesiu dalam kadar lebih samar. Pacarmu bergidik. Kau merasa ngeri. Senyatanya pemberontakan dan baku tembak tidak hanya terhelat di satu wilayah. Kau mengingat-ingat pelajaran sejarah, begitupun dengan pacarmu. Di Sulawesi. Di Maluku. Di Jawa. Di Sumatera. Beberapa titik saja. Tapi itu cukup membikin resah pemerintah negara kesatuan yang dipercayakan pada Bung Besar.

Kau lalu dibikin melongo pada cerita yang menerangkan sebuah kota yang pernah disinggahi presiden kedua, ialah presiden yang berkuasa setelah Bung Besar dilengserkan. Kota itu dekat dengan laut, dan kau akan menemui bangunan-bangunan menyerupai loji di kanan dan kiri. Kota itu sungguh-sungguh ada, kata kakekmu sembari mengendus-endus daun sirih. Kemudian kakekmu bercerita dalam bayang-bayang rasa takut yang sulit dimengerti, yakni tentang orang-orang kulit putih yang datang dan pergi dan berganti-ganti rupa di tiap pekan. Ada sebuah rumah besar yang jadi tempat bertemu orang-orang penting, juga orang-orang kulit putih yang berganti-ganti rupa di tiap pekan itu. Mereka membahas sesuatu, tentu saja. Dan setelah pembahasan itu rampung, mereka akan tertawa dan berpesta dan mabuk sembari main kartu, kemudian tertidur pulas di sofa (atau di lantai berkarpet) sembari tersenyum dalam buaian mimpi mengenai rencana-rencana yang mendekati kenyataan. Lalu pada keesokan harinya si presiden kedua akan berpidato melalui layar televisi bahwa negara yang dipimpinnya akan menjadi negara makmur dan sentosa. Gemah ripah tanpa sumpah serapah.

Apa yang terjadi di tahun-tahun setelah itu? Kau bisa lihat sendiri di buku-buku sejarah. Namun, tak semua kebenaran dapat kau peroleh dari buku-buku. Kau diam. Pacarmu diam. Kakekmu melanjutkan cerita yang semestinya lebih cair dan hangat saat nenekmu membawakan tiga cangkir teh. Namun suasana tetap muram dan terkesan melelahkan. Ada titik yang membawa lidah kakekmu menuju sebuah tembok tinggi yang disebut oleh orang-orang di luar sana sebagai kuldesak. Dan rongga menganga di antara bibir kakekmu jadi seperti labirin hitam nan panjang yang entah di mana ujungnya. Seperti misteri. Hampir-hampir tak terkuak. Kemudian kau mencoba mafhum bahwa kakekmu memang tak muda lagi, juga daya ingatnya, juga kemampuan bicaranya, juga perangainya yang semakin membosankan.

Selagi cerita itu masih bergentayangan di ingatanmu, kau minta pamit, sebab ada perihal yang membuatmu rindu rumah tiba-tiba. Namun, setiba di rumah kau hanya berbaring hingga tertidur dan terbangun beberapa bentar untuk kemudian tertidur lagi lebih lama. Kau baru terbangun—atau merasa benar-benar terbangun—sepuluh tahun kemudian. Kau rasai masa-masa berkuliah di Fakultas Perjalanan Rohani dan Ilmu Hukum tak lebih dari mimpi, juga kegiatanmu sewaktu mengurus buletin mahasiswa hampir-hampir membikinmu jadi bayang-bayang sebuah monster yang ingin menerkam mangsa. Bayang-bayang saja, tak lebih. Dan kau bukan monster dalam arti yang sebenar-benarnya. Kau merasa tak menemukan apa-apa saat kemudian kakekmu berpulang dengan enteng ke hadapan Tuhan. Kau tahu bahwa akhirnya sebuah riwayat jadi terbengkalai sedemikian rupa, kecuali kau dapat hidupkan lagi kakekmu. Tapi hanya cemas bercampur gundah yang kemudian mengemuka hingga membikinmu jadi sering murung dan menyendiri.

Kau pandangi wajah Bung Besar yang tergurat dalam lukisan poster kamarmu. Kian kabur dan kian memilukan. Kau tak tidur berhari-hari sebagaimana cerita mengenai pengkhianat terus menderum bak mesin yang sedang dipanaskan. Ya, cerita itu, cerita kakekmu yang masih kau yakini kebenarannya, bahwa pengkhianat itu ada dan membangun sebuah kota yang entah di mana letaknya. Berbekal sebuah kelambanan, akhirnya kau lecut dirimu sendiri mencari-cari buku yang mempunyai persangkutan dengan keberadaan para pengkhianat dan kota-kota yang mereka huni. Lalu di sebuah perpustakaan dekat taman kota yang sepi kau memperoleh buku yang disusun oleh penulis bernama C.Semanggi, berangka-tahun 2022, berjudul Tentang Bagaimana Para Pengkhianat Membangun Kota. Dengan buku itu kau merasa kepercayaan dirimu kembali menajam. Dua ratus halaman saja. Kau yakin dapat menuntaskannya dalam tiga atau dua hari saja hingga kau tersadar bahwa buku tersebut tak banyak membantu.

Kau justru kecewa karena buku itu lebih banyak membahas perkara teknis beserta piranti-piranti bangunan di zaman modern. Kau seperti digurui beberapa perihal komposisi semen dan pasir, cara menyusun batu bata, kiat membikin dinding yang presisi, menyiapkan pondasi yang kuat hingga puluhan tahun, dan cara membikin bubungan rumah loji. Singkatnya, kau seperti membaca buku panduan untuk mahasiswa fakultas teknik sipil. Singkatnya lagi, kau kemudian membanting buku itu hingga mendarat di dekat mangkuk bekas mi instan dan sampah sisa kudapan yang belum kau bereskan dari kamarmu. Di sana dua-tiga lalat berdengung-dengung, uring-uringan di atas mangkuk yang tinggal menyisakan bumbu kimia mi instan tersebut, membikin pikiranmu yang sudah sengkarut sejak awal menjadi turut uring-uringan.

Kau memutuskan berjalan-jalan ke luar rumah demi menemui pacarmu, lalu mengajaknya melihat-lihat lagi isi perpustakaan di dekat pusat kota yang sepi. Kau tak canggung bersiul-siul sembari menggandeng tangan pacarmu meski hanya bercelana pendek.  Beberapa menit kemudian kau terhenyak begitu menyadari tak ada buku baru di perpustakaan itu. Kau tetap bersikeras menyisir sisi-sisi rak yang jadi sarang kumbang kayu, sementara pacarmu tenang saja membolak-balik buku kumpulan cerita pendek Raymond Carver: What We Talk About When We Talk About Love. Tak lama kemudian kau menemukan keberuntungan yang nyaris simetris dengan pacarmu. Di antara buku-buku sejarah yang tersempil bersama catatan-catatan memuakkan mengenai prosedur penanaman modal asing di era presiden kedua kemudian kau temukan buku What We Talk About When We Talk About Traitor. Buku setebal empat ratusan halaman itu ditulis oleh J.Fitroh, diterbitkan tahun 2025 di sebuah kota di wilayah pinggiran. Kau pelajari buku itu tanpa memerlukan duduk, hanya berjongkok memunggungi sebuah poster bergambar tabung reaksi beserta rumitnya persamaan kimia.

Setengah jam kemudian seorang petugas kebersihan berseragam biru memperingatimu bahwa perpustakaan akan tutup sepuluh menit lagi. Kau bergegas menghafal nama-nama pengkhianat yang dicurigai oleh J.Fitroh itu. Kau tak bisa membantah isi buku itu, juga argumen J.Fitroh yang menyertakan catatan bawah tanah yang tak sekalipun masuk dalam kurikulum sekolah. Maka kemudian dengan senang hati kau mencatat nama Gunawan, Fajri, Pariman, Darbini, Hans, Widatmo dalam buku kecil yang sering kaubawa ke mana-mana.

Seminggu setelah itu kau menemukan nama Buhut dan Permadi dan Rudiman sebagai pengkhianat-pengkhianat yang cukup disegani. Melalui buku berjudul Pengkhianat dan Catatan Senja karangan R.Bayusiwi yang terbit di tahun 2023 itu kau seperti menemukan cahaya yang lebih terang. Kau mulai berani menulis kendati tak menemukan catatan atau buku yang menjelaskan perihal nama kota yang menjadi sarang para pengkhianat. Kau tak tahu untuk apa menulis. Kau hanya tahu bahwa kau merasa menemukan kesenangan saat menulis. Ya, apalagi menulis mengenai para pengkhianat yang sewaktu-waktu mengerat seperti kawanan tikus liar.

Kau berhitung, menimbang, menerka, membikin taksiran di dalam kepalamu. Sebuah esai mengenai pengkhianat kau tulis dalam rentangan tiga hari tiga malam. Kau memerlukan berhitung, menimbang, menerka, membikin taksiran lagi sebelum memetik kesimpulan bahwa lebih memungkinkan menulis cerita pendek daripada menulis esai. Kau pun menyimpan esai itu untuk dirimu sendiri, kau tahu alasannya. Dan kau benar-benar menulis cerita pendek (atau, cerita pendek yang hampir-hampir mirip esai?) yang selesai dalam sembilan hari dan kauberi judul Kota Para Pengkhianat.

Dalam cerita pendek yang kaubungkus dalam dua ribu sembilan ratus kata itu kau menerangkan maksud para pengkhianat membikin kota. Mula-mula tokoh bernama Gunawan berbincang dengan tokoh bernama Hans di suatu pagi yang cerah di bulan Mei. Mereka merancang rencana, tentu saja, sebagaimana orang-orang besar tak mungkin menghelat sebuah perbincangan untuk sekadar berkelakar. Lalu, apa yang mereka rencanakan? Sebelum kau sempat menerangkan perihal yang mereka rencanakan, kau malah buru-buru memasukkan tokoh bernama Rudiman yang merupakan seorang cendekiawan politik. Perbincangan kian cair oleh suntikan ide Rudiman, tapi pembaca tak pernah tahu apakah suntikan ide dari nama yang datang belakangan itu merupakan bagian dari rencana awal atau bukan.

Kau membikin sebuah kondisi yang memaksa tokoh bernama Hans minta pamit. Maka tinggallah Gunawan dan Rudiman berdebat sengit mengenai rencana melancarkan aksi massa di tiga wilayah berbeda. Satu jam kemudian tokoh bernama Pariman hadir sebagai penyokong cerita. Kau ingat bahwa Pariman adalah mantan organisator sebuah aksi mahasiswa di suatu siang yang panas di bulan Januari. Masa-masa itu telah lewat, tentu saja, tapi Pariman masih cukup cerdas membagikan strateginya kepada Gunawan dan Rudiman. Di paragraf kesepululuh kau menerangkan bahwa aksi massa itu lancar belaka, cukup untuk membikin ciut lawan yang mencoba menghalang-halangi niat para pengkhianat. Jadi jelas bahwa sebuah pemerintahan yang sah kembali diguncang oleh sekawanan pengkhianat. Berita-berita panas kemudian menghiasi media massa, tapi presiden masih dapat memerintah dan meredakan isu-isu tak menyenangkan itu melalui asistennya di kementerian informasi.

Di paragraf berikutnya kau bermaksud memasukkan tokoh Fajri dan Buhut dalam jalinan cerita. Mereka kemudian menjadi penyusup yang namanya tertera dalam kabinet baru bikinan presiden. Fajri menjadi juru bicara kepresidenan, sementara Buhut menjadi menteri kanon multi-urusan. Mereka tampak lincah, dan orang-orang di kelas pekerja bisa jadi geram tanpa tahu siapa biangnya. Demikianlah, kemudian kau mulai ragu, atau justru merasa buntu, dan memilih memampatkan paragraf ketujuh belas itu sebagai suspense. Kau tak lagi peduli apakah suspense itu berhasil atau tidak. Selanjutnya, kau memilih menutup ceritamu melalui tokoh Darbini yang mengusulkan pembangunan sistem keamanan di kota para pengkhianat itu. Darbini yang telah berusia uzur bahkan menghendaki keamanan berlapis yang diimpor dari negeri adidaya, yang dapat membikin kota itu hanya terlihat sebagai rawa, atau tak terlihat sama sekali. Usul itu diterima oleh semua orang di kota para pengkhianat. Maka jadilah kota itu benar-benar tampak seperti rawa seluas sembilan ratus hektar. Cerita selesai. Kau menengoknya lagi hingga tersadar bahwa kau belum menambahkan catatan kaki.

Pada catatan kaki mengenai Gunawan, kau menuliskan kalimat panjang mengenai kiprahnya sebagai penyair dan budayawan dan pengelola lembaga diskusi dan pemilik sekian persen saham di perusahaan surat kabar, juga sebagai seorang yang pernah menjegal novelis bernama P.A.T. hingga batal meraih penghargaan kesusastraan level tertinggi. Kau tambahkan pula catatan kaki mengenai Hans yang rajin membikin catatan dokumentasi, mengenai Darbini yang merasa memperoleh mandat membangun kota, mengenai Buhut yang pernah menjadi panglima militer, mengenai Fajri yang punya rekam-jejak memukau dalam kiprahnya sebagai pengamat politik, mengenai Rudiman yang tak banyak bicara namun disegani kalangan cendekiawan negara-negara tetangga, mengenai Pariman yang merupakan menantu dari Darbini. Dan lain-lain. Dan sebagainya. Dan lain sebagainya.

Kau menunggu dua bulan hingga akhirnya merasa jengah dengan redaktur sastra harian Ngrawa Pos. Kau meneleponnya di suatu pagi saat kau baru bangun tidur dan belum sempat mencuci muka

“Halo, ada apa?”, tanya suara di seberang telepon.

“Halo… Anda di mana, Ruswandi?”, jawabmu berbasa-basi.

“Di kantor. Ada yang bisa saya bantu untukmu?”

“Anda sudah baca cerita pendek saya, Ruswandi?”

“Sudah. Saya bahkan membacanya tiga kali.”

“Jadi, bagaimana?”

“Ceritamu bermaksud menggugat orang-orang yang punya pengaruh di negeri ini. Kamu menuding mereka sebagai pengkhianat.”

“Saya menyamarkan nama-nama mereka, Ruswandi.”

“Ya. Ya. Tapi saya tahu orang-orang yang disamarkan itu.”

“Anda memang redaktur yang punya wawasan.”

Sesaat kemudian hening sebelum kau melontarkan pertanyaan baru

“Apakah cerita pendek saya layak terbit?”

“Maaf, saya tak bisa menerbitkannya.”

“Anda punya alasan?”

“Saya kira saya punya. Aaaa…”, Ruswandi terdengar gagap hingga dua menit, tapi kau menunggu sembari berkumur dengan air galon tanpa menutup sambungan telepon.

“…saya hanya khawatir tuduhanmu tak berbukti. Kamu terlalu nekat menghakimi mereka.”

“Wah, sayang sekali. Jadi, saya harus apa, Ruswandi?”

“Bikinlah cerpen baru. Tentang kegiatan menjaga pos ronda, misalnya. Saya lihat kamu cukup berbakat.”

“Baik, Ruswandi. Terima kasih.”

“Tunggu sebentar, kawan. Saya harap kamu tidak kecewa.”

“Tentu saja saya tidak kecewa, sebab saya tahu salah satu dari mereka yang saya tulis dalam cerpen itu adalah pemilik sebagian besar saham di perusahaan tempat Anda bekerja.”, tandasmu tanpa basa-basi. Kau lalu menutup sambungan telepon tanpa beruluk salam.

Kau membolak-balik dirimu sendiri di atas ranjang, menghayati bunyi derit yang langka dan antik sebelum memutuskan mengunjungi kos pacarmu dua jam kemudian. Dan pada satu jam sebelum kau memutuskan itu, kau tak tahu bahwa seorang lelaki telah datang terlebih dulu. Lelaki itu bahkan mengatakan pada pacarmu bahwa kakekmu adalah bagian dari komplotan pengkhianat yang turut bikin kisruh dalam pemberontakan yang terjadi di dekade 60 sampai 70. Kau juga tak tahu bahwa lelaki itu merayu pacarmu sedemikian rupa, bahkan mengulum bibir pacarmu, lalu memilin-milin dada stupa pacarmu. Kau bahkan tak tahu sebuah situasi yang kemudian menggiring tubuh mereka pada sebuah adegan saling tindih setelah menelanjangi satu sama lain. Ya, kau tak tahu hingga kau benar-benar tiba di kos pacarmu dan mendapati pacarmu dengan tubuh telanjang sedang meringkuk manja di pelukan seorang lelaki yang juga telanjang.

Kau sempatkan berbasa-basi pada lelaki yang kemudian terperanjat dan bermaksud membela diri itu. Kau tahu bahwa lelaki itu adalah Ruswandi si redaktur sastra di harian Ngrawa Pos, tapi kau tenang saja berucap, “Anda tadi bilang sedang di kantor. Ah, Anda mengibuli saya rupanya.”

Ruswandi tampak berusaha mengatakan sesuatu, pun dengan pacarmu. Tapi kau tak mendengar apa saja yang mereka katakan. Ada perihal yang lebih penting daripada sekadar mendengar mereka berceloteh, pikirmu. Memang. Dan memilih mengepruk kepala Ruswandi dengan botol bir adalah “perihal lebih penting” itu. Kau pun melakukannya sekuat tenagamu, membikin sebuah kejutan seketika pada kepala Ruswandi, juga pada botol beling yang berpecah-belah kemudian. Pacarmu menjerit seolah meratapi batok kepala Ruswandi yang pecah itu. Tapi peduli apa, kau bahkan melempar Ruswandi yang masih telanjang melalui jendela kamar kos pacarmu di lantai dua. Lelaki itu jatuh tepat di bahu jalan hingga membikin orang-orang sama heran dan buru-buru merubung. Ia mungkin pingsan, atau mungkin lebih buruk lagi: mati.

Kau dengar pacarmu menjerit sekali lagi, tapi kau tenang saja meninggalkan kamar kos dengan seorang perempuan yang hanya mengenakan handuk itu. Kau tak peduli lagi dan ingin katakan persetan pada seorang yang pernah jadi pacarmu itu. Kau juga tak peduli jika kelak polisi menangkapmu. Maka kau teruskan berjalan, sesekali berlari dan membelok ke sebuah gang sempit. Kini kau tahu bahwa dirimu tak lagi menginginkan apa-apa, kecuali satu hal saja: menziarahi kuburan kakekmu.[]

22:40

08042020


Hari Niskala, dilahirkan di Kabupaten Tulungagung. Tak banyak kegiatan berarti yang dilakukan, sebab duapertiga hidupnya sering dihabiskan di warung kopi untuk mencelotehkan hal-hal yang masih dapat dijangkau oleh nalar manusia. Juga sebulan sekali mencoba peruntungan dengan menjadi pengamen di gubuk maya sederhana bernama Sadha. Sejak empat belas tahun yang lalu mencoba sepenuh hati menggemari tim sepakbola Liverpool dan di waktu yang lebih luang menjadi pengagum tim sepakbola Juventus. Buku novelnya yang telah terbit berjudul Jalan Pulang dan Omong Kosong yang Menunggu Selesai  (Rua Aksara, 2021).