KontraS Desak DPR Tunda Pembahasan R-Perpres Peran TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Berita Baru, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai ancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Peran TNI dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih memiliki banyak masalah.
Bahkan R-Perpres tersebut dinilai belum sesuai dengan tujuan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
KontraS juga menyampaikan bahwa sejak awal perumusan R-Perpres tersebut, berbagai organisasi masyarakat sipil telah menyampaikan kritik dan memberikan masukan secara konstruktif. Akan tetapi masukan-masukan tersebut tidak diperhatikan oleh pemerintah.
“Namun R-Perpres hasil penyempurnaan dari Pemerintah pada tanggal 1 Oktober 2020, belum mengakomodir masukan-masukan dari pelbagai elemen masyarakat,” tutur Fatia Maulidiyanti, Badan Pekerja KontraS dalam keterangan tertulisnya.
Dalam hal ini KontraS kembali menyampaikan bahwa R-Perpres yang dijadwalkan akan dibahas oleh Pemerintah dan Komisi I DPR pada masa sidang II tahun 2020-2021 tersebut masih banyak catatan yang harus diperbaiki.
“Pertama R-Perpres ini masih memposisikan TNI sebagai aktor utama penanggulangan terorisme dengan memberikan fungsi yang sangat luas yaitu penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Hal ini bertentangan dengan UU 5/2018 yang memposisikan TNI sebagai bagian dari tim penanggulangan terorisme di bawah koordinasi BNPT,” jelas Fatia.
Secara tegas ia menilai adanya fungsi penangkalan dan pemulihan pada TNI akan mengacaukan koordinasi antar instansi yang seharusnya dikoordinasikan BNPT.
“Seharusnya sebagai peraturan pelaksana UU Terorisme, RPerpres ini hanya mengatur secara operasional lebih jelas mengenai peran TNI khusus pada fungsi penindakan,” imbuhnya.
Kedua, KontraS meminta agar R-Perpres mengatur mekanisme akuntabilitas apabila terjadi pelanggaran hukum dan HAM dalam pelaksanaannya. Hal ini penting diatur mengingat praktik pertanggungjawaban tindak pidana terhadap anggota TNI yang secara faktual berlaku saat ini adalah mekanisme peradilan militer yang sudah seharusnya direvisi.
“Faktanya, aspek ini tidak diatur dalam Rperpres ini. Terlebih, anggota TNI tidak terikat pada batasan-batasan serta ancaman sanksi yang melekat pada penyidik kepolisian dalam menjalankan fungsi-fungsi penanggulangan terorisme,” terang Fatia.
Ketiga, ketiadaan pengaturan mengenai mekanisme pengawasan dan akuntabilitas dalam Perpres ini diperparah dengan belum adanya Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang tim pengawas penanggulangan terorisme sebagaimana mandat yang diberikan oleh pasal 43J UU Terorisme.
Keempat terkait pendanaan, RPerpres ini masih memasukan sumber pendanaan dari APBD dan sumber lainnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam UU TNI bahwa sumber pendanaan TNI berasal dari APBN.
“Kami mendesak DPR agar menunda pembahasan Rancangan Perpres tersebut, dan mengembalikan kepada Pemerintah untuk menyempurnakan dan menampung masukan-masukan yang telah disampaikan oleh masyarakat sipil dan akademisi,” pungkasnya.