Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kontestasi Elit Politik, Propaganda, dan Identitas
sumber: kontekstual com

Kontestasi Elit Politik, Propaganda, dan Identitas



Fadlan


Kita hidup di masa di mana ketimpangan, dan segala aspeknya, merajalela. Ketimpangan politik, misalnya, menyebabkan naiknya keterlibatan elit kaya dalam bisnis dan politik secara bersamaan. Nampak bahwa para elit tersebut ingin mempertahankan tatanan sosial seperti ini di dunia di mana uang bisa membeli nyaris apa saja termasuk pengaruh. Bagaimana para elit mampu mempertahankan posisi mereka dalam kontestasi demokrasi?

Jason Stanley, salah satu filsuf bahasa dan professor filsafat di Universitas Yale, menilai bahwa ini tidak terlepas dari propaganda politik. Ia menggambarkan cara kerja propaganda yang ia anggap sebagai salah satu senjata para elit. Stanley membahas bagaimana ketimpangan sosial terjadi karena propaganda yang memiliki ciri-ciri epistemik sering kali diabaikan dalam pembacaan umum.

Propaganda, dalam pengertian ini, menjelaskan bagaimana perpecahan sosial, secara ekstrem, terjadi di masyarakat kontemporer, yang dapat dengan mudah dikenali dengan melihat, sebut saja: gerakan nasionalisme dan rasisme. Selain itu, kita dapat memikirkan bagaimana kecenderungan ini muncul dan merongrong demokrasi. Demokrasi, menurut Wendy Brown, salah satu ahli politik Amerika, harusnya didasarkan pada kepentingan bersama melalui kontestasi tentang tujuan bersama dan prinsip-prinsip politik seperti sifat keadilan.

Stanley menyelidiki beberapa kondisi sosial yang ia nilai dapat menyukseskan jalannya propaganda. Meskipun umumnya propaganda selalu dikaitkan dengan Nazi Jerman atau Uni Soviet, dia berpendapat bahwa propaganda juga menimbulkan bahaya besar bagi demokrasi. Ditambah lagi, di era internet yang mana misinformasi begitu banyak beredar, bahaya ini justru semakin parah.

Jadi, apa itu propaganda? Secara sederhana, propaganda dapat dipahami sebagai bias informasi atau informasi menyesatkan yang disebarkan dengan maksud untuk mempromosikan agenda politik tertentu melalui cara-cara emosional. Pada dasarnya, propaganda bertujuan untuk mengeksploitasi emosi manusia dengan memobilisasi emosi tersebut untuk “mendukung” atau “menentang” sikap tertentu.

Kebanyakan orang mungkin lebih familiar dengan propaganda dari jenis “yang mendukung”. Propaganda “yang mendukung” sering kali ditemukan dalam rezim otoriter. Ini lah yang menurut Stanley sebagai jenis propaganda jahat dan merupakan ancaman bagi demokrasi. Karena propaganda semacam ini menampilkan dirinya sebagai seperangkat cita-cita yang, umumnya, mengatasnamakan prinsip kebangsaan, sementara pada kenyataannya justru menodainya. Maka pernyataan bahwa mereka mengemban cita-cita bersama kemungkinan besar hanya lah alibi untuk menyembunyikan tujuan utama mereka yang dilakukan untuk melayani kepentingan kelompok tertentu.

Terlepas dari rasa percaya tentang kesetaraan demokrasi di banyak negara maju, ketidakadilan masih tetap ada dan, mirisnya, hanya dapat dilihat oleh mereka yang secara langsung menderita karenanya. Olehnya, isu utama di sini adalah: demokrasi seringkali hidup berdampingan dengan ketimpangan ekonomi, agama, dan ras.

Stanley mengklaim bahwa cita-cita normatif bagi nalar publik dalam demokrasi adalah tentang “kewajaran”. Apa yang dia maksud dengan “kewajaran” di sini adalah semacam interpretasi atau bagaimana keterbukaan kita pada pandangan yang berbeda, di mana kita harus secara sadar mengakui bahwa beberapa teori/ideologi/pandangan, meskipun dipandang rasional dari satu perspektif, mungkin saja tidak rasional jika dilihat dari perspektif yang lain. 

Di sini lah Stanley menunjukkan pentingnya empati dalam konsepsinya tentang “kewajaran” tadi, karena empati berarti peka terhadap fakta bahwa ada beragam perspektif yang barangkali lebih “masuk akal” daripada perspektif kita sendiri. Aborsi dalam ajaran agama misalnya; agama mungkin menganggap aborsi “tidak rasional” dan di luar kewajaran, padahal itu tidak masalah jika dilihat dari perspektif humanisme sekuler.

“To be reasonable is to take one’s proposals to be accountable to everyone in the community,” tulis Stanley. Jadi,  bagaimana mungkin propaganda yang sekilas begitu rasional, namun di sisi lain malah melemahkan prinsip rasional itu sendiri?

Hal ini terjadi karena pandangan ideologi yang cacat. Ideologi cacat adalah ideologi yang digunakan untuk menciptakan sekat atas gagasan-gagasan baru. Di sinilah Stanley secara tegas menilai: fakta bahwa gagasan ini keliru secara epistemis dan bakal menjadi sebab ketimpangan politik. Yang artinya, peran utama dalam memproduksi dan mempertahankan ketimpangan atau ketidaksetaraan adalah bagaimana ideologi ini bekerja; ia difungsikan sebagai penghalang dalam usaha untuk memperoleh atau memperluas cara pandang. Kelemahan epistemis mereka ini baru bisa tercium ketika kita mengapresiasi (meskipun berpura-pura) sifat dari keyakinan ideologis ini.

Oleh karena itu Stanley menempatkan masalah ideologi yang cacat dalam ranah epistemologi sosial ini sebagai lawan dari psikologi individu. Langkah ini membuka gerbang untuk penjelasan yang lebih jauh mengenai keyakinan yang kuat terhadap ideologi. Salah satu alasannya adalah karena ideologi terhubung dengan identitas seseorang dan seringkali melegitimasi identitas tersebut.

Lebih jauh, kepercayaan semacam itu, secara konseptual, terhubung dengan identitas sosial penganutnya, yang memberi mereka “kekakuan” dan membuat mereka kebal terhadap kritikan atau serangan, bahkan di hadapan bukti yang berlawanan dengan pandangan mereka sekalipun. Selain itu, keyakinan semacam ini dibentuk oleh praktik dan kebiasaan sosial kita, yang sering kali dianggap sebagai dasar dari terbentuknya suatu komunitas. Oleh karena itu, tidak mengherankan, sulit bagi kita untuk meninggalkan kepercayaan semacam ini.

Mari kita ambil contoh mengenai afiliasi partai politik. Dalam banyak kasus, keyakinan politik, pertama-tama, sangat dipengaruhi oleh masyarakat di mana kita dibesarkan. Kedua, kepercayaan semacam itu, secara signifikan, membentuk pandangan kita tentang: orang mana yang akan berteman dengan kita dan dengan siapa kita harus bekerjasama. Dengan demikian, “komunitas” atau lingkungan tersebut membentuk keyakinan politik kita.

Namun, masalah akan muncul ketika keyakinan politik tadi terikat dengan partai politik tertentu, di mana kita, secara kebetulan, adalah salah satu anggotanya. Afiliasi partai politik, sebagaimana disebutkan di atas, sangat erat kaitannya dengan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Meninggalkan kepercayaan semacam itu, tentu saja, sangat melelahkan dan cukup berisiko, karena kita mungkin akan kehilangan status atau ditinggalkan oleh komunitas kita. Fakta bahwa kita terikat secara sosial menunjukkan bahwa identitas kita tidak “semua ada di kepala”, sebaliknya, itu dibentuk oleh keluarga, teman, dan lain sebagainya.

Olehnya, ideologi yang cacat bukan hanya masalah keyakinan subjektif, dan untuk memperbaiki hal tersebut kita mungkin bergantung pada realitas sosial. Sebagai bagian dari realitas sosial, keterikatan ideologis yang kuat dapat merusak wacana politik publik. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh mitos meritokrasi yang banyak dipahami, terutama dalam melihat kesenjangan ekonomi.

Bagi Stanley, meritokrasi menciptakan struktur kekuasaan hierarkis yang terlalu mengagungkan posisi puncak sosial, Brown pun menilai bahwa meritokrasi seolah menuntut mereka yang berada di anak tangga terbawah hierarki sosial bertanggung jawab atas posisi mereka sendiri. Padahal jelas “tanggung jawab” ini, secara tidak langsung, juga berperan penting dalam menumbuh-suburkan ketimpangan dan kesenjangan sosial.

Menurut analisis linguistik Stanley, maksud dari “tanggung jawab” di atas adalah untuk merujuk pada mereka yang biasanya dilabeli “masyarakat kurang beruntung” sebagai apa yang ia istilahkan dengan “negatively privileged.” Ini menjelaskan bagaimana posisi sosial si miskin yang telah kehilangan haknya di masyarakat.

Maka dari sini kita dapat melihat bahwa cita-cita kesuksesan menurut meritokrasi yang konon ditentukan oleh prestasi dan kamampuan setiap orang tidak lebih dari fatamorgana. Karena faktanya, banyak elit-elit kaya yang berkuasa secara politik tidak maraih posisi mereka sekarang atas dasar prestasi dan kemampuan mereka, sebagaimana meritokrasi gaungkan.

Hal ini bertentangan dengan gagasan bahwa posisi orang miskin adalah kesalahan mereka sendiri dan adalah menjadi tanggung jawab mereka untuk memperbaiki kesalahan itu. Dalam hal ketimpangan sosial, politik dan ekonomi, gagasan yang oleh Stanley sebut sebagai “negatively privileged” memungkinkan pemahaman yang lebih luas tentang apa yang sedang terjadi dan juga untuk reorientasi sosial.

**

Gagasan Stanley tentang propaganda, dalam menjelaskan bagaimana perpecahan dan ketimpangan sosial yang menurutnya dimobilisasi oleh para elit, mendorong kita untuk mempertimbangkan kembali bagaimana keterkaitan propaganda dengan persoalan tersebut. Bagi Stanley, identitas itu terdiri dari masyarakat sosial yang didefinisikan oleh serangkaian norma, yang dipahami sebagai aspek dinamis yang menginformasikan identitas pribadi.

Di dalam masyarakat, menyimpang dari norma-norma ini mungkin menimbulkan perselisihan, namun itu bukan hal yang mustahil. Jika identitas adalah norma-norma yang dinamis, maka hal yang paling merugikan dari propaganda adalah memasukkan ideologi politik ke dalam identitas ini. Ketika identitas pribadi, katakan lah, beriringan dengan beberapa ideologi-ideologi cacat, respon emosional pun akan dimunculkan. Berbeda dengan dinamika norma-norma sosial yang memiliki kemungkinan untuk dilanggar, sebaliknya, norma-norma ini bersifat statis, karena merupakan elemen penting dari identitas seseorang.

Propaganda mengeksploitasi sifat sosial dari identitas, sembari membelokkannya ke dalam dan mempolitisasi elemen-elemen penyusunnya. Selanjutnya, perdebatan politik yang seharusnya hanya tentang itikad baik, justru dipahami sebagai serangan pribadi. Cita-cita politik dimobilisasi sebagai representasi identitas individu, padahal sebenarnya mereka hanya memperkuat pandangan suatu kelompok yang menjadi sebab hilangnya narasi politik yang dinamis dan sehat.

Jika, seperti yang disarankan Brown, bahwa dasar demokrasi adalah kemungkinan untuk memeriksa, membela, mendukung, dan menolak ide-ide politik tertentu untuk, secara kolektif, mengembangkan gagasan tentang “kebaikan”, maka peran propaganda dalam menciptakan perbedaan, memperkuat perpecahan dan menegakkan ketidaksetaraan, menunjukkan kontribusinya terhadap kehancuran demokrasi. Hal seperti itu menandakan akhir dari pertimbangan demokratis tentang kebaikan yang didasarkan pada rasionalitas dan kepentingan bersama.

Jika kita tidak bisa bersepakat, paling tidak kita punya sedikit harapan untuk mencapai keadilan sosial. Namun ini tidak berarti bahwa kita berharap dan membidik masa depan di mana kita semua saling setuju satu sama lain. Sebaliknya, kita mustinya sadar bahwa politik harus diperebutkan, dan bahwa untuk mencapai homogenitas itu tidak ada gunanya bagi kita. Demokrasi yang baik adalah demokrasi di mana ide-ide diperdebatkan dan diadu. Namun bagaimana pun, kontestasi demokrasi tidak mungkin ada tanpa komunitas yang sehat secara epistemis yang tidak berada di bawah pengaruh propaganda jahat.


Fadlan: Penulis lepas dan pendiri Lingkar Studi Filsafat (LSF) Sophia, Palu.