Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Demiliterisasi Libya
Sejak 2015, perebutan kekuasaan telah mengadu GNA yang diakui PBB melawan pasukan LNA yang didukung oleh Rusia dan Mesir. Foto: Mahmud Turkia/AFP.

Konflik Libya: Trump Bahas Zona Demiliterisasi dengan Erdogan



Berita Baru, Libya – Pada hari Rabu (12/8), Kedutaan Besar Amerika Serikat di Libya telah mengumumkan bahwa Presiden Donald Trump dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai zona demiliterisasi di Libya tengah melalui panggilan telepon.

Mengutip Aljazeera, kedua presiden itu juga membahas cara-cara untuk mencapai penarikan lengkap pasukan asing dan tentara bayaran dari Libya. Keduanya juga menekankan perlunya untuk memungkinkan Perusahaan Minyak Nasional Libya (NOC) melanjutkan pekerjaan pentingnya menambang minyak.

Panggilan telepon kedua presiden itu diikuti dengan kunjungan Duta Besar AS Richard Norland kepada pejabat senior Turki di Ankara.

Menurut pernyataan Kedutaan Besar AS, kunjungan Norland itu membahas ‘kebutuhan mendesak untuk mendukung suara Libya yang benar-benar mengupayakan diakhirinya konflik. AS juga mendukung kembali ke dialog politik yang difasilitasi PBB, dengan penuh hormat, untuk kedaulatan Libya dan integritas teritorial.’

Selain itu, pada hari Senin kemarin, Norland mengunjungi ibu kota Mesir, Kairo. Di Mesir, Norlang berdiskusi dengan para pejabat Mesir tentang cara-cara untuk membawa perdamaian ke negara Afrika Utara yang dilanda perang itu. Ia juga bertemu dengan Ketua DPR Aqila Saleh yang berbasis di Tobruk.

Libya mempunyai sejarah menjadi negara paling maju di Afrika. Libya juga dikenal sebagai negara dengan cadangan minyak terbesar di Afrika. Namun Libya mulai terpuruk sejak pembunuhan Muammar Khadafi oleh para pemberontak yang didukung oleh NATO di tahun 2011.

Libya kemudian terpecah belah menjadi berbagai kelompok atau faksi hingga sampai saat ini ‘tersisa’ dua kelompok besar yaitu Pemerintah Kesepakatan Nasioal Libya (GNA) dan Tentara Nasional Libya (LNA).

GNA dipimpin oleh Jenderal Fayez Sarraj, dan LNA dipimpin oleh Jenderal Khalifa Haftar. GNA berbasis di Tripoli, sementara LNA berbasis di Tobruk.

Pada April 2019, Khalifa Haftar melancarkan serangan untuk merebut ibu kota Tripoli, dari Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui secara internasional.

Namun, usaha selama 14 bulan dari Haftar bulan lalu tampak mengalami kegagalan karena pasukan GNA, dengan dukungan Turki, berada di atas angin dan mendorong pasukan LNA dari pinggiran Tripoli dan kota-kota barat lainnya, seperti di Sirte, yang merupakan wilayah penting untuk akses sumber minyak.

Keberhasilan militer GNA sebagian bergantung pada drone yang dipasok oleh Turki yang mendorong mundur LNA dari wilayah udara Libya.

Konflik Libya berada diambang perang porksi di mana GNA didukung oleh Turki, sementara LNA didukung oleh Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Rusia.

Di tengah meningkatnya ketegangan, negara tetangga Mesir mengancam akan mengirim pasukan ke Libya jika pasukan GNA yang didukung Turki mencoba merebut kota strategis Sirte.

Bulan lalu, parlemen Mesir memberi lampu hijau untuk kemungkinan intervensi militer, tetapi Turki memperingatkan setiap penempatan Mesir di Libya akan menghambat upaya untuk mengakhiri pertempuran.