Konflik Israel-Gaza: Anak-anak yang Tewas dalam Serangan
Berita Baru, Internasional – Pada Minggu pagi, ketika serangan Israel menghantam jalan al-Wihda, di pusat Kota Gaza, korban tewas berjatuhan, salah satunya adalah keluarga al-Kawalek. Setidaknya 13 anggota keluarga besar al-Kawalek telah tewas, terkubur di reruntuhan rumah mereka sendiri.
Banyak dari korban adalah anak-anak, salah satunya dikatakan berusia enam bulan.
“Kami tidak melihat apa-apa selain asap,” salah satu anggota keluarga yang masih hidup, Sanaa al-Kawalek, mengatakan kepada Felesteen Online. “Saya tidak bisa melihat anak saya di samping saya dan saya memeluknya, tapi saya tidak bisa melihat apa-apa.”
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menggambarkan pemboman itu sebagai “tindakan tidak normal.” Salah seorang juru bicara mengatakan, serangan udara telah menyebabkan terowongan dan rumah-rumah runtuh bersamanya.
Di antara mereka yang tewas adalah saudara perempuan Yara, 9 tahun, dan Rula, 5 tahun. Keduanya telah menerima perawatan trauma dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC).
Al-Kawaleks adalah gadis-gadis sopan yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah mereka tepat waktu, kata salah satu guru mereka kepada BBC.
Berdasarkan gambar yang beredar di media online menunjukkan Aziz al-Kawalek yang berusia 10 tahun, satu-satunya anggota keluarga langsungnya yang masih hidup, duduk di dekat tubuh ibunya.
Ido Avigal 5 Tahun
Sementara korban termuda di pihak Israel adalah Ido Avigal, seorang bocah lelaki berusia lima tahun yang tewas Rabu lalu di kota selatan Sderot. Ido tewas di dalam sebuah ruangan yang dibentengi.
Ketika sirine roket berbunyi, ibunya menggendong dan membawanya ke sebuah ruangan yang dibentengi pada Rabu malam di Sderot, kata Times of Israel melaporkan.
Pecahan roket menembus lapisan logam pelindung yang digunakan untuk menutupi jendela ruangan tempat dia berada, juga melukai ibu dan saudara perempuannya yang berusia tujuh tahun. Dia meninggal karena luka-lukanya beberapa jam kemudian.
“Itu adalah bagian dari roket yang datang dengan sudut yang sangat spesifik, dengan kecepatan yang sangat spesifik dan pada titik yang sangat spesifik,” kata juru bicara IDF Hidai Zilberman mengenai insiden tersebut.
“Kami berada di rumah dan anak-anak sedikit bosan, jadi istri saya Shani pergi bersama mereka ke rumah saudara perempuannya yang berjarak dua gedung,” kata ayah Ido, Asaf Avigal, kepada Channel 13.
“Maaf saya tidak mengambil pecahan peluru itu,” kata Avigal pada pemakaman putranya. “Beberapa hari yang lalu, kamu bertanya kepada saya: ‘Ayah, apa yang akan terjadi jika sirene berbunyi saat kita berada di luar?’ Aku sudah bilang padamu bahwa selama kamu bersamaku kamu akan dilindungi. Aku berbohong. “
Beberapa bulan yang lalu, Tuan Avigal dan istrinya bercerita tentang betapa cerdasnya Ido, pemikirannya jauh seolah-olah dia berusia 50 tahun dengan usianya yang baru lima tahun. Dia sering mendesak ayahnya untuk meninggalkan komputer dan menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. “Cukup dengan layar – bersamaku,” katanya.
Nadine Awad, 16 tahun
Nadine Awad, seorang siswi Arab-Israel berusia 16 tahun, bersama ayahnya yang berusia 52 tahun pada dini hari Rabu lalu, ketika sebuah roket menghantam mobil dan rumah mereka, dan menewaskan mereka berdua. Ibunya, yang juga berada di dalam mobil, terluka parah, kata petugas medis.
Sepupu Nadine, Ahmad Ismail, mengatakan, dia mendengar suara roket menghantam dari dalam ruang keluarga, di kota Lod, dekat Tel Aviv.
“Itu terjadi begitu cepat,” katanya kepada penyiar publik Kan. “Bahkan jika kami ingin lari ke suatu tempat, kami tidak memiliki ruang aman.”
Nadine adalah “gadis yang sangat istimewa.” Di tahun pertama sekolah menengahnya, ia bercita-cita menjadi seorang dokter, kata orang-orang yang mengenalnya.
Kepala sekolahnya berkata bahwa dia “bermimpi mengubah dunia”.
“Dia adalah gadis yang istimewa, gadis yang sangat berbakat. Dia ingin menaklukkan dunia,” kata Shirin Natur Hafi kepada radio lokal, Times of Israel melaporkan.
Nadine telah terlibat dalam sejumlah proyek yang berhubungan dengan sains dan sosial dengan sekolah-sekolah Yahudi di daerah tersebut, dan dia berencana untuk berpartisipasi dalam program studi biomedis, kata Hafi.
Anak-anak dari keluarga al-Hadidi, 6 hingga 13 tahun
Omar Hadidi, bayi Palestina berusia lima bulan yang kehilangan ibu dan saudara kandungnya dalam serangan udara Israel. Rumah mereka terletak di Kamp Pengungsi Shati, hancur total. Mereka sempat menerima perawatan medis di Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza, Gaza.
Bayi Omar adalah satu-satunya keluarganya yang bertahan dalam serangan yang menewaskan ibu dan saudara-saudaranya.
Pada hari Jumat, empat anak Muhammad al-Hadidi – Suhayb (13), Yahya (11), Abderrahman (8), dan Osama (6), – mengenakan pakaian terbaik mereka dan pergi mengunjungi sepupu mereka di dekat rumahnya, di kamp pengungsi Syati di luar Kota Gaza, untuk merayakan Idul Fitri, yang menandai akhir Ramadhan.
“Anak-anak mengenakan pakaian Idul Fitri, mengambil mainan mereka dan pergi ke rumah paman mereka untuk merayakannya,” kata ayah mereka yang berusia 37 tahun kepada wartawan.
“Mereka menelepon di malam hari untuk memohon agar menginap dan saya berkata oke.”
Keesokan harinya, gedung tempat mereka menginap dihantam. Hanya Omar, adik laki-laki mereka yang berusia lima bulan yang selamat, setelah diseret dari puing-puing tempat dia berbaring di samping ibunya yang sudah meninggal.
“Mereka aman di rumah mereka, mereka tidak membawa senjata, mereka tidak menembakkan roket,” kata Muhammad tentang anak-anaknya. “Apa yang mereka lakukan sehingga pantas menerima ini? Kami warga sipil.”
Di tengah reruntuhan itu ada mainan anak-anak, permainan papan Monopoli. Dan pemandangan di meja makan dengan piring-piring yang masih terisi menu lebaran.
“Ketika anak-anak saya pergi tidur, mereka berharap bahwa ketika mereka bangun semuanya akan berakhir. Tapi mereka sekarang pergi. Saya hanya memiliki ingatan tentang mereka, dan aroma mereka di rumah saya,” kata Al-Hadidi kepada The Times.
Ibrahim al-Masry, 14 Tahun
Ibrahim al-Masry, ia tewas saat bermain dengan saudara-saudaranya di halaman depan rumah mereka di lingkungan utara Gaza pekan lalu, ketika serangan melanda, menurut laporan.
Ibrahim dan saudaranya Marwan, serta beberapa kerabat lainnya, tewas seketika.
“Setiap hari di bulan Ramadhan mereka bermain di jalan sebelum buka puasa,” kata ayah mereka, Youssef al-Masri, kepada The Independent.
“Kami tidak melihatnya datang, kami hanya mendengar dua ledakan besar … Semua orang berlarian di jalan, anak-anak berdarah, ibu-ibu menangis, darah berceceran di mana-mana.”
Saudara laki-laki mereka, yang juga dipanggil Ibrahim, mengatakan bahwa mereka sedang mengisi karung jerami untuk dijual di pasar lokal.
“Kami tertawa dan bersenang-senang, ketika tiba-tiba mereka mulai membom kami, segala sesuatu di sekitar kami terbakar,” katanya kepada kantor berita AFP.
“Saya melihat sepupu saya terbakar, dan tercabik-cabik,”
Hamza Nassar, 12 Tahun
Sebelum maut menyapanya, Hamza Nassar meninggalkan rumahnya di Gaza pada Rabu malam untuk mendapatkan beberapa sayuran sehingga ibunya dapat menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Namun ia tak lagi kembali ke rumah.
Serangan Israel yang terjadi di dekat pemakaman Abu al-Kas telah menewaskannya, Al Jazeera melaporkan.
Hamzah adalah anak yang baik dan murid yang luar biasa, kata ayahnya kepada Al Jazeera.
Tala Ayman Abu al-Auf, 13 Tahun
Serangan yang sama yang menimpa rumah al-Kawaleks juga merenggut nyawa Tala Ayman Abu al-Auf yang berusia 13 tahun, dan saudara laki-lakinya yang berusia 17 tahun, Tawfik.
Ayah mereka, Dr Ayman Abu al-Auf, juga tewas dalam serangan itu. Dia adalah kepala di rumah sakit Shifa Kota Gaza, tempat dia bertanggung jawab atas respons virus korona.
Guru Tala, yang tidak mau disebutkan namanya, menggambarkannya sebagai “siswa yang berprestasi” di kelas tujuh.
Tala “tertarik dengan kelas agama dan dia suka membaca dan menghafal Alquran,” kata guru itu kepada BBC, seraya menambahkan bahwa dia selalu siap untuk ujian.
Dia juga telah mengambil bagian dalam program NRC untuk membantu anak-anak mengatasi trauma.
“Mereka sudah sangat menderita,” kata Hozayfa Yazji, manajer lapangan wilayah dewan pengungsi, kepada BBC.
“Kegilaan ini harus dihentikan … kekerasan harus dihentikan, untuk memberi anak-anak ini masa depan.”