Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Komnas Perempuan
Memastikan Pemenuhan Hak Kesehatan Tanpa Stigma pada Perempuan dengan HIV dan AIDS (Foto: Parapuan)

Komnas Perempuan Serukan Penghapusan Stigma dan Diskriminasi terhadap Perempuan dengan HIV/AIDS



Berita Baru, Jakarta Dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia 2024, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan pentingnya pemenuhan hak kesehatan tanpa stigma, diskriminasi, dan ketidaksetaraan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS. Seruan ini sejalan dengan tema global “Take The Rights Path: My Health, My Rights” dan tema nasional “Hak Setara untuk Semua, Bersama Kita Bisa.”

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, dalam siaran persnya menekankan bahwa pemenuhan hak kesehatan bagi perempuan dengan HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan dari upaya penghapusan stigma dan diskriminasi. “Pemenuhan hak atas kesehatan bagi orang dengan HIV dan AIDS, terutama perempuan, haruslah dibarengi dengan upaya menghapus stigma, diskriminasi, dan ketidaksetaraan sehingga menciptakan layanan dan penanganan kesehatan yang inklusif. Upaya tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak warganya sebagaimana janji konstitusi kita,” ujar Theresia.

Berdasarkan laporan temuan awal Implementasi 25 Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) Tahun 2024 yang disusun oleh Komnas Perempuan bersama Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), stigma terhadap HIV/AIDS masih kuat di masyarakat. Terdapat tiga catatan penting terkait stigma tersebut.

Pertama, masyarakat masih mengaitkan HIV/AIDS dengan perilaku “negatif” seperti berganti-ganti pasangan atau penggunaan narkoba suntik. Persepsi ini menyebabkan perlakuan diskriminatif, penghinaan, hingga kekerasan terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di lingkungan sosial, keluarga, dan fasilitas pelayanan kesehatan.

Kedua, diskriminasi tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari petugas medis yang seharusnya memberikan layanan kesehatan. Hal ini berdampak pada kualitas layanan kesehatan yang diterima perempuan dengan HIV/AIDS.

Ketiga, stigma tersebut memperburuk akses perempuan dengan HIV/AIDS terhadap layanan kesehatan reproduksi dan pengobatan adiksi narkoba.

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menyatakan bahwa perempuan dengan HIV menghadapi diskriminasi ganda, yaitu diskriminasi karena status HIV dan diskriminasi berbasis gender. “Perempuan mengalami stigmatisasi dari keluarga, teman, dan bahkan tenaga medis yang seharusnya memberikan perawatan dan dukungan. Pada akhirnya, hal ini dapat menghalangi akses mereka ke perawatan medis yang memadai, dukungan sosial, dan pekerjaan,” tegas Alimatul.

Komnas Perempuan juga menyoroti persinggungan antara isu kekerasan terhadap perempuan dan HIV/AIDS. Data United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) 2019 menunjukkan bahwa perempuan korban kekerasan 1,5 kali lebih rentan tertular HIV dari pasangannya. Sementara itu, laporan National Plan of Action (NACA) 2019 mencatat bahwa perempuan dengan HIV 4 kali lebih rentan mengalami kekerasan seksual dan 6 kali lebih rentan mengalami kekerasan fisik selama masa kehamilan.

Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023 juga mencatat bahwa perempuan menikah yang hidup dengan HIV lebih banyak mengalami kekerasan, dengan total 32 korban. Sedangkan perempuan belum menikah yang mengalami kekerasan berjumlah 22 orang, dan 8 orang korban kekerasan berasal dari kelompok perempuan bercerai. Sebagian besar pelaku kekerasan adalah suami mereka sendiri.

“Ini menunjukkan bahwa perempuan dengan HIV tidak hanya menghadapi stigma berbasis kesehatan, tetapi juga kekerasan berbasis gender. Hal ini memperkuat urgensi penanganan secara terintegrasi,” kata Alimatul Qibtiyah.

Komnas Perempuan menyerukan pentingnya pendekatan berbasis hak dalam memberikan layanan kepada perempuan dengan HIV/AIDS. Komisioner Satyawanti Mashudi mengingatkan bahwa perempuan dengan HIV memiliki kerentanan berlapis. Oleh karena itu, layanan kesehatan harus bersifat terintegrasi dan tersedia di semua wilayah.

“Pendekatan berbasis hak merupakan langkah mendesak yang harus segera ditempuh oleh para pemangku kebijakan melalui layanan terintegrasi di setiap layanan kesehatan. Saat ini, layanan tersebut belum tersedia di semua wilayah, padahal perempuan dengan HIV dan AIDS memiliki lapisan pemulihan yang lebih kompleks,” tegas Satyawanti.

Komnas Perempuan juga mendukung penguatan kebijakan nasional melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 167 UU ini mengamanatkan bahwa layanan HIV dan AIDS merupakan bagian dari layanan tingkat pertama atau layanan primer yang harus tersedia di puskesmas, klinik pratama, dan praktik mandiri tenaga medis.

Ketentuan ini juga selaras dengan Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 24, yang menyatakan bahwa negara pihak berkewajiban menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) melalui layanan kehamilan yang aman, termasuk bagi perempuan dengan HIV.

Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, menegaskan bahwa layanan kesehatan tidak cukup hanya sebatas pengobatan. “Selain layanan kesehatan berupa perawatan lanjutan, akses pada obat-obatan, edukasi kepada masyarakat juga harus intensif dilakukan di semua sektor. Masih terbatasnya pemahaman tentang HIV dan AIDS, terutama terkait alur penularan, harus dibenahi. Ini menjadi ruang pencegahan sekaligus tanggung jawab bersama dengan bingkai hak asasi manusia,” kata Retty.

Memperingati Hari AIDS Sedunia 2024, Komnas Perempuan mengajak semua pihak, baik pemerintah, lembaga kesehatan, maupun masyarakat, untuk berperan aktif dalam penghapusan stigma dan diskriminasi. Pendekatan berbasis hak, penguatan kebijakan, dan kampanye edukasi publik menjadi tiga pilar utama dalam melindungi perempuan dengan HIV/AIDS. “Tidak ada alasan bagi kita untuk mengabaikan hak-hak perempuan dengan HIV dan AIDS. Setiap perempuan, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu, akses ke obat-obatan, dan dukungan sosial tanpa diskriminasi,” tutup Retty Ratnawati.