Komnas Perempuan Serukan Penghapusan Kebijakan Diskriminatif Terkait Busana Identitas Agama
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut baik koreksi kebijakan busana bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang disampaikan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada Kamis, 15 Agustus 2024. Komnas Perempuan melihat momentum ini sebagai langkah penting dalam mempercepat penghapusan kebijakan diskriminatif terkait busana yang mengandung atribut identitas agama tertentu, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kebijakan diskriminatif, menurut Komnas Perempuan, mencerminkan kerangka pikir penyelenggara negara dan perumus kebijakan yang belum sepenuhnya memahami prinsip non-diskriminasi dalam pemenuhan hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi. Dalam konteks ini, hak kebebasan beragama dan kebebasan dari diskriminasi berbasis gender menjadi isu krusial yang harus diperhatikan. Seperti diuraikan dalam Siaran Pers Komnas Perempuan yang terbit pada Jum’at (16/8/2024).
“Pengenaan busana sesuai dengan keyakinannya adalah hak yang tidak bisa dipaksakan oleh negara baik dalam bentuk kewajiban maupun pelarangan,” tegas Imam Nahei, komisioner Komnas Perempuan. Ia menambahkan bahwa penggunaan busana berdasarkan identitas agama merupakan bagian dari hak asasi manusia atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Negara harus memberikan penghormatan pada keyakinan warga dalam mengamalkan ajaran atau keyakinannya, termasuk dalam hal berbusana sesuai ajaran agama, sepanjang tidak mengingkari penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain,” jelas Nahei.
Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti, menyoroti dampak diskriminatif dari pengaturan busana yang sering kali menargetkan perempuan sebagai pengusung simbol moralitas dalam masyarakat. “Komnas Perempuan terus mengingatkan para penyelenggara negara untuk tidak melakukan praktik diskriminasi berupa pembedaan, pembatasan, dan pengucilan terhadap warganya, terutama perempuan, dalam hal busana berdasarkan keyakinan agama,” ungkap Dewi Kanti.
Komnas Perempuan mencatat masih ada sekurangnya 73 kebijakan dan praktik diskriminasi terkait pengaturan busana atas nama agama, keyakinan, dan moralitas di sejumlah daerah. Dampak negatif dari kebijakan ini terhadap perempuan sangat nyata, mulai dari perundungan hingga gangguan psikologis serius yang dapat berujung pada depresi dan keinginan bunuh diri.
“Menyikapi kondisi para korban, kita perlu mengintensifkan langkah mengatasi persoalan ini agar tidak terus berulang dan semakin banyak,” tegas Dewi Kanti. Ia menegaskan bahwa hak untuk bebas dari diskriminasi dan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin adalah hak konstitusional yang harus dijamin oleh negara.
Komnas Perempuan juga menyerukan kepada Presiden untuk membatalkan kebijakan kepala daerah yang diskriminatif, serta menginstruksikan langkah pembinaan yang lebih sistematis untuk memastikan pemahaman tentang prinsip non-diskriminasi dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, mereka mendorong Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mengembangkan mekanisme monitoring guna memastikan pemulihan dari dampak polemik kebijakan Paskibraka dan potensi diskriminasi lainnya.
Komisioner Veryanto Sitohang menambahkan, “Karena yang akan menghadapi dilema dan dampak tersebut adalah anak perempuan, maka aturan serupa ini dapat dinilai pula diskriminatif berbasis gender.” Ia juga menyoroti bahwa sejumlah persyaratan Paskibraka dapat membatasi kelompok anak berdasarkan kemampuan dan preferensi agama tertentu.
“Paskibraka adalah salah satu ajang prestasi bergengsi, dan perlu dapat diakses oleh semua kelompok,” pungkas Veryanto Sitohang, menekankan pentingnya inklusivitas dalam ajang kebangsaan ini.