Komnas Perempuan: Perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM Sangat Mendesak
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti pentingnya perlindungan bagi Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Indonesia dan kawasan ASEAN dalam lima tahun mendatang.
Menurut Komnas Perempuan, kepemimpinan baru di Indonesia akan berdampak signifikan terhadap keberlanjutan kerja-kerja PPHAM. Selain itu, solidaritas lintas negara dianggap esensial untuk memperkuat perjuangan HAM di tengah meningkatnya ancaman kekerasan terhadap PPHAM.
“Berbagai tantangan masih akan terus membayangi PPHAM di Indonesia, mulai dari isu kekerasan terhadap perempuan, sumber daya alam dan lingkungan, kebebasan berekspresi, perempuan jurnalis, perempuan dengan disabilitas, hingga isu minoritas gender dan seksual, termasuk di Papua,” ujar Theresia Iswarini, Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, dalam diskusi publik bertajuk “Perempuan Pembela HAM: Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN” yang diadakan pada Kamis (28/11/2024).
Theresia juga menyoroti minimnya kebijakan perlindungan terhadap kerja-kerja PPHAM sebagai salah satu penyebab kerentanan mereka. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, terdapat 89 kasus kekerasan terhadap PPHAM yang dilaporkan pada periode 2019–2023. Kasus terbanyak terkait isu kekerasan terhadap perempuan sebanyak 71 kasus, diikuti isu lingkungan dan sumber daya alam sebanyak 8 kasus.
“Kekerasan yang dialami PPHAM sering kali bersifat sistematis dengan tujuan membungkam suara perempuan yang memperjuangkan kebenaran. Delegitimasi melalui ancaman berbasis gender dan kriminalisasi juga menjadi pola umum,” kata Veryanto Sitohang, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan. Ia menambahkan bahwa kekerasan ini tidak hanya menyasar PPHAM tetapi juga anggota keluarganya.
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa situasi serupa dialami oleh PPHAM di negara-negara ASEAN lainnya. Meski Deklarasi HAM ASEAN 2012 menegaskan perlindungan terhadap hak-hak dasar seperti kebebasan berekspresi dan keamanan pribadi, implementasi komitmen tersebut masih jauh dari harapan. Contohnya, di Filipina, pembela HAM lingkungan menghadapi ancaman serius, bahkan hingga pembunuhan, sementara di Myanmar, aktivis perempuan kerap menjadi korban penyiksaan sejak kudeta militer pada 2021.
“Pembangunan tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggar HAM. Sebaliknya, pembangunan berkelanjutan harus didasarkan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia,” tegas Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan.
Diskusi publik ini juga menjadi bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang bertujuan memastikan keberlanjutan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menekankan bahwa forum ini penting untuk mengenali ancaman baru dan membangun solidaritas bagi PPHAM.
“Ruang diskusi ini menjadi momen strategis untuk menyuarakan pentingnya pelindungan dan solidaritas bagi PPHAM di Indonesia dan Asia Tenggara, termasuk di wilayah konflik,” ujar Andy.
Komnas Perempuan berharap, Pemerintah Indonesia dapat memberikan perlindungan nyata bagi PPHAM. Solidaritas lintas negara di ASEAN diharapkan menjadi benteng kolektif melawan ancaman dari berbagai aktor, baik negara maupun non-negara. Upaya ini juga membuka peluang visibilitas internasional terhadap pelanggaran yang dialami PPHAM di kawasan ASEAN.