Komnas Perempuan Desak Proses Hukum Kasus Kekerasan Seksual oleh Anggota DPRD Singkawang
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan pentingnya memastikan proses hukum berjalan pada semua kasus kekerasan seksual, termasuk yang melibatkan pejabat publik. Pernyataan ini disampaikan seiring dengan dugaan kasus kekerasan seksual yang melibatkan AH, anggota DPRD Kota Singkawang, hasil Pemilu 2024, yang diduga melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Sejak kasus ini diketahui publik, Komnas Perempuan telah melakukan komunikasi dan koordinasi dengan berbagai pihak. Kami mengapresiasi dan mendukung upaya pihak korban dan keluarga untuk mencari keadilan dan memperoleh bantuan pemulihan,” ujar Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, dalam siaran persnya yang terbit pada Kamis (3/10/2024).
Komnas Perempuan juga mendukung langkah Kepolisian Provinsi Kalimantan Barat dan Resort Singkawang untuk mempercepat penyidikan, terutama setelah penetapan status tersangka. Selain itu, mereka mengapresiasi langkah proaktif Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), serta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang terus berkoordinasi untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban.
“Kami juga memantau perkembangan laporan ke Propam, yang kami harapkan prosesnya memantapkan akses hak korban kekerasan seksual,” ungkap Andy.
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2023, kekerasan seksual mendominasi laporan ke lembaga layanan, dengan total 2.363 kasus. Dari jumlah tersebut, terdapat 2.078 kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Sementara itu, pelaku sering kali berasal dari kalangan yang seharusnya melindungi masyarakat, dan korban terbanyak adalah pelajar atau mahasiswa, yang rentan karena berbagai faktor.
Dalam kasus AH, korban berusia 13 tahun dan berasal dari keluarga miskin, dengan ibu sebagai orang tua tunggal. “Tersangka TPKS yang dilantik sebagai Anggota DPRD tentu akan dirasakan sebagai mencederai keadilan publik, di saat negara sedang mengoptimalkan upaya menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tegas Maria Ulfah Anshar, Komisioner Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk menunda penyidikan kasus ini, mengingat korban merupakan kelompok paling rentan yang harus dilindungi. Tersangka telah diberhentikan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), namun statusnya di DPRD Kota Singkawang masih menunggu tindak lanjut.
Dalam kesempatan ini, Komnas Perempuan juga menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah untuk memastikan UU TPKS dijalankan dengan baik, termasuk pencegahan kekerasan seksual dalam bidang pemerintahan. Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, menekankan bahwa syarat pencalonan anggota legislatif yang ada saat ini belum mencakup calon dengan dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang masih dalam tahap penyelidikan.
“Perbaikan persyaratan dalam sistem rekrutmen sangat penting, mengingat jabatan anggota legislatif tidak sekadar sebagai pejabat publik, tetapi sebagai negarawan yang seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi rasa keadilan publik,” tambahnya.
Sambil menunggu proses hukum berjalan, pendampingan untuk korban dilakukan oleh kuasa hukum yang berkoordinasi dengan lembaga terkait. Komnas Perempuan juga berharap masyarakat sipil dan media massa akan terus mengawal penanganan kasus ini, sambil tetap memenuhi hak-hak korban dan keluarganya atas identitas dan privasinya.