Komitmen Jaga Kualitas Udara, KEH DPR RI Gelar Seminar Internasional
Berita Baru, Jakarta – Kaukus Ekonomi Hijau yang dibentuk oleh DPR RI terus berkomitmen untuk menjaga kualitas udara di Indonesia agar tidak tercemar polusi.
Dalam upaya mewujudkan hal itu, KEH bersama Air Quality Asia (AQA) menggelar sebuah webinar internasional yang bertajuk “Raising Awareness Towards Pollution and its Impact to Human Health”, Minggu (27/9).
KEH atau juga dikenal Green Economy Caucus (GEC) telah berdiri sejak tahun 2009, adalah sebuah Kaukus yang dibentuk oleh Anggota DPR RI lintas komisi dan fraksi dengan tujuan untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan melalui regulasi yang berwawasan lingkungan, dan mengedepankan sustainability dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara holistik.
Dalam acara yang dilaksanakan secara daring tersebut menghadirkan Mercy Chriesty Barends, Ketua KEH, Harry Duynhoven, mantan Menteri Transportasi dan Energi New Zealand, Mr. Kurtz Kunz, Dubes Swiss untuk Indonesia, dan Barlev Nico Marhehe, Chief of Mission, UNEP Indonesia sebagai pembuka acara diskusi daring ini.
Mercy Barends menyampaikan ucapan terima kasihnya atas partisipasi seluruh pihak yang telah berkontribusi demi terwujudnya forum diskusi virtual ini, sebagai wadah bertukar informasi dan gagasan serta perspektif dari berbagai tokoh yang hadir.
‘Catatan-catatan penting dari acara ini nantinya juga akan jadi perhatian Kaukus Ekonomi Hijau untuk memperjuangkan sebuah regulasi yang mendukung terciptanya sustainability di Indonesia,” ujarnya.
Ketua Kaukus Ekonomi Hijau ini juga memperkenalkan Kaukus Ekonomi Hijau ini sebagai salah satu instrument yang mengawal implementasi Paris Agreement di Indonesia, mengingat Indonesia menjadi salah satu negara yang meratifikasi kesepakatan Internasional tersebut.
Adapun pada sesi presentasi ahli Global Alliance on Health and Pollution, Budi Susilironi, Direktur PureEarth; mempresentasikan Pollution-Health & Economic Impacts, dan Vovia Witni, Program Officer dari Kalimantan Health & Pollution Action Plan.
Dalam diskusi ini diadakan sebuah sesi tanya jawab dengan responden sejumlah anggota parlemen Indonesia, yakni Budisatrio Djiwandono, Wakil Ketua Komisi IV; Sartono Hutomo, Anggota Komisi VII; Dave Akbarshah Fikarno, Anggota Komisi I dan Ratna Juwita, Anggota Komisi VII.
Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti yang juga menjabat sebagai Sekretaris Green Economy Caucus, turut menyampaikan pandangan dan gagasannya dalam forum daring internasional tersebut.
Menurutnya, dengan adanya pandemi, manusia diingatkan oleh beberapa krisis yang saat ini terjadi, mulai dari krisis di sektor kesehatan, ekonomi, dan sosial.
Roro Esti juga menyatakan bahwa krisis ini juga mungkin dapat menjadi proyeksi kemungkinan krisis akibat perubahan iklim kedepannya.
“Krisis yang diakibatkan oleh polusi udara mirip halnya dengan krisis yang diakibatkan oleh pandemi covid-19, dimana keduanya merupakan sesuatu yang tidak terlihat namun terkategori sebagai silent killer,” tegas Dyah Roro.
“Banyak yang harus dilakukan bersama untuk mengatasi krisis ini dan kolaborasi adalah kunci. Semua orang memiliki peran masing-masing, mulai dari parlemen sebagai pembuat kebijakan, pemerintah sebagai badan eksekutif, CSO, akademisi, dan lain-lain. Di Indonesia, kita mengenal istilah Gotong Royong yang berarti bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan” pungkasnya.
Politisi muda Golkar ini memaparkan bahwa kualitas udara ini sangat erat hubungannya dengan sektor energi. Mengingat bahwa sektor tersebut merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap peningkatan gas rumah kaca di Indonesia.
Dirinya bersama Anggota Komisi VII lainnya berupaya dalam memperjuangkan RUU EBT. Diantara sekian banyak masalah dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah terkait skema pendanaan, dimana EBT kalah bersaing dari bahan baku fosil.
Menurut Dyah Roro, perlu dilakukan upaya-upaya lain untuk mengatasi ini, dimana salah satu solusi yang mungkin adalah dengan menerapkan sistem pajak karbon (carbon tax).
“Gagasan ini ada dengan asumsi jika kita mempertimbangkan juga biaya eksternalitas lain dari bahan bakar fosil, seperti biaya kerusakan alam, biaya kesehatan, dan lain-lain, dimana biaya kumulatif ini akan membuat bahan bakar fosil menjadi lebih mahal ketimbang EBT,” tambahnya.
Sehubungan dengan itu, alumni Imperial College London ini juga berpendapat bahwa Indonesia memiliki banyak potensi EBT, mulai dari energi angin, solar, bioenergy, dan lain lain.
“Dengan adanya potensi yang besar ini, sangat mungkin Indonesia melakukan transisi energi dan beralih kepada energi bersih dan terbarukan. Harapan besarnya, ini dapat secara keseluruhan memperbaiki kualitas udara di Indonesia,” pungkas Dyah Roro.