Koalisi Save Sangihe Island (SSI) Melaporkan Dugaan Penambangan Ilegal oleh Korporasi PT. TMS Ke Polda Sulawesi Utara, Mabes Polri hingga Presiden RI
Berita Baru, Jakarta – Upaya pencabutan 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nyatanya tidak memiliki manfaat secara besar kepada warga pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satunya adalah pulau kecil Sangihe yang setengah dari total luasannya dicaplok oleh PT TMS, setidaknya terdapat sekitar 80 Desa dan 7 Kecamatan, dengan luas lahan mencapai 42.00 hektar.
Berdasarkan penelusuran Modi ESDM PT TMS dimiliki 70% oleh Sangihe Gold Corporation, korporasi tambang asal Kanada dengan komposisi 30% kepemilikan sisanya diambil oleh perusahaan lokal. PT TMS melaksanakan kegiatan dengan dasar Kontrak Karya (KK) status operasi produksi dengan bentuk kegiatan praktik di lapangan memasukkan alat berat dan memulai kegiatan konstruksi.
Selain itu, PT TMS telah menimbulkan akibat yakni rusaknya sarana instalasi air masyarakat sejak tanggal 21 Oktober 2021, walaupun kemudian PT TMS segera memperbaikinya, akan tetapi masyarakat Desa Bowone Kec. Tabukan Selatan Tengah Kab. Kepulaun Sangihe telah terganggu pasokan air bersih selama sekitar 4 hari.
Menurut Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM dan juga selaku Advokat yang membela Warga Pulau Sangihe menyatakan bahwa “Kontrak Karya PT TMS Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT TMS dengan masa berlaku sejak sejak 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054, secara hukum tidak punya legitimasi dan itu bukanlah izin. Perlu dipahami juga bahwa nomenklatur Kontrak Karya (KK) untuk pertambangan mineral sudah tidak dikenal lagi sejak 2009 berdasarkan UU Minerba 4/2009 begitu juga dengan perubahan UU Minerba 3/2020 bahkan juga dengan putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 Pasal 169A mengenai proses perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)”.
Lanjut Jamil, jika suatu Kontrak Karya (KK) pertambangan berakhir dan ingin diperpanjang maka wajib melalui proses evaluasi dan memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Jika lulus evaluasi dan memenuhi syarat maka dapat diperpanjang dengan masa waktu 10 (sepuluh) tahun dan tidak boleh lagi Kontrak Karya (KK) harus berubah jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), serta dapat diperpanjang sekali lagi untuk jangka waktu 10 (tahun) berikutnya.
Sementara yang terjadi pada PT TMS pada tahun 2021 diperpanjang oleh Dirjen ESDM RI atas nama Ridwan Jamaluddin dengan masa 33 tahun hingga 2054 dan statusnya masih tetap Kontrak Karya (KK) TIDAK menjadi IUPK. Jelas ini tindakan yang melampaui hukum a-legal. Oleh karena itu segala tindakan yang dilakukan PT TMS sudah sepatutnya dinyatakan illegal karena Kontrak Karya (KK) tersebut tanpa legitimasi hukum. Hal ini tentu merupakan pelanggaran Pasal 158 UU Minerba 3/2020 yang menyatakan:
Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Lebih lanjut lagi, menurut Helmy Hidayat Mahendra anggota Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa “Upaya untuk tetap melakukan penambangan di pulau Sangihe jelas-jelas mencederai UU Nomor 1 Tahun 2014 perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa poin pemanfaatan pulau-pulau kecil yang didalamnya tidak ada penambangan sebagai poin pemanfaatan pulau-pulau kecil. Selain itu, upaya PT TMS untuk terus melanjutkan proses penambangannya di Pulau Sangihe akan dapat berpotensi untuk terjadinya upaya pelanggaran HAM terkait hilangnya hak atas tempat tinggal, terancamnya hak atas lingkungan hidup, terancamnya hak atas pekerjaan yang layak, dan semakin buruknya akses terhadap informasi. Lebih lanjut lagi, dari pola-pola bisnis keamanan yang terjadi di seluruh Indonesia tidak hanya di Pulau Sangihe, upaya untuk terus mendorong adanya pertambangan di suatu wilayah juga memunculkan potensi keamanan yang ada di wilayah tersebut. Kekhawatiran kami dalam membiarkan pertambangan juga memunculkan konflik bisnis keamanan yang berbahaya bagi masyarakat untuk beraktivitas.”
Pada 12 Januari 2022 dugaan tindakan-tindakan illegal oleh PT TMS di atas telah dilaporkan Koalisi Save Sangihe Island (SSI) melaporkan Korporasi (PT. TMS) Ke Polda Sulawesi Utara, Mabes Polri hingga Presiden RI.
Adapun alasan pelaporan PT TMS adalah sebagai berikut:
- PT TMS tidak memiliki Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan RI sebagaimana ketentuan Pasal 26A ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara eksplisit melarang PT TMS melakukan aktivitas pertambangan emas di Pulau Sangihe karena tidak memiliki izin pemanfaatan pulau :
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapatkan izin Menteri;
- Penambangan mineral di pulau-pulau kecil di larang sebagaimana ketentuan Pasal 35 huruf k UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, berbunyi:
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
Melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;
- Pasal 134 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2021 Perubahan Atas UU 4/2009 tentang Minerba, berbunyi : Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kegiatan PT TMS operasi produksi pertambangan emas di Pulau Sangihe sedang berlangsung tanpa izin-izin yang sah menurut hukum, yang perbuatan yang melawan hukum yang diancam dengan pidana penjara Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Saat ini Kamis, 13 Januari 2022 kembali digelar sidang gugatan Warga Pulau Sangihe di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta melawan Menteri ESDM dan PT TMS, dengan agenda sidang acara pembuktian dengan mendatangkan 3 (tiga) orang saksi fakta dari pihak penggugat dan penggugat intervensi.
Terakhir kami kembali memperingatkan bahwa kami sangat menyayangkan jika kegiatan PT TMS yang notabene tidak didukung dengan Izin-Izin yang absah, ternyata mendapat pengawalan dari oknum-oknum aparat Kepolisian setempat, yang nyata-nyata mencederai rasa keadilan masyarakat (sense of justice), serta tidak berlangsungnya asas hukum equality before the law serta merupakan peristiwa pergelaran di hadapan publik luas dan rakyat Sangihe tentang perbuatan melawan hukum yang dikawal oknum-oknum aparat Kepolisian Negara. (Mz/Al)