Koalisi Masyarakat Sipil Ungkap Pemberian Pangkat Jenderal Kehormatan Abaikan Pertimbangan HAM
Berita Baru, Jakarta – Dalam persidangan yang berlangsung pada 19 September 2024 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas kembali menghadiri sidang terkait gugatan terhadap pemberian pangkat Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto. Sidang ini mengungkap bahwa proses pemberian pangkat tersebut tidak mempertimbangkan aspek hak asasi manusia (HAM) dan partisipasi publik.
Saksi dari pihak Presiden Joko Widodo, Heru Wisnu Ariyanto, yang merupakan Sekretaris Militer Presiden, memberikan keterangan mengenai latar belakang penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) No. 13/TNI/2024 tentang penganugerahan pangkat Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto. Ia menjelaskan bahwa Keppres tersebut dikeluarkan berdasarkan surat rekomendasi dari Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dua pertimbangan utama, yaitu Pasal 33 Undang-undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan serta penghargaan Bintang Yudha Dharma Utama yang sebelumnya telah dianugerahkan kepada Prabowo.
Namun, dalam pemeriksaan lebih lanjut, saksi mengakui bahwa pemberian pangkat istimewa tersebut tidak mempertimbangkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, termasuk rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira dan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat. “Keputusan tersebut tidak merujuk pada laporan HAM atau peraturan administrasi TNI lainnya,” ungkap Heru saat ditanyai oleh pihak Penggugat, dikutip dari siaran pers KontraS pada Sabtu (21/9/2024).
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, sebagai penggugat, menyatakan bahwa absennya pertimbangan terhadap pelanggaran HAM dalam proses ini merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip-prinsip keadilan. Mereka juga menyoroti bahwa proses pemberian pangkat tersebut dilakukan tanpa transparansi dan partisipasi publik. “Pemberian pangkat ini menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo mengabaikan komitmennya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia,” ujar KontraS.
Sementara itu, saksi dari pihak Prabowo Subianto, Ali Akmal dari Markas Besar TNI, dihadirkan untuk memberikan keterangan mengenai rekomendasi Panglima TNI terkait pemberian pangkat tersebut. Namun, hakim menilai bahwa saksi tidak relevan karena ia baru menjabat setelah Keppres diterbitkan, sehingga keterangannya tidak bisa dijadikan rujukan yang kuat.
Sidang ini mengungkap semakin jelas adanya praktik impunitas dalam kasus Prabowo Subianto. Pengabaian terhadap rekam jejak dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu dalam pemberian penghargaan ini dianggap melanggengkan budaya impunitas di Indonesia. Koalisi mendesak agar ada upaya yang lebih tegas dan transparan dari pemerintah dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM.