Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Koalisi Masyarakat Sipil Sebut UU Cipta Kerja Sebagai 'UU Predator'
(Foto: Istimewa)

Koalisi Masyarakat Sipil Sebut UU Cipta Kerja Sebagai ‘UU Predator’



Berita Baru, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil Bersihkan Indonesia bersama Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) meluncurkan sebuah laporan yang mengungkap bagaimana substansi dan proses Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law dikuasai oleh konflik kepentingan. 

“Analisis terhadap pasal-pasal pada “UU Predator” ini menyingkap benang merah yang jelas, bagaimana aturan ini memberikan rente ekonomi bagi kepentingan perusahaan tambang dan energi kotor dan setidaknya 18 aktor diduga terhubung dengan aktivitas bisnis ekstraktif tersebut,” kata Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam siaran pers, Minggu (18/10).

Jatam menilai pemerintahan Jokowi dan DPR melakukan sejumlah manuver kebijakan, seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba, revisi UU MK yang dilakukan terburu-buru, tidak partisipatif dan transparan meski di tengah krisis kemanusiaan covid-19 yang merenggut belasan ribu jiwa rakyatnya.

Laporan berjudul “Omnibus Law, Kitab Hukum Oligarki. Para Pebisnis Tambang dan Energi Kotor di Balik Omnibus Law: Peran, Konflik Kepentingan, dan Rekam Jejaknya” ini menganalisis data-data resmi pemerintah seperti profil perusahaan dari Ditjen AHU Kemenkumham, catatan rekam jejak daya rusak perusahaan tambang dan batubara dari kliping dan kajian lembaga resmi.

Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Bersihkan Indonesia, Merah Johansyah menilai bahwa tanggapan Presiden Jokowi, para menteri, serta DPR terhadap protes publik yang dinilai termakan hoaks merupakan tindakan merendahkan rakyat.

“Laporan ini justru mengungkapkan fakta sebaliknya. Pasal-pasal di UU Cipta Kerja ini benar-benar disusupi oleh kepentingan pebisnis tambang dan energi kotor. Kepentingan bisnis disusupi melalui aktor-aktornya di semua alur proses pembahasan dan pengesahan Omnibus Law baik secara langsung maupun tidak,” kata Merah Johansyah.

Panja, Pimpinan DPR RI, hingga beberapa kementerian terkait memiliki relasi dengan bisnis tambang dan energi kotor di Indonesia. Tidak hanya itu, menurut Jatam, para calon penerima manfaat potensial dari disahkannya UU tersebut baik yang terhubung secara langsung maupun tidak langsung dengan anggota Satgas ataupun Panja melalui korporasi tambang juga terpetakan.

Sebelumnya, sesaat setelah UU Cipta Kerja ini disahkan, koalisi merilis laporan Cilaka 12 yang mengungkap 12 aktor penting di balik Omnibus Law. Sementara dalam laporan ini muncul nama-nama baru dengan konflik kepentingan yang juga terlihat dari sejumlah profil dalam alur proses pembahasan UU Cipta Kerja. 

Mereka adalah Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Kemaritiman dan Investasi dengan hubungan bisnisnya bersama PT Toba Bara Sejahtera, Erick Thohir sebagai Menteri BUMN dengan PT Adaro, sedangkan Aburizal Bakrie yang terhubung dengan raksasa tambang PT Arutmin dan PT KPC yang akan habis masa berlaku izinnya dalam dua tahun ini. Sementara itu muncul nama baru lainnya yakni Prabowo Subianto dengan PT Nusantara Energindo Coal.

Juru Bicara Fraksi Rakyat Indonesia Arip Yogiawan mengatakan temuan ini menggambarkan bahwa rezim sangat berfokus pada infrastruktur ekonomi, namun di saat yang sama merobohkan infrastruktur demokrasi. Tidak hanya sektor tambang dan energi kotor yang akan berdampak buruk secara sosial-lingkungan, menurut Arip, konflik kepentingan juga ada di sektor lain seperti manufaktur yang juga akan merugikan buruh.

“Tidak ada jalan lain selain menyatakan #MosiTidakPercaya dan menuntut Presiden Jokowi untuk segera mencabut dan membatalkan UU Cipta Kerja. Pemerintah juga harus segera membebaskan para pemrotes yang masih ditahan, dan memberikan ruang yang aman bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi penolakannya,” kata Arip Yogiawan.

Koalisi Masyarakat Sipil Bersihkan Indonesia dan Fraksi Rakyat Indonesia menyerukan kepada Presiden Jokowi, dan segenap pemerintahannya serta DPR RI untuk segera:

1. Mencabut dan membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan UU Pertambangan Mineral dan Batubara karena ditengarai produk yang cacat dan lahir dari legislasi yang dipenuhi oleh konflik kepentingan.

2. Memperkuat penegakan hukum dalam operasi pertambangan. Mencegah kehadiran Politically Exposed Person (PEP) dalam kepemilikan dan kepemimpinan perusahaan batubara, atau sebaliknya mencegah pemilik dan pimpinan perusahaan batubara, tambang dan energi kotor dalam pemerintahan dan sistem politik Indonesia..

3. Memperkuat langkah-langkah hukum untuk mencegah konflik kepentingan di antara PEP, menciptakan perlindungan yang lebih kuat dari risiko kolusi dan campur tangan Mengatur konflik kepentingan antara politikus atau pejabat pemerintah dan pengusaha tambang dan energi kotor.

4. Menyoroti pemilik manfaat dalam usaha pertambangan batubara, tambang dan energi kotor.

5. Menjamin penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan dalam sektor pertambangan dan memastikan pemulihan dampak sosial-ekologi akibat pertambangan.

6. Mendorong moratorium izin pertambangan dan PLTU batubara diikuti dengan menyusun peta jalan untuk meninggalkan batubara dan energi kotor sebagai kutukan sumber daya alam, bertransisi menuju energi terbarukan yang adil.