Kim Jong-un Tampil Lebih Kurus, Korut Dinilai Krisis Pangan
Berita Baru, Internasional – Kemunculan Presiden Korea Utara (Korut) Kim Jong-un pada 17 Juni 2021 lalu memicu lahirnya analisis dari agen, mata-mata dan media asing. Pembatasan media asing untuk mengakses informasi di negara tersebut menjadi alasan spekulasi tersebut.
Analis di NK News, sebuah situs web berbasis di Seoul – Korea Selatan yang memantau Korea Utara, mencatat bahwa pergelangan tangan Kim dinilai lebih ramping, sehingga arlojinya tampaknya diikat lebih erat.
Mengutip laporan South China Morning Post (SCMP), terdapat agen asing yang mengatakan bahwa Presiden Kim telah kehilangan banyak berat badan.
Spekulasi awal tahun lalu tentang kesehatan Kim meledak setelah ia melewatkan perayaan ulang tahun kelahiran pendiri negara Kim Il-sung pada 15 April, hanya untuk muncul kembali di depan umum pada awal Mei.
Di luar berbagai spekulasi terkait kesehatan dan berat badan Kim, Presiden 37 tahun tersebut juga sempat mengumumkan terjadinya krisis pangan akibat hantaman bencana banjir dan topan tahun lalu. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Pleno Partai Buruh Korea atau Worker’s Party of Korea (WPK).
Pengakuan langka itu datang ketika pengamat Pyongyang juga menyebut bahwa negara itu memang sedang menghadapi kekurangan pangan yang cukup serius, dan mereka melihat kebijakan utama Kim yang gagal sebagai penyebab krisis yang sedang berlangsung, bersama dengan tiga pukulan topan musim gugur yang lalu, Covid-19 dan sanksi internasional.
“Dengan sebagian besar indikasi, tampaknya ada kekurangan pangan dalam kisaran 1,35 juta hingga 1,5 juta ton – krisis pangan terburuk sejak Kelaparan Hebat tahun 1990-an,” kata Robert Manning, Senior Fellow di Dewan Atlantik.
Lebih lanjut Robert Manning mengatakan bahwa penyebab krisis pangan di Korut juga ditimbulkan oleh kegagalan kebijakan dan korupsi.
“Tapi itu akan menjadi kesalahan untuk hanya melihatnya sebagai kekurangan makanan. Ini bukan hanya akibat topan dan banjir, tetapi juga karena kegagalan kebijakan besar dan korupsi,” imbuh Manning.
Beberapa analis bahkan menilai pengakuan Kim Jong-un itu sebagai pertanda Pyongyang sedang membutuhkan bantuan dari luar sebelum kekurangan pangan berubah menjadi kelaparan massal.
Hal itu meningkatkan spekulasi bahwa pemerintah Korea Selatan dan AS mungkin akan membuka peluang untuk memberikan bantuan kemanusiaan.
Meskipun, isu transparansi seputar distribusi bantuan semacam itu mungkin akan menjadi kendala yang cukup serius.
“Kim hanya menginginkan bantuan makanan yang kemungkinan datang tanpa agen pemantau atau perwakilan luar yang ingin datang ke negara itu dan memeriksa siapa yang menerima bantuan itu,” kata Harry Kazianis, Direktur Senior pada Korean Studies at the Center for the National Interest.