Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kafir

Ketum PBNU: Kategori Kafir dan Nonmuslim tidak Relevan untuk Indonesia



Berita Baru, Jakarta – Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menengarai bahwa sebagai kategori, istilah kafir dan nonmuslim tidak relevan untuk konteks Negara-Bangsa seperti Indonesia.

Hal ini ia sampaikan dalam acara Beranda Nusantara RRI dengan tema “Moderasi Agama Dalam Harmoni Nusantara” di Auditorium Yusuf Ronodipuro RRI Jakarta pada Kamis (31/3).

Menurut Yahya siapa pun penting untuk membedakan antara kafir sebagai kategori dan sebutan. Sebagai kategori, hal tersebut tidak relevan digunakan di Indonesia yang notabene sebagai Negara-Bangsa.

Pasalnya, dalam Negara-Bangsa semua warga sama di depan hukum. Mereka sama-sama warga negara, sehingga tidak bisa dikotakkan menjadi kafir atau mu’min.

“Untuk konteks harmoni dan konstruksi peradaban Nusantara, NU melakukan rekontekstualisasi, meninjau ulang wawasan keagaman, supaya bisa mendorong toleransi dan harmoni,” ungkapnya.

“Salah satunya, sebagai kategori istilah kafir atau nonmuslim tidak relevan dalam konteks negara-bangsa modern karena semua warga negara setara di depan hukum,” imbuhnya.

Yahya menyinggung hal ini dalam kaitannya dengan dua (2) ciri utama konstruksi peradaban Nusantara yang sekarang dunia sedang membutuhkannya.

Bagi Yahya, dari segi sejarah Indonesia memiliki dua (2) hal yang penting untuk dibangun kembali dan dilestarikan, yakni semangat harmoni dan kesetaraan.

Maksud harmoni di sini adalah bagaimana sejak masa Sriwijaya dulu di abad ke-7 M, instrumen yang digunakan pemegang kebijakan untuk menjaga tatanan sosial adalah harmoni.

Ini berbeda, lanjutnya, dari yang terjadi dalam konstruksi peradaban di belahan dunia lain yang lebih pada instrumen paksaan fisik, seperti Romawi dan Persia.

“Penguasa politik di Nusantara tidak pernah secara ekstensif mengembangkan jaringan kontrol militer terhadap wilayah pengaruhnya, ini sejak masa Sriwijaya, Majapahit, hingga NKRI sekarang. Jadi pendekatan yang dipakai ya harmoni itu,” paparnya.

Adapun yang kedua, kesetaraan, untuk menciptakan suasana dunia yang lebih stabil dan damai, maka dibutuhkan kesetaraan di dalamnya. Kesetaraan hak dan martabat, yang persis di sini, Yahya menyitir soal relevansi kategori kafir.

Perlu diketahui, diskusi yang juga ditayangkan melalui kanal Youtube RRI Denpasar ini dihadiri oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir’ Uskup Agung Mgr. Prof. Ign Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo; Ketua PGI Pdt. Gomar Gultom; Ketua Umum PHDI Pusat Wisnu Bawa Tenaya; Ketua WALUBI Dra. S. Hartati Murdaya; dan Ketua Matakin Xueshi Budi Santoso Tanuwibowo.