Ketegangan Bilateral Turki dan Prancis Meningkat, Macron: Hubungan akan Mereda Jika Turki Menunjukkan Rasa Hormat Kepada Prancis
Berita Baru, Internasional – Akhir pekan lalu, Paris menarik duta besarnya untuk Turki setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa Presiden Emmanuel Macron harus menjalani pemeriksaan mental. Pernyataan Erdogan tersebut berkaitan perlakuan Macron terkait karikatur nabi yang dinilai menyinggung jutaan Muslim di dunia.
Dalam wawancara eksklusif dengan al-Jazeera pada Sabtu (31/10), Presiden Prancis Emmanuel Macron fokus pada peningkatan ketegangan antara Ankara dan Paris, yang menurutnya dapat mereda jika Turki menunjukkan rasa hormat kepada Prancis dan negara-negara anggota NATO.
Seperti dilansir dari Sputnik News, Minggu (1/11), Macron menuding Turki menunjukkan sikap permusuhan dengan sekutu NATO-nya, dan mengecam kebijakan Ankara yang menurutnya sangat agresif di Mediterania timur.
“Saya perhatikan bahwa Turki memiliki kecenderungan imperial di kawasan dan saya pikir kecenderungan imperial ini bukan hal yang baik untuk stabilitas kawasan, itu saja,” kata presiden Prancis, yang juga mengutuk operasi militer Ankara di Suriah dan keengganannya untuk mematuhi embargo senjata terkait Libya.
Macron menjelaskan bahwa ketegangan bilateral mereda, hal itu akan terjadi bila Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mau menghormati Prancis, menghormati Uni Eropa, menghormati nilai-nilainya dan tidak mengucapkan laimat penghinaan.
Ketegangan antara kedua negara meningkat akhir pekan lalu, ketika Paris menarik diri dari kedutaan di Turki setelah ejekan yang keluar dari Erdogan yang meminta Macron untuk menjalani pemeriksaan mental.
“Komentar Presiden Erdogan tidak dapat diterima. Kemarahan dan penghinaan bukanlah metode,” kata Macron dalam sebuah pernyataan.
Setelah insiden penikaman dan pemenggalan terhadap seorang guru Prancis, Samuel Paty, pada 16 Oktober oleh seorang remaja Muslim, Presiden Prancis berjanji bahwa Paris akan terus melindungi kebebasan berbicara, termasuk hak orang untuk menggambar kartun Nabi Muhammad, dan berjanji akan meningkatkan perlawanan terhadap ekstremisme dengan menciptakan “Islam yang Tercerahkan” di Prancis. Pernyataan tersebut menuai kritik keras dari organisasi Islam dan negara-negara Islam di dunia.
Selama wawancara dengan al-Jazeera, Macron menyampaikan bahwa dia memahami perasaan umat Muslim dan menambahkan bahwa “Islam radikal” tetap menjadi ancaman bagi semua orang, terutama Muslim sendiri.
“Saya dapat memahami bahwa orang dapat dikejutkan oleh karikatur, tetapi saya tidak akan pernah menerima bahwa kekerasan dapat dibenarkan. Saya memahami perasaan yang timbul dari hal ini, saya menghormati mereka. Tetapi saya ingin Anda memahami peran yang saya miliki. Peran saya adalah untuk menenangkan keadaan, seperti yang saya lakukan di sini, tetapi pada saat yang sama juga untuk melindungi hak-hak ini “, kata Macron, ia bersumpah bahwa dia akan senantiasa membela kebebasan berbicara, menulis dan berpikir di negaranya.
Preisdent Macron juga berpendapat bahwa reaksi negatif Muslim atas pernyataannya adalah hasil dari “kebohongan dan distorsi,” masyarakat secara keliru memahami bahwa dia mendukung pengkartunan Nabi Muhammad.
“Karikatur tersebut bukan proyek pemerintah, tetapi muncul dari surat kabar bebas dan independen yang tidak berafiliasi dengan pemerintah”, pungkasnya.