Kesunyian Para Raksasa | Cerpen : Mashdar Zainal
Mahisa, 7 tahun, berdiri di muka jendela yang menghadap ke hamparan kebun teh yang mulai diliputi kabut. Malam mulai beranjak. Dan gelap mulai merangkak. Mahisa menatap pohon-pohon pinus dan mahoni yang menjulang di antara hamparan pucuk-pucuk daun teh. Ia bergidik, seperti melihat para raksasa bangkit dari semak-semak. Ia segera menutup tirai jendela dan menghampiri kakeknya.
“Kek, apakah raksasa benar-benar ada?”
Kakek terdiam, ingatan itu bangkit. Ia punya kisah sendiri perihal raksasa. Kisah yang menghampirinya dalam mimpi. Berulang kali. Bagai sebuah tanda.
“Ya, mereka ada, benar-benar ada,” sahut kakek, setengah tercenung.
“Lalu ke mana perginya para raksasa? Mengapa mereka tak pernah muncul di hadapan manusia?”
***
Semenjak ia bisa bermimpi, ia telah memimpikan itu puluhan kali. Dalam berbagai versi. Terakhir kali mimpi itu datang sekitar setahun silam, pada malam setelah anak semata wayangnya—ayah Mahisa, dikuburkan. Bocah itu pergi karena sebuah kecelakaan kerja. Ia adalah seorang tim penyelemat yang seharusnya menyelamatkan para mahasiswa pecinta alam yang menghilang di hutan, tapi justru ia terperosok ke kedalaman jurang. Ketika tubuhnya ditemukan di dasar jurang, ia sudah tidak bernyawa. Kepalanya pecah. Sehari kemudian, setelah jasad anaknya dimakamkan, ia kembali memimpikan itu. Menjadi raksasa. Dan ketika terbangun dari tidur, ia mendapati dirinya telah menangis tersedu-sedu. Dalam umur setua itu.
Semua begitu nyata. Bergaung dalam kepala. Membuat dada tuanya terasa penuh. Ia tak akan sanggup menjalani kehidupan seperti itu. Menjadi raksasa. Sebab, menjadi raksasa membutuhkan banyak rasa sakit dan pengorbanan. Raksasa adalah makhluk minoritas. Dan menjadi makhluk minoritas tidaklah mudah. Sangat tidak mudah.
Maka, sudah sangat pasti, menjadi seorang raksasa bukanlah sebuah pilihan. Seorang raksasa? Ya, seorang. Karena sebagaimana dalam mimpinya, raksasa juga punya perasaan. Mirip manusia. Bahkan bentuk tubuhnya juga mirip manusia, hanya di beberapa bagian tampak seperti binatang atau kadang pepohonan. Dan raksasa selalu beraroma tanah basah. Sebab itu, sebutan ‘seorang’ raksasa adalah yang paling tepat. Sebab raksasa lebih seperti orang. Bukan seonggok raksasa. Sebab kata ‘seonggok’ lebih pantas disematkan pada benda mati, semacam tahi, batu, atau gelondong kayu. Bagaimanapun, raksasa juga makhluk Tuhan, pun seandaianya ia ciptaan manusia, manusia juga ciptaan Tuhan.
Ia ingin mengatakannya berkali-kali. Bahwa menjadi raksasa tak pernah mudah. Tak pernah mudah. Kau akan dibenci banyak orang, dijadikan bulan-bulanan doa buruk, tidak diterima di manapun, anak-anak kecil menganggap dirimu jahat dan akan memakan mereka hidup-hidup, dan yang jelas orang-orang berpikir bahwa kau harus dimusnahkan dari muka bumi. Dimusnahkan. Dari muka bumi. Siapa yang mau dimusnahkan dari muka bumi?
Tak seorangpun mencoba untuk berpikir atau sekadar membayangkan, bahwa seorang raksasa juga ingin hidup layak, hidup tenang tanpa huru-hara, menikah dan punya bayi. Juga beberapa hal remeh-temeh lain yang tak pernah dibayangkan oleh selain raksasa. Seorang raksasa juga butuh hidup bersih, tampil wangi dan sedap dipandang mata. Seorang raksasa butuh dihargai, dicintai, dan dimengerti. Dan tentu saja, seorang raksasa bisa jatuh hati dan sakit hati sebagaimana manusia.
Malangnya oh malangnya, seorang raksasa selalu punya rupa yang buruk, sehingga seseorang bisa saja langsung mati hanya karena memandang wajahnya. Dan tentu saja, ukuran tubuh seorang raksasa berlebih-lebih. Berat badan meluber kesana-kemari, sehingga ketika ia berjalan ia harus menghancurkan rumah-rumah dan menyeret pohon-pohon. Tinggi badannya pun menjulang, sehingga tiang listrik dan kabel-kabel dan antena-antena jadi putus dan tumbang. Apakah menurutmu itu perjalanan yang menyenangkan?
Bayangkan saja, apa yang akan dilakukan oleh seorang raksasa ketika ia ingin menggososk gigi? Kau tahu, seperti manusia, raksasa juga punya banyak gigi, dan kebanyakan gigi mereka berbentuk runcing, seperti gergaji. Itu sudah satu kesulitan tersendiri. Bayangkan, ketika kau menjadi raksasa, untuk menggosok gigi saja kau harus pergi ke sungai, sebab sungai adalah anugrah Tuhan paling bebas dan air sungai tidak asin seperti air laut. Manusia juga jarang pergi ke sungai, sebab bagi manusia sungai tak lebih dari tempat pembuangan sampah. Hanya raksasa yang pantas ke sana, dan aman, tak terusik.
Dan karena raksasa adalah makhluk minoritas, maka tidak ada toko-toko yang menjual keperluan sehari-hari bagi raksasa, semisal sikat gigi raksasa. Bisakah kau bayangkan, odol merek apa yang pantas digunakan oleh seorang raksasa. Odol sebanyak apa. Maka, hal yang paling memungkinkan bagi seorang raksasa adalah menggosok giginya dengan pasir. Tanpa sikat, tanpa odol. Hanya pasir yang digosok-gosokkan ke gigi dengan jari telunjuk. Seperti itulah cara terbaik bagi seorang raksasa untuk membersihkan gigi-giginya.
Itu baru soal kebersihan gigi. Belum lagi soal sehari-hari yang lain seperti sarapan pagi, mandi, keramas—kalau ia raksasa yang punya rambut, buang air, dan seterusnya, dan sebagainya.
Seperti yang ada dalam mimpinya, raksasa juga punya perasaan, ia bisa jatuh hati dan sakit hati. Menurutmu, apa yang akan terjadi ketika seorang raksasa jatuh hati pada anak manusia? Yang akan terjadi adalah tragedi. Ya, hanya tragedi. Cinta berepuk sebelah tangan. Cinta buta tak tersembuhkan. Penistaan cinta suci… dan seterusnya. Sebab, tak ada anak manusia yang bakal jatuh hati pada seorang raksasa. Dunia mereka berbeda. Cara hidup mereka berbeda. Dan wujud badaniah mereka berbeda. Kalau ada anak manusia jatuh cinta pada seorang raksasa, dapatkan kau bayangkan bagaimana cara mereka berpelukan dan berciuman setelah akad nikah nanti? Apakah akan ada penghulu yang mau menikahkan mereka? Apakah akan ada tukang cincin yang membuat sepasang cincin beda ukuran, yang satu seperti cincin, dan yang lain seperti bibir sumur.
Tidak. Hal-hal semacam itu tak akan terjadi. Raksasa hanya pantas jatuh cinta pada raksasa. Maslahnya adalah, jaman sekarang, menemukan wujud raksasa tidaklah semudah menemukan orang cantik di jalan-jalan. Tak peduli hati mereka lebih raksasa dari raksasa, asal wajah mereka menawan, mereka akan disambut dengan pelukan di mana-mana. Sedangkan raksasa, meski hatinya selembut para ibu, kalau wujudnya raksasa, tetaplah raksasa. Dan sekali lagi, menemukan raksasa lain untuk dijadikan tambatan hati tidaklah mudah. Sebab, kebanyakan raksasa menjatuhkan hatinya pada anak manusia. Seorang raksasa enggan jatuh hati pada raksasa. Para raksasa menginginkan bayi dari para manusia, supaya kelak ketika mereka menikah dan punya bayi muncul sebuah kemungkinan, sang bayi bakal menjadi bayi manusia, dan bukan bayi raksasa. Bukankah itu angan-angan yang cukup rumit?
Pada kenyataannya, para raksasa tak pernah bisa menikah dengan anak manusia. Para raksasa tak pernah bisa hidup dengan tenang. Kebanyakan dari mereka hidup secara sembunyi-sembunyi. Sekali saja satu dari mereka muncul dari persembunyian, untuk pergi ke pasar membeli nasi pecel buat sarapan, misalnya, mereka harus menghadapi ratusan orang bersenjata, genap dengan tatapan kebencian tiada rekaan.
Orang-orang akan berteriak, “Ada raksasa! Ada raksasa! Cepat selamatkan diri kalian!” lalu, mereka akan menyerang raksasa itu membabi buta, lewat darat dan udara, mendatangkan superhero misterius pujaan semua orang. Mereka berjibaku melawan raksasa itu sampai titik kekuatan penghabisan, sampai raksasa itu rubuh di tanah, menimpa pohon-pohon dan rumah-rumah. Dan semua kerusakan yang timbul itu, sepenuhnya adalah kesalahan raksasa. Kesalahan raksasa.
Tak seorangpun mau menyapa seorang raksasa, berbaik sangka, mengucap salam, dan bertanya, “Hai, Raksasa. Mau pergi ke mana kau? Ada yang bisa saya bantu?” Tak seorangpun. Tak seorangpun.
Seorang raksasa, kalau ia muncul di tengah-tengah khalayak, maka ia harus mati, sebelum ia bisa menjelaskan apapun. Begitulah nasib seorang raksasa. Maka, tak seharusnya ia muncul. Kemunculannya saja sudah merupakan sebuah dosa. Maka, kurang mustahil bagaimana kalau sampai seorang raksasa jatuh hati pada anak manusia?
Maka sampai detik ketika ia terbangun dari tidur dan menceritakan mimpinya ini, raksasa-raksasa di muka bumi ini tak pernah muncul. Mereka bukan tak ada, mereka hanya bersembunyi. Sebab, begitu seorang raksasa muncul di muka khalayak, itulah yang akan terjadi. Raksasa itu akan dan harus mati dengan bermacam cara di tangan anak manusia: ditembak, dibom, dimutilasi, atau dicacah-cacah. Hal mengerikan itu membuat raksasa lain kehilangan nyali utuk menampakkan diri di hadapan manusia. Hingga puluhan tahun berikutnya. Hingga ratusan tahun berikutnya. Hingga ribuan tahun selanjutnya.
Jadi, bagaimana para raksasa itu menjalani hidup sehari-hari?
Hanya para raksasa yang tahu.
Kini, para raksasa masih saja meringkuk dalam persembunyiannya. Di tempat-tempat yang nyaris tak dijamah manusia. Alas gung liwang-liwung. Di lereng-lereng gunung. Di kedalaman hutan yang paling lembap, paling gelap. Mereka berdiam di sana dan berlumut dilampaui waktu. Diguyur musim-musim yang terus melaju. Beberapa dari mereka menjelma tebing-tebing yang diam, menyatu dengan pohon-pohon tua, serta berendam di dasar sungai, menyatu dengan sungai, menjadi sungai yang menganak sampai ke perkampungan dan kota-kota. Bahkan beberapa raksasa kadang mati dalam ringkuk persembunyiannya. Dalam tangisan paling kelam, terlampau kelamnya hingga tak siapapun bisa mendengarnya.
Kebanyakan dari para raksasa itu mati membawa seonggok kekecewaan, kumpulan rasa sakit, beberapa ikat dendam, atas perlakuan anak manusia pada mereka. Tak seorangpun mendengar puncak harapan dan mimpi-mimpi dari seorang raksasa. Tak seorangpun akan terbit pikiran, bahwa seorang raksasa akan bisa menciptakan sebuah lagu, lalu menyanyi degan suara serak tanpa sumbang. Tak seorangun akan percaya, bahwa seorang raksasa bisa saja menulis sebuah novel fenomenal beratus-ratus halaman, dan menerbitkannya. Sehingga kalau novel-novel itu ditumpuk-tumpuk akan bisa menjadi sebuah rumah tinggal. Tak seorangpun akan beranggapan, bahwa seorang raksasa bisa saja menciptakan sebuah lukisan yang lebih masyhur dari lukisan paling masyhur yang pernah ada.
Semua orang berpikiran bahwa raksasa hanyalah raksasa. Makhluk yang nyaris tak ada, atau tak seharusnya ada. Semua orang beranggapan bahwa raksasa adalah seburuk-buruk ciptaan, yang tak punya insting lain selain menghancurkan. Tak punya bakat lain selain merusak dan merusak. Tak punya minat lain selain memangsa dan memangsa.
Dan dalam mimpinya malam itu, ia mendapati dirinya sebagai raksasa dengan berat ribuan ton dengan tinggi hampir empat ribu kaki. Utuk melihat wajahnya sebagai raksasa, ia musti pergi ke danau tenang. Melihat wajahnya sendiri yang samar-samar di bawah sinar rembulan. Dan ia melihat dirinya dalam penuh seluruh, telah menjadi seorang raksasa. Ia memiliki ekor panjang gilik, serupa gelondong damar di bagian belakang, sebuah cula yang melengkung, hidung dengan tiga lubang yang menjorok ke dalam, sepasang mata yang melotot dan tanpa alis, bibir tebal yang lebar, genap dengan deretan gigi runcing berwarna kuning pastel. Sebagai raksasa—dalam mimpinya, ia telah menyimak hikayat-hikayat raksasa terdahulu. Memahami polah tingkah anak manusia. Serta memiliki perasaan sedih sempurna seorang raksasa—tak diharapkan siapapun, diserapahi, dibenci, dijauhi, dikutuk, dan seterusya…
Sejak menyadari bahwa dirinya seorang raksasa, saat itu juga ia pergi ke hutan dan bersembunyi di kedalamannya. Merebahkan tubuhnya. Dan bersiap-siap mati dalam keheningan. Ia membiarkan dirinya dilampaui waktu. Menatap warna langit dan pucuk pohon yang berganti-ganti. Mendengar jeritan anak manusia di kejauhan. Sambil terus berdoa pada Tuhan, suapaya dalam persembunyian yang asing itu ia dipertemukan dengan raksasa lain, agar ia bisa berbagi rasa, menumpahkan segenap kesedihan yang terbungkus rapi dalam tubuh bongsornya. Tapi, keheningan tetaplah menjadi keheningan, hingga anak manusia datang dengan raksasa ciptaan mereka sendiri. Raksasa yang tersusun dari besi, tanpa hati.
Mereka memapras pohon-pohon tempat para raksasa bersembunyi, bahkan tanpa sadar mereka memutilasi tubuh raksasa itu sendiri. Darah para raksasa tumpah mengucur. Dan mereka, para anak manusia, bersorak riuh, “Pohonnya mengeluarkan getah! Pohonnya mengeluarkan getah! Warnanya merah!”
Mereka tak akan berhenti, mereka akan terus menebang dan menebang, memenggal dan memenggal. Pohon-pohon mengucurkan getah. Tubuh-tubuh raksasa yang bersembunyi turut terbelah, membuarkan darah. Merah. Dan ia merasa begitu sakit. Tak kuasa menahan sakit. Ia meraung sekeras mungkin. Sampai ia terbangun dan mendapati dirinya telah menangis tersedu-sedu. Dalam umur setua itu.
***
“Jadi, raksasa memang benar-benar ada. Dan mengapa mereka tak pernah muncul di hadapan manusia, kakek sudah menceritakan semuanya.”
Mahisa menatap wajah kisut kakeknya, dan mendapati mata kakeknya telah basah.
“Menjadi raksasa tak pernah mudah, Nak. Tak pernah mudah.”***
Madiun-Malang, 2017-2021
Mashdar Zainal lahir di Madiun 15 April 1984. Tulisannya banyak dimuat di media lokal maupun nasional.