‘Keresahan Agraris’ Luluk Nur Hamidah
Berita Baru, Jakarta – “Kita adalah masyarakat agraris, meski harus impor beras 2,7 juta ton pada tahun 2017. Sebagian besar dari kita adalah petani, kendati semakin ke sini, lahan kita semakin tergerus oleh proyek-proyek pembangunan. Kita memang unik.”
Begitu sindir Luluk Nur Hamidah, anggota DPR RI di Komisi IV, dalam talkshow #BERCERITA ketika dipersilahkan untuk berbagi cerita tentang ketahanan pangan di Indonesia pada Selasa (2/2).
Luluk adalah salah satu sosok yang getol pada kebijakan pangan pemerintah. Belakangan ini, ia begitu menyayangkan tentang adanya kebijakan impor kedelai senilai 11 triliun pada Januari-Oktober 2020.
Menurut Luluk, satu sisi itu maklum sebab kebutuhan kedelai kita mencapai 3 juta ton pertahun dan produksi kedelai nasional terbatas pada angka 35 ribu ton, sehingga impor diperlukan. Namun pada sisi lain, adalah memilukan ketika tahu bahwa produksi kedelai petani sendiri rupanya tidak mendapatkan penyerapan yang cukup berarti.
Ketimpangan ini, bagi Luluk, pemerintah seharusnya bisa melihatnya sebagai peluang untuk menggenjot produksi kedelai nasional sampai bisa memenuhi garis kebutuhan, sehingga tidak perlu lagi impor, bukan malah mengabaikan petani kedelai dan main mata dengan Amerika.
Ada beberapa pihak memang yang menilai bahwa kedelai tidak bisa tumbuh secara baik di daerah tropis. Namun, di daerah sub-tropis seperti Amerika, pertumbuhannya bisa maksimal.
Meski begitu, Luluk menyangkal pandangan tersebut. Pada masa Orde Baru, kedelai sempat ramai ditanam para petani dan bertahan cukup lama—yang ini menunjukkan adanya kualitas yang baik pada kedelai—sehingga ketika dibilang Indonesia kurang cocok untuk ditanam kedelai, jelas ini patut dipertanyakan.
“Dulu waktu saya masih remaja. Saya sering sekali menjumpai kedelai dan bagus-bagus kok. Lalu, kenapa sekarang tiba-tiba diisukan bahwa kedelai kurang bisa maksimal tumbuh di daerah tropis?,” kata Luluk menggugat.
Sementara itu, lanjut Luluk, ada yang menggemaskan soal dilema kedelai ini. Tidak sedikit dari masyarakat kita menolak makanan berbau rekayasa genetik, namun pada kenyataannya, kedelai yang diimpor adalah kedelai GMO (Genetically Modified Organism) atau transgenik.
“Kita benci pangan hasil rekayasa genetik, tapi—entah sadar atau tidak—kita senang mendatangkannya dari negara lain sambil terus meyakini bahwa kedelai dalam negeri kuranglah berkualitas,” jelasnya.
Ketahanan atau kemandirian?
Ironi di muka, bagi Luluk, cukup masuk akal ketika mengaitkannya dengan kebijakan agraria pemerintah yang berada di level ketahanan pangan. Sebab bicara pangan di level struktural, kata Luluk, maka bicara tentang tiga tingkat kemampuan negara, yakni ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan.
“Negara yang fokus pangannya ada di urutan terendah (ketahanan pangan) kebijakannya akan terbatas pada bagaimana memenuhi kebutuhan pangan nasional. Mengenai pola produksi (kemandirian pangan)—apalagi akses produksi, distribusi, dan penguasaan pasar (kedaulautan pangan)—ia akan lepas tangan,“ terangnya.
Menurut Luluk, ketika fokus kita masih pada ketahanan pangan, ini sama halnya dengan membiarkan 270 juta sekian rakyat Indonesia hidup dalam kerentanan. Sebab pasokan pangan kita bergantung pada importasi.
“Coba kita bayangkan, apa yang akan terjadi ketika negara-negara tempat kita bergantung tiba-tiba memutuskan untuk tidak lagi menjual komoditasnya pada kita?,” tanyanya.
“Kiamat! Apalagi kita tahu, masyarakat kita sejak Orde Baru sudah terbiasa dengan istilah bahwa tidak ada yang namanya makan tanpa adanya nasi,” ujar Luluk sembari membuka beberapa catatannya yang sebelumnya sudah disiapkan.
Untuk kasus beras saja, Luluk melanjutkan, Indonesia harus bergantung pada negara lain untuk sejumlah 2,7 juta ton pertahun. Oleh karena ketergantungan itu, Luluk berpendapat:
“Pertama, tentu ini adalah jumlah yang sangat besar, sehingga jika tidak benar-benar dipikirkan sekaligus disiapkan sejak dini, negara bisa oleng ketika ada masalah diplomasi misalnya. Kedua, Indonesia adalah negara agraris, yang “seharusnya” bisa untuk memproduksi sendiri, tetapi apa yang terjadi? Sebaliknya. Sudah sejak 2017 kita harus impor beras dengan total sebanyak itu,” jelasnya.
Dari dilema regenerasi sampai problem lahan
Per-januari 2020 rata-rata umur petani kita adalah 55 tahun. Ini berarti 10 tahun lagi, Indonesia akan mengalami krisis petani ketika tidak ada langkah kejutan dari pemerintah untuk memikirkan persoalan regenerasi petani. Di waktu bersamaan, pada 2030 jumlah penduduk Indonesia akan naik menjadi 300 juta jiwa yang artinya kebutuhan pangan akan meningkat.
“Perjumpaan antara krisis petani dan peningkatan jumlah penduduk jelas kabar buruk, mengetahui mereka adalah manusia yang membutuhkan makan setiap harinya,” katanya.
Soal ini, Luluk menyinggung bahwa hak untuk makan adalah hak konstitusi, hak asasi manusia. “Jadi, kalau sudah begini, apakah kita hanya akan mengandalkan impor?” tegas Luluk, “beberapa negara memilih untuk bermain aman, yakni dengan fokus pada kemandirian pangan minimal, sehingga ketika ada sesuatu di luar rencana, seperti pandemi, mereka bisa tetap bertahan secara efisien.”
Sementara itu, dalam kurun waktu 5 tahun ini saja alih fungsi lahan potensial pangan mencapai hampir 1 juta hektare dengan kepemilikan rata-rata petani atas tanah hanya 0,2 hektare. Dengan ungkapan lain, dalam benak Luluk, alasan pertama mengapa anak-anak muda sangat sedikit yang berminat menjadi petani—dilihat dari rata-rata petani yang berumur 55 tahun—berpulang pada tidak tersedianya cukup lahan.
“Adapun penghasilan bulanan yang bisa diperoleh dari 0,2 hektare tidak sebanding dengan jumlah penghasilan yang akan mereka raup ketika kerja di kota. Walhasil, begitulah kisahnya mengapa anak-anak muda memilih mengadu nasib ke kota,” tambahnya.
Sungguhpun rata-rata kepemilikan tanah naik menjadi 1 hektare, berdasarkan data yang disampaikan Luluk, penghasilan mereka akan tetap besar pasak daripada tiang. Pasalnya, Nilai Tukar Petani (NTP) di Indonesia rendah dengan rata-rata penghasilan petani hanya 1,4 juta perbulan, padahal untuk ukuran UMP (Upah Minimum Provinsi) paling rendah saja, DI Yogyakarta, sebesar 1,7 juta.
“Jadi, tidak heran kalau anak-anak muda malas jadi petani,” ujar perempuan jebolan NUS (National University of Singapore) itu.
Habis resah, terbitlah komitmen
Kompleksitas persoalan di atas sebenarnya sudah direspons oleh pemerintah melalui Reforma Agraria. Salah satunya program perhutanan sosial Jokowi yang menargetkan tersedianya lahan pangan sebesar 12 juta hektare demi tercapainya keadilan akses lahan.
“Hanya saja, sampai sekarang lahan yang berhasil dieksekusi masih 4,4 juta hektare. Itu pun kondisi lahannya tidak dalam performa yang baik. Di tempat lain bahkan masih ada beberapa perusahaan perkebunan yang kepemilikan lahannya mencapai jutaan hektare, sehingga untuk bilang keadilan akses lahan tadi masih jauh panggang dari apim,” ungkap Luluk.
Luluk berpandangan, yang pasti perihal agraria di Indonesia menyisakan dua problem raksasa: problem struktural dan problem komitmen. “Untuk yang kedua, kenapa disebut begitu sebab sebenarnya jika kita pikirkan, ada banyak jalan yang bisa dijajaki untuk mengatasinya, hanya saja kita kekurangan pihak yang memiliki komitmen tinggi menuju Indonesia berdaulat secara pangan,” Luluk menyayangkan.
Ada setidaknya empat hal, menurut Luluk, yang bisa dilakukan untuk mengurangi ironi agraria di Indonesia. Pertama, sektor pertanian harus diposisikan sebagai landasan setiap kebijakan dan pembangunan.
“Mengenai pembangunan infrastruktur misalnya, ini baik selama tidak sampai mengorbankan lahan pangan potensial. Infrastruktur dibangun supaya distribusi pangan berjalan lancar, sehingga akan sangat jenaka ketika akibat pembangunan tersebut, produksi pangan malah dikorbankan,” Luluk menyarankan.
Kedua, anggaran harus disituasikan seberpihak mungkin pada sektor pertanian. Kenyataan bahwa hak pangan adalah hak konstitusi dan perihal pangan menyangkut hajat hidup 270 juta jiwa, termasuk masa depan bersama merupakan alasan mengapa demikian.
“Jadi, ketika anggaran pertanian dialihkan untuk sektor kesehatan—seperti sempat ramai belakangan ini—tentu ini merupakan kebijakan yang blunder. Bagaimana rakyat mau sehat kalau kebutuhan pangan yang berkualitas tidak terpenuhi?” gugat perempuan kelahiran Jombang 1971 tersebut.
Ketiga, Indonesia harus memastikan bahwa produksi pertanian dalam negeri tidak terganggu, termasuk distribusi, dan keadilan pasar. Supaya produksi pertanian dalam negeri membaik pemerintah penting untuk ikut campur.
Kata Luluk, mendekati semua produk pangan secara liberal dalam konteks ini tidak akan membuahkan apa pun kecuali petani yang semakin miskin dan importasi yang meningkat, sehingga di beberapa komoditas, pemerintah perlu hadir.
“Salah satu cara yang bisa kita tempuh adalah melalui pasar digital yang di situ antara petani dan pembeli bisa langsung bertemu, tanpa perantara tengkulak,” ungkapnya.
Terakhir, Luluk berpandangan bahwa satu lagi yang tidak kalah penting adalah bagaimana menggeser pola pikir masyarakat supaya tidak menganggap bahwa beras adalah segalanya. Ini soal diversifikasi pangan. Dengan tidak bergantung pada beras saja sebagai makanan pokok misalnya, ini akan berdampak positif pada ketahanan pangan nasional. Sebab andaikan stok beras nasional rendah, kita masih punya jagung, singkong atau sorgum untuk gantinya.
“Ini tidak susah kok. Semua itu tentang kebiasaan, termasuk selera. Ketika masyarakat dibiasakan untuk mengonsumsi sorgum umpamanya, lambat laun mereka akan tidak lagi bergantung pada beras,” kata Luluk.
Di atas semuanya, untuk beberapa hal terakhir, itulah yang menjadi komitmen Luluk Nur Hamidah baik sebagai dirinya sendiri maupun sebagai anggota DPR RI komisi IV.
“Jadi, jika pertanyaannya, ketahanan pangan ambisi atau ilusi, maka jelas ini adalah ambisi bersama, cita-cita. Ketahanan pangan adalah komitmen untuk menuju Indonesia berdaulat secara pangan,” pungkas Luluk Nur Hamidah.