Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kepentingan Politik dan Kesehatan: Antara Demonstrasi dan Lonjakan Kasus

Kepentingan Politik dan Kesehatan: Antara Demonstrasi dan Lonjakan Kasus



Berita Baru, Jakarta – Unjuk rasa besar-besar di lebih dari 300 kota di AS yang dipicu oleh kematian George Floyd pada 25 Mei berlangsung lebih dari satu pekan. Beberapa unjuk rasa dilakukan dengan damai, dan ada juga yang rusuh, hingga berujung penjarahan dan pembakaran.

Hal itu membuat beberapa puluhan kota menerapkan terpaksa harus menerapkan jam malam pada 1 Juni. Dikabarkan juga Presiden Trump sempat diamankan ke bungker saat terjadi protes di Gedung Putih pada akhir Mei.

Lalu di pihak polisi, mereka tak segan-segan menggunakan kekerasan, entah untuk meredakan kerusuhan atau untuk membungkam aspirasi warga. Mereka menggunakan gas air mata, peluru karet dan tongkat pukul untuk membubarkan pengunjuk rasa.

Dalam fenomena unjuk rasa atas kematian George Floyd, terlepas dari unsur politik, latar belakang konteks terjadinya unjuk rasa, atau yang lain, yang menarik untuk diperhatikan adalah waktu protes berlangsung, yaitu pada saat penyebaran virus korona sedang melonjak.

Sementara itu, di Indonesia, kemarin Rabu (1/7), Gubernur Jakarta Anies Baswedan juga mengumumkan bahwa masyarakat diperbolehkan melakukan unjuk rasa dengan mengikuti protokol kesehatan.

Mengutip Katadata.co.id, di satu pihak Anies ingin menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat yang dimiliki masyarakat tetap berjalan dengan baik, dan di pihak lain ingin agar unjuk rasa atau demonstrasi itu tidak menimbulkan resiko penyebaran virus korona.

Pertanyaannya: apakah unjuk rasa atau demonstrasi menyebabkan lonjakan kasus COVID-19 atau tidak?

Demonstrasi Tidak Menyebabkan Peningkatan Kasus

Merujuk pada unjuk rasa rasial atas kematian George Floyd yang berlangsung sepekan lebih, ternyata unjuk rasa atau demonstrasi tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam infeksi penyebaran virus korona.

Hal itu dibuktikan oleh Dhaval M. Dave, dkk. dalam penelitiannya di National Bureau of Economic Research (NBER), dengan judul Black Lives Matter Protests, Social Distancing, And Covid-19.

Paper setebal 60 halaman itu menggunakan data yang baru dikumpulkan tentang protes di 315 kota terbesar di AS dan dokumen yang terjadi di 281 kota untuk memperkirakan dampak protes massal terhadap pembatasan sosial dan lonjakan kasus COVID-19.

Sebelumnya, para dokter dan pejabat kesehatan di AS menyatakan kekhawatiran bahwa para demonstran atau pengunjuk rasa, yang berteriak-teriak dalam jarak yang sangat dekat, akan dengan cepat menyebarkan virus hingga mengakibatkan wabah yang tidak bisa dibayangkan.

Akan tetapi, Dave, dkk. dalam penelitiannya menemukan tidak ada bukti bahwa demonstrasi meningkatkan penyebaran infeksi virus korona selama lebih dari tiga minggu setelah dimulainya demonstrasi.

Demonstrasi Mengarah pada Peningkatan Perilaku Social Distancing

Malahan, penelitian itu menemukan bahwa berdasarkan data lokasi ponsel, di kota-kota yang terjadi protes malah relatif cenderung meningkatkan perilaku pembatasan sosial.

Penemuan itu kemudian mengarah pada semakin kecilnya peluang penyebaran virus korona di kota-kota yang terjadi protes.

“Di banyak kota, demonstrasi sebenarnya tampaknya mengarah pada peningkatan perilaku pembatasan sosial, karena lebih banyak orang yang tidak ikut memprotes memutuskan untuk menjauh dari jalanan,” jelas Dave, dilansir dari Forbes.

Data Pendukung

Hasil penelitian ini memang belum ditinjau ulang oleh pemerintah setempat atau penelitian sejawat. Beberapa kantor berita juga menunjukkan bukti bahwa demonstrasi George Floyd meningkatkan kasus secara signifikan, seperti yang dilaporkan oleh The Guardian, CBS Minnesota, dan sebagainya.

Kesimpulan ini didukung oleh data pengujian virus korona di banyak kota yang menjadi tempat demonstrasi.

Misalnya, mengutip Washington Post (30/6), Departemen Kesehatan Minneapolis, yang merupakan tempat kematian George Floyd, melaporkan bahwa lebih dari 15.000 orang yang diuji menunjukkan hasil rata-rata 1,7% positif. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata positif di seluruh negara bagian AS, yaitu 3,6%.

Selain itu pengunjuk rasa di Minneapolis mengembalikan tingkat kepositifan virus korona kurang dari 1% karena mereka melakukan protes di luar ruangan, mengenakan masker, banyak bergerak dan melewati kerumunan.

Beberapa Catatan

Di Indonesia, terutama di Jakarta, selama pandemi virus korona masih berlangsung dan angka kasus semakin tinggi, terdapat beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat.

Yang paling kentara adalah demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di berbagai kota. Pada hari ini, Kamis (2/7), tercatat ratusan orang berunjuk rasa di DPRD Majalengka, Pamekasan, Tegal dan kota lainnya.

Tribun Cirbon menyebut 700 personel gabungan diturunkan untuk mengamankan aksi demonstrasi Tolak RUU HIP di depan DPRD Majalengka.

Beberapa hal yang perlu dicatat di sini adalah: pertama, penelitian dari Dave, dkk. membuktikan bahwa demonstrasi tidak menyebabkan lonjakan kasus karena, secara sadar atau tidak sadar, para demonstran menerapkan pembatasan sosial, menggunakan masker, dan melewati kerumunan atau tidak bergerombol. Akan berbeda jika demonstrasi dilakukan dengan bergerombol, tidak menggunakan masker, dan tidak menerapkan perilaku pembatasan sosial.

Melihat foto dan video dari suara.com unjuk rasa menolak RUU HIP di Indonesia, para pengunjuk rasa tampaknya kurang memperhatikan aturan dan protokol. Begitu juga dengan aparat keamanan.

Efeknya, bisa jadi, demonstrasi akan menjadi kluster COVID-19 baru. Seperti halnya pesta perkawinan yang bisa jadi kluster COVID-19.

Kedua, meskipun Gubernur Anies mengatakan akan berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk mengawasi dengan ketat aksi demonstrasi, namun tidak ada jaminan ia bisa mengatur pengunjuk rasa, terutama dalam hal menerapkan protokol dan mencegah penyebaran virus korona.

Dengan demikian, seperti yang ditulis oleh Dave, dkk. bahwa antara kepentingan politik (atau ideologi) dan kepentingan kesehatan masyarakat tampaknya tidak saling menguntungkan.