Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kenang Ridwan Saidi, Rektor Paramadina: Orangnya Egaliter
Budayawan Betawi Babe Ridwan Saidi. (Foto: Istimewa)

Kenang Ridwan Saidi, Rektor Paramadina: Orangnya Egaliter



Berita Baru, Jakarta – Budayawan Betawi, Ridwan Saidi meninggal dunia pada Minggu (25/12) sekitar pukul 08.35 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Bintaro, Tangerang. Ia wafat pada usia yang ke 80 tahun.

Kepergian lelaki yang akrab disapa Babe Ridwan itu menjadi duka mendalam bagi banyak orang yang pernah berjumpa. Salah satunya adalah Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini.

Kepada Beritabaru.co, Prof. Didik menyebut, Babe Ridwan adalah sosok yang egaliter. Memiliki gaya bicara berintonasi kuat, tetapi sangat humoris. Bahkan tak jarang Babe sambil mengejek apa dan siapa yang dikritiknya.

“Waktu saya masih mahasiswa 1980-an dan belajar berorganisasi, Ridwan Saidi sudah malang melintang sebagai anggota DPR dari PPP. Saya kenal secara pribadi sebagai aktivis HMI dan berinteraksi terus menerus setidaknya 2-3 tahun pada 1983-85 sebelum saya melanjutkan kuliah S2 dan S3.  Orangnya egaliter, gaya bicaranya berintonasi kuat, tetapi sangat humoris sambil mengejek apa dan siapa yang dikritiknya,” tuturnya.

Ekonom senior INDEF itu juga menyebut, Babe Ridwan di jagat politik nasional, sebagai anggota DPR RI suara sangat nyaring mengkritik Orde Baru. Meskipun ia sendiri tidak mampu mengubah peta politik Soeharto yang sangat kuat saat itu.

“Berbeda dengan kelompok Petisi 50, yang langsung ditumpas oleh Orde Baru karena frontal head to head dengan Soeharto, kritik Bang Ridwan lebih lunak dan lewat status formalnya sebagai anggota DPR sehingga tidak pernah sedikit pun ada indikasi untuk ditangkap,” cerita Prof. Didik.

Meski kekuatan oposisi tak ada artinya di tangan penguasa otoriter, bagi Prof. Didik kritik-kritik yang disuarakan sangat lantang oleh Babe Ridwan saat Soeharto berkuasa menjadi contoh bahwa pemerintah membutuhkan pertengkaran argumentasi agar pemerintahan berjalan baik.

“Kekuatan oposisi tidak ada artinya di tengah kekuatan politik otoriter pada waktu itu. Tetapi kritik-kritik yang dilontarkan memberikan pelajaran bahwa dalam demokrasi harus ada suara lain yang berbeda dan mungkin bisa menjadi alternatif. Simbol kritik yang menggema secara nasional itu ada pada figur Ridwan Saidi,” katanya.

Prof. Didik tak heran, bila seumur hidupnya Ridwan Saidi berada di luar lingkar kekuasaan dan tidak pernah menyesal memainkan peranan kritis terhadap kekuasaan tersebut. Karena perjalanan Babe Ridwan sebagai seorang aktivis telah ditempa oleh sejarah panjang perjalan bangsa Indnesia.

“Ridwan Saidi adalah aktivis HMI lulusan Universitas Indonesia, yang ditempa sejarah aktivisme sangat panjang bersamaan dengan perubahan besar di negeri ini, mulai dari Orde Lama, Revolusi Kudeta PKI dan Orde Baru, masa transisi sulit kejatuhan Orde Baru, sampai masa demokrasi bebas sekarang ini,” jelasnya. 

Ketika hampir dua dekade pasca reformasi, lanjut Prof. Didik, suara Ridwan Saidi tak lantas redam. Babe Ridwan tetap nyaring di publik mengoreksi demokrasi di Indonesia yang dinilainya mengalami kemunduran di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Salah satunya Babe Ridwan cukup keras mengkritik agar pemerintah tidak main tangkap terhadap lawan politiknya. Dimana saat itu terjadi peristiwa penangkapan sejumlah aktivis seperti Ahmad Dhani, Buni Yani dan Slamet Ma’arif dan lain-lain yang diyakini Babe menggunakan perlakuan hukum diskriminatif.

“Tidak hanya beberapa orang tersebut, banyak ulama, aktivis Jumhur Hidayat dan Dr Syahganda Nainggolan diberangus aparat hanya gara-gara posting wa kritis terhadap pemerintah. Aura pemerintahan yang otoriter mulai kelihatan karena konsolidasi kekuasaan hampir mutlak seperti di parlemen menguasai 82 persen dan aparat berpusat kepada presiden. Menurut saya figur seperti  Ridwan Saidi  diperlukan untuk menjaga demokrasi agar tidak tergelincir mengarah ke otoriter,” kata Prof. Didik.

Tidak hanya kritik masalah politik, Ridwan Saidi juga mengkritik masalah pembangunan, salah satunya terkait pemindahan Ibu Kota Indonesia. Kala itu Babe Ridwan meragukan rencana pemerintah tersebut. Sebab ia menilai langkah tersebut tidak akan terealisasi karena tidak didukung rakyat. 

“Kalau gagasan yang jumpalitan tidak jelas dan terburu-buru biasanya kagak bakal jalan,” ujar Prof. Didik menirukan kritik Babe Ridwan.

Namun demikian, di mata Prof. Didik, Ridwan Saidi adalah sosok yang sangat kooperatif. Meskipun selalu kritis, Babe Ridwan juga tetap pandau memuji program-program pemerintah yang dianggapnya berhasil. Diantaranya pembangunan Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, oleh Jokowi saat menjabat Gubernur DKI.

“Dalam hal ini Jokowi sebagai Gubernur DKI.  Ridwan Saidi, salut terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang memiliki kepedulian untuk membangun Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.  Pembangunan kampung Betawi sangat baik untuk melestarikan budaya Betawi yang mulai terancam eksistensinya. Di Singapura saja ada kampung Melayu, yang dipelihara,” kenang Prof Didik.