Kemelaratan | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika
“Poverty is not an accident. Like a slavery and apartheid, it is man-made and can be removed by the actions of human beings.” Kalimat bernas ini punya gema yang nyaring meski sudah amat lama dinukilkan oleh Nelson Mandela. Politik Apartheid bukan cuma menghancurkan kedaulatan bangsa, tapi juga melenyapkan kemanusiaan. Warga kulit hitam Afsel dianggap tak punya nilai sehingga bisa dinista dengan segala rupa dan cara. Seluruh sumber daya hayat diputus sehingga kehidupan mereka pupus. Jadi, kemelaratan tak jatuh dari langit. Kemiskinan bergoyang laiknya rumput kering yang disapu angin di halaman rumah.
Hati Mandela terpuruk, ia lunglai menatap kepedihan yang tak terperikan. Dia lawan sistem yang menindas. Diskriminasi mesti dihentikan. Kehormatan wajib ditegakkan. Tiap bangsa punya harga dan masing-masing orang tidak bisa dihina. Sepanjang hidupnya diabdikan untuk membangun kesetaraan warga. Tak boleh nasib manusia dikotori berdasarkan ras, suku, atau agama. Warna kulit bukan pembeda kemanusiaan, ia pemersatu keberagaman. Ia tahbiskan pikiran dan hatinya untuk membungkam kesewenangan. Mandela mendekam 27 tahun di penjara sebagai ganjaran atas perjuangan.
Islam menaruh berlaksa kepedulian soal kemelaratan. Kaum muslimin pasti pernah mendengar sabda masyhur Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Na’im: “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.” Islam menempatkan kufur sebagai dosa yang tak terampuni, sehingga pertempuran melawan kemelaratan merupakan perang yang harus dimenangkan. Kemiskinan spiritual diselesaikan dengan iman. Kefakiran material dituntaskan lewat kebijakan. Di sinilah Islam meletakkan keadilan sebagai tiang keputusan. Nabi Muhammad Saw menyeru imam/pemimpin yang adil sebagai salah satu dari tujuh kelompok yang memperoleh lindungan Allah di hari kiamat.
Vietnam punya jejak rekam bagus dalam isu ini. Periode 2002 – 2012 pemerintah Vietnam berhasil memangkas angka kemiskinan dari 29,5% (2002) menjadi hanya 11% (2012). Ini berarti dalam 10 tahun terjadi penurunan kemiskinan sebesar 18,5% (1,85%/tahun). Mereka punya “Program 135” yang menyasar daerah pegunungan dan permukiman etnis minoritas yang tingkat kehidupannya berat. Kabupaten Banyuwangi punya impresi yang sama pula. Pada 2010 angka kemiskinan masih 20%, tetapi periode 2015 anjlok menjadi 9,2%. Salah satu yang dikerjakan Azwar Anas (Bupati) saat itu adalah memberi warga miskin desa sumber daya untuk mengolah pekarangan.
Banyak teladan lain daerah di Indonesia dan pemerintah pusat yang berupaya meluruskan kebijakan. Kemelaratan adalah produk kebijakan yang ganjil. Itu semua ciptaan manusia (struktur tak adil yang membatu di bumi), bukan takdir Sang Maha Cinta. Pemimpin terpilih adalah imam yang wajib menyebarkan keberkahan. Kebijakan (publik) menjadi mekanisme kebajikan. Kata kuncinya: kebijakan yang adil, bukan karitas yang subtil. Persis seperti hujjah Mandela: “Overcoming poverty is not a gesture of charity. It is an act of justice. It is the protection of fundamental human right, the right to dignity and a decent life. While poverty persists, there is no true freedom.”