Kembali ke Khittah Sosialisme Indonesia
Oleh: Taufiq Ahmad*
Judul Buku | : | Sosialisme dari Utopia ke Indonesia |
Penulis | : | M Dawam Rahardjo |
Penerbit | : | Beritabaru Publishing, Jakarta |
Tebal | : | xxii + 352 hlm |
Cetakan | : | Pertama, Maret 2021 |
Ketika santer kabar mutakhir mengenai Tiongkok yang perlahan menggeser posisi Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa, banyak pengamat bertanya, apakah negeri panda itu masih merupakan representasi dari sosialisme yang hendak mengungguli kapitalisme?
Pertanyaan tersebut tak bisa dianggap angin lalu. Apalagi AS sebagai poros kapitalisme/liberalisme saat ini mengalami kemelut internal yang belum kunjung membaik. Di sisi lain, banyak partai politik yang berhaluan sosialis rupanya sering memenangi pemilu di negara-negara kesejahteraandi Eropa.
Di Amerika Latin juga demikian, di mana sosialisme mampu menunjukkan keliatannya dalam bergumul dengan ajaran gereja yang memunculkan teologi pembebasan dan berhasil mendominasi perpolitikan yang dikenal dengan pink tide itu. Artinya, sosialisme yang dipropagandakan sebagai ideologi yang sudah bangkrut bersama tutupnya abad XX, ternyata saat ini masih segar-bugar menantang kapitalisme.
Lalu bagaimana dengan sosialisme di Indonesia? Bukankah sosialisme pernah menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia?
Buku Dawam Rahardjo yang berjudul “Sosialisme: dari Utopia ke Indonesia” yang ditulis dalam tahun-tahun terakhir sebelum wafat, mencoba menganalisis mengenai sosialisme dari awal kemunculannya di Eropa abad XIX, hingga nasibnya di Indonesia abad XXI. Jadi, buku ini semacam “biografi sosialisme”.
Tidak Bangkrut
Munculnya sosialisme di Eropa adalah reaksi atas kesenjangan sosial akibat kapitalisme/liberalisme. Sosialisme, dalam prosesnya kemudian menjadi dua gerbong, utopia dan ilmiah. Sosialisme utopia bersumber dari pemikiran atau bahkan angan-angan para tokoh visioner seperti Charles Fourier (1772-1837), Joseph Proudhon (1809-1865) dan Robert Owen (1771-1858) yang kemudian melahirkan gagasan mengenai sistem ekonomi koperasi. Sementara sosialisme ilmiah adalah pemikiran Marx-Engels alias marxisme.
Runtuhnya Uni soviet pada 1991 dan reformasi Tiongkok yang secara bertahap memeluk pasar bebas sejak Gaige kaifang 1978, membuat banyak pengamat menilai bahwa perang dingin yang berbasis ideologi sudah berakhir dengan kemenangan kapitalisme/liberalisme. Sosialisme dinyatakan bangkrut sebelum tutup abad XX.
Namun, dalam buku ini, Dawam Rahardjo termasuk orang yang menyanggah klaim kebangkrutan sosialisme. Baginya,
“Jika sosialisme yang dimaksud adalah sosialisme di Uni Soviet dan Eropa Timur, maka yang runtuh bukanlah ideologi sosialisme, melainkan komunisme. Jika yang dimaksud adalah China, maka negara itu hingga kini masih menamakan dirinya negara sosialis dengan melihat lembaga-lembaga ekonominya, seperti mekanisme perencanaan, perusahaan negara, dan sistem kesejahteraan atau koperasinya. Dan bahkan kini China seolah-olah telah lahir kembali menjadi negara adidaya baru yang mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat.” (hlm: 5).
Eksisnya sosialisme, bagi Dawam, bisa terlihat dari banyaknya fakta yang ada. Di antaranya, sosialisme itu masih menjadi ideologi yang menggerakkan di berbagai belahan dunia.
“Misalnya di negara-negara Amerika Latin yang mengalami “pink tide” atau gelombang pasang Neososialisme sebagaimana diusung Hugo Chavez (Venezuela) dan Evo Moralez (Bolivia), yang muncul dari dua hal, yakni kuatnya perlawanan atas neoliberalisme di satu pihak, dan suksesnya sosialisme China di pihak lain. Namun, Dawam juga menambahkan, bahwa hal tersebut rupanya bisa berlangsung cukup berhasil sebab adanya petro-ekonomi sebagai soft power, sesuatu yang tidak dipunyai Indonesia.” (hlm: 121).
Di lain pihak, sosialisme utopia, suatu varian sosialisme selain sosialisme ilmiah alias marxisme, justru berhasil juga mengejawantahkan diri dalam kenyataan sebagaimana adanya koperasi-koperasi yang cukup berhasil. Selain itu,
“Dalam skala kecil, insiprasi dari sosialisme utopia itu secara kreatif dapat dikembangan dalam pembangunan desa, kota-kota kecil atau kawasan pemukiman di kota-kota besar, baik dengan cara ‘hijrah’ atau membangun dari yang sudah ada misalnya di kampung-kampung kumuh di kota-kota besar.” (hlm: 126).
Sosialisme Indonesia?
Sosialisme pernah menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia. Para pemimpin pergerakan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, atau yang lebih tua seperti Tan Malaka, bahkan Tjokroaminoto, adalah sosok-sosok yang terinspirasi oleh sosialisme, yang mulanya dibawa Sneevliet. Sebab, sosialisme dipandang sebagai antitesis dari negara kolonial Hindia Belanda yang kapitalistik, dan dianggap sesuai dengan akar kebudayaan Nusantara yang sifatnya komunal dengan gotong-royongnya.
Dalam buku itu Dawam menjelaskan, menjadi wajar ketika Indonesia diproklamirkan pada 1945, konstitusi awal yang terbentuk sangat bernuansa sosialis. Sebagaimana tercermin dalam berbagai pasal UUD 1945, misalnya pasal 33, ayat 1, 3 dan 4. Selain itu, koperasi yang merupakan ejawantah dari salah satu varian sosialisme, dinyatakan sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Bahkan, Pancasila itu sendiri dianggap cenderung sosialis. (hlm: 322).
Yang unik adalah bagaimana Dawam secara jeli melihat ideologi sosialisme yang ternyata masih mewarnai Orde Baru. Padahal, sejauh ini Orde Baru dikenal alergi dengan “ekstrem kiri”. Namun, sosialisme masih punya jejak yang bisa dikenali, seperti pembangunan terencana, pengendalian pasar, pembangunan koperasi yang sampai menjangkau desa-desa di seluruh pelosok Indonesia, dan sebagainya. (hlm: 335). Apalagi banyak tokoh sosialis terserap dalam pemerintahan Orde Baru, seperti Adam Malik (eks Murba), atau Sumitro Djojohadikusumo (eks PSI). Secara akademik, wacana sosialisme mewarnai banyak kajian ilmiah yang secara kreatif menampilkan diri dalam ragam bentuk seperti ekonomi kerakyatan atau ekonomi Pancasila, sebagaimana nampak dalam jurnal Prisma, suatu jurnal bergengsi yang menjadi kancah pemikiran kritis, yang diampu oleh Dawam Rahardjo sendiri.
Baru pada 1998 ketika badai krisis finansial global turut menghempas Indonesia, membuat pemerintahan berhutang pada IMF dengan persyaratan sebagaimana tertuang dalam Letter of Intent (LoI), diantaranya adalah deregulasi pasar, swastanisasi dan cabut subsidi. Suatu kebijakan yang membuat Indonesia pasca reformasi 1998 semakin ke arah liberal. Suatu hal yang menyempal dari cita-cita kesejahteraan negara Indonesia.
Sementara itu, kran demokratisasi memang kembali mengalir setelah mampat pada era Orde Baru, namun ideologi sosialisme sepertinya sudah terlalu ringkih untuk membangun kekuatan politik. “Sosialisme telah menglami diaspora dalam bentuk ide-ide politik parsial dan pendukungnya terpecah dalam berbagai kelompok.” (hlm: 324).
Geser Bandul
Berkaca pada reformasi Tiongkok 1978 yang membawa negara itu secara cepat menjadi negara yang diperhitungkan dalam kancah global memasuki abad ke-21, reformasi Indonesia yang sudah berjalan 23 tahun semakin hari semakin membawa cita-cita kesejahteraan Indonesia jauh panggang dari api. Secara ekonomi masih bergantung pada industri ekstraktif, sementara jagat perpolitikan didominasi partai-partai yang tak punya orientasi ideologi, sekadar bersandar pada kepentingan dan kepemimpinan seseorang atau kelompok.
Akhirnya, menurut Dawam, ideologi sosialisme dengan wajah baru perlu didesakkan kembali untuk menggeser bandul negara saat ini condong ke liberal menjadi ke arah welfare.
*Penulis aktif di Gerakan Alternatif 21