Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Karena Mendagri, Gubernur Riau Keliru dalam Urusan PLT Sekwan dan Kadis | Kolom: Taufik
Sumber: Istimewa

Karena Mendagri, Gubernur Riau Keliru dalam Urusan PLT Sekwan dan Kadis | Kolom: Taufik



Taufik


Ada fenomena baru yang jarang ditemukan di Indonesia, walau kericuhan akibat ketidakterimaan atas penetapan pejabat kepala daerah telah banyak diprotes di berbagai daerah. Fenomena yang diungkapkan disini adalah hal baru yang tidak biasa terjadi di berbagai daerah manapun. Berdasarkan permaslaahannya yaitu terkait dengan proses pengangkatan Pejabat Kepala Daerah yang mana Pejabat Kepala Daerah tersebut setelah dilantik pada tanggal 23 Mei 2022 di PLT-Kan oleh Gubenur Syamsuar dari Jabatan sebelumnya. 

Pejabat Kepala Daerah tersebut adalah Muflihun sebagai Pejabat Wali Kota Pekanbaru dan Kamsol sebagai Pejabat Bupati Kabupaten Kampar. Muflihun sebagai sekwan dan Kamsol sebagai Kepala Dinas Pendidikan telah di bebas tugaskan dari jabatan sebagai kepala dinas pendidikan dan Sekretariatan Dewan.  Syamsuar mengatakan, saat pelantikan pejabat kepala daerah, yang dikutip dari sumber media bahwa; “Saya telah menujuk Pelaksana Tugas (PLT) bukan Pelaksana Harian (PLH),Jadi Lepas Tanggung-jawabnya di Sekretariatan DPRD Riau dan Dinas Pendidikan,” katanya. 

PLT yang ditunjuk oleh gubenur yakni M. Job yang merupakan Asisten II Setdaprov Riau untuk merangkap PLT Kepala Dinas Pendidikan Riau dan Joni Irwan yang merupakan Asisten III Setdaprov Riau untuk merangkap PLT Sekretaris DPRD Riau. 

Dalam definisi PLT adalah Pegawai yang ditunjuk dan diberikan mandate untuk mengisi jabatan kedinasan serta menduduki jabatan struktural tertentu dalam melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap. Sehingga dapat disimpulkan gubenur menujuk PLT lantaran pejabat definitif berhalangan tetap. 

Permasalahan ini sebenarnya butuh kajian dan pandangan dari perspektif hukum dan tata penyelenggaraan pemerintahan jika dilihat dari sudut persepektif peraturan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang pilkada pada pasal 201 ayat 10 dan 11, yang mana secara dalil mengatakan bahwa : “Kekosongan Jabatan Gubenur dapat diisi oleh pejabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Sedangkan untuk mengisi kekosongan jabatan bupati atau walikota dapat diisi oleh pejabat dari jabatan pimpinan tinggi pratama”. Dapat diartikan bahwa, status Pejabat Walikota Pekanbaru dan Pejabat Bupati Kampar didefinisikan dalam konteks syarat Pejabat kepala Daerah telah gugur secara definisi kepersyaratannya karena sebabnya seseorang jika ingin menjadi pejabat kepala daerah yang notabenenya adalah Pegawai Negeri Sipil jika terpilih menjadi kepala dinas, maka statusnya adalah sebagai  jabatan tertinggi pratama atau eselon II.  

Tapi pada konteks ini gubenur malah melakukan Penujukan PLT kepada yang bersangkutan di saat bersangkutan dilantik menjadi Pejabat kepala daerah. Hal ini yang menjadi perdebatan di publik sehingga harus diluruskan dengan cara pemahaman sisi regulasi dan bukan dari sisi argumentasi asumsi. 

Jabatan Tinggi Pratama merupakan Eselon II 

Sebelumnya Badan Kepegawai Daerah,mengatakan dalam sebaran media,bahwasannya,”kedua Pj tersebut bukan di-nonjob-kan dari jabatan sebelumnya, karena untuk menjadi Pj syaratnya adalah Eselon II. Jabatannya tidak hilang, jabatan Sekretaris DPRD Riau dan Kepala Dinas Pendidikan Riau tetap keduanya. Karena untuk menjadi Pj itu syaratnya menjabat eselon II,” ujarnya ikhwan. 

Jika mengamati steatment dari kepala BKD tersebut perlu di perdalam kembali apa yang di sampaikan olehnya yaitu pada kalimat,Pertama,jabatan tidak hilang. Kedua, jabatan kadisdik dan sekwan tetap beliau. Ketiga, menjadi PJ itu karena ada jabatan Eseleon II. Dengan apa yang disampaikan oleh gubenur dalam poin yang digarisbawahi yaitu, “Lepas tanggung jawab di jabatan dinas pendidikan dan sekretariatan dewan”.

Patut dianalisa mendalam dengan pendekatan struktur kajian. Dalam konteks peraturan yakni pada UU No 5 Tahun 2014,pasal 121 menjelaskan bahwa pada saat Undang- undang ini berlaku,terhadap jabatan PNS terjadi Penyetaraan yang mana pada poin (C) adalah: Jabatan Eselon II setara dengan jabatan Pimpinan Tinggi Pratama. Sehingga dalam penerjamahannya bahwa eselon II yang melekat pada struktur jabatan kepala dinas merupakan sisi lain dari struktur jabatan tinggi pratama, artinya dalam konteks ini Muflihun dan Kamsol adalah pejabat eselon II dan merupakan pejabat tinggi pratama 

Selain itu gubenur juga mengatakan mereka dilepas tanggung jawabkan sebagai kepala dinas pendidikan dan sekwan DPRD Riau. Artinya apa yang disampaikan oleh BKD dapat dikatakan tidak benar dan salah tafsir karena jika dilihat dari peraturan mereka itu juga merupakan eselon II dan juga sebagai pemegang jabatan tinggi pratama,kalau mereka di-PLT-kan artinya mereka secara kaedah peraturan telah di non aktifkan secara tetap dan bukan sifatnya sementara, terkecuali mereka bukan diPLT tapi di PLH Oleh Gubenur baru sifatnya jabatannya dinonaktifkan secara sementara. 

Berdasarkan peraturan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan menjelaskan perbedaan PLT dan PLH bahwa pelaksanaan harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara sedangkan pelaksaan tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap. 

Dari pernyataan yang disampaikan oleh Gubenur dan Kepala BKD dapat di telaah adanya kesalahan pemahaman terhadap integrasi komunikasi antara atasan dan bawahan dalam pengambilan keputusan untuk mem-PLT Kan seseoarang. Karena jika kamsol dan muflihun di PLT Kan secara tegas peraturan mengatakan tidak sah dan gugur kepersyaratan apabila yang bersangkutan menjadi pejabat kepala daerah. Tapi kalau konteksnya tidak mendapatkan tugas sebagai pejabat kepala daerah itu sah-sah saja dengan catatan harus melalui prosedur evaluasi dan kalau ada cacat dalam penyelenggaraan bisa gubenur melakukan tindakan untuk memberhentikan dari struktur jabatan kepala dinas. 

Hal ini juga dipertegaskan dalam PP Nomor 11 Tahun 2017 dan di perbaharui menjadi PP 17 tahun 2020.pada pasal 144 dan diperkuat dalam SE Nomor 2/SE/VII/2019 Membunyikan bahwa: “Apabila terdapat pejabat yang tidak dapat melaksankaan tugas atau terdapat kekosongan pejabat karena berhalangan sementara atau berhalangan tetap dan untuk tetap menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, Maka Pejabat diatasnya agar menunjuk pejabat lain di lingkungannya sebagai pelaksanaan harian atau pelaksanaan Tugas”. Sehingga konteksnya mereka saat ini berhalangan sementara bukan berhalangan tetap dan seharusnya yang bersangkutan cukup di PLH saja.  Patut di curigai ada dugaan apa dengan penujukan PLT tersebut yang syarat dalam kesalahan penafsiran regulasi. 

Sisih lain andai kata mereka selesai dalam menjalankan amanah sebagai pejabat kepala dinas atau dalam pertengahan satu tahun berjalan mereka di evalausi oleh mendagri melalui gubenur maka seyogianya timbul pertanyaan kemanakah mereka akan kembali ?. dan apakah mereka akan menduduki jabatan sebelumnya? Jelas jika menduduki jabatan sebelumnya tidak bisa karena mengharuskan melalui prosesdur kembali yaitu asessement jabatan jika kembali di instansinya bisa saja tapi tidak dalam konteks sebagai kepala dinas. Karena dalam peraturan cukup jelas bahwa penujukan PLT adalah penetapan tetap bukan sementara. 

Jikalau penujukan PLT adalah bentuk keseriusan gubenur untuk mencegah rangkap jabatan sehingga tidak fokus nantinya bagi pejabat yang bersangkutan. Ini adalah pilihan tepat dan bijak. Akan tetapi sebaiknya gubenur harus melakukan hal ini dari awal dan mengikuti prosedur secara regulasi dan tidak menabrak aturan karena apa yang dilakukan oleh gubenur dalam tafsiran peraturan kepegawaian, peraturan pilkada dan peraturan administrasi kepegawaian di duga salah mengambil keputusan dalam mem-PLT-kan kamsol dan muflihun apalagi dalam perkembangan saat ini inspektorat provinsi sedang dalam pemeriksaan di dua dinas ini yaitu dinas pendidikan dan sekertariatan dewan patut di duga ada muatan apa,kenapa dua instansi ini yang menjadi pilihan temuan pemeriksaan yag intensi setelah mereka saat nii sedang dalam memengang amanah PJ kepala daerah dan sebaliknya jika ini ada prasangka emosional gubenur dalam persoalan ini,ini lebih salah lagi sehingga gubenur melakukan tindakan di luar aturan. 

Karena Mendagri. 

Sisih lain jika melihat reviuw kebelakang penujukan PLT tentunya adalah penyebabnya karena kebijakan menteri dalam negeri. Tapi kalau dilihat dari awal permulaan masalah ini timbul sehingga ada spekulasi bahwa gubenur sakit hati,emosional dan marah atas putusan penujukan pejabat kepala daerah yang mana nama tersbut tidak atas dari usulan gubenur. Seharusnya gubenur melakukan tindakan di awal dengan membangun komunikasi secara masif di pemerintah pusat kalau pilihannya tetap itu yang akan ditunjuk oleh mendagri tapi komunikasi politik beliau lemah di pemerintah pusat tampak dari hasil sk yang turun. 

Selain itu,Karena kalau dilihat dalam aturan Peremendagri nomor 1 tahun 2018 jelas bahwa mendagri berhak menujuk pilihan untuk siapa menjadi PLT pada pejabat kepala daerah yang notabenenya adalah Bupati dan walikota demi kepentingan strategis. Masalahnya adalah  Mendagri juga tidak jujur atas kepentingan strategi apa yang dimaksud sehingga usulan gubenur di tepis semua.Jika ini ada muatan politik sebaiknya gubenur melakukan segera tindakan yang lebih konferensif yaitu mengkoordinasikan dengan daerah-daerah lain yang mana terdapat ketidaksepakatan dalam penujukan PJ Kepala daerah, untuk merancang bersama kepala daerah lainnya melakukan gugatan kepengadilan atas kebijakan yang salah dari mendagri. Apalagi dalam hal ini mendagri juga tidak menjalankan amar putusan Mahkama Konstitusi (MK). 

Tapi sebaliknya jika ini adalah emosi sesaat gubenur maka dapat dikatakan gubenur juga tidak baik dalam etika penyelenggaraan sehingga berdampak pada kerugian orang lain. Dalam proses penujukan PLT tersbut harus di tinjau kembali dari sudut pandang peraturan jangan sampai dugaan publik terkait dengan emosional gubenur menjadi bukti legitimasi benar adanya.


Penulis merupakan Manager Advokasi dan Jaringan FITRA