Jurnalisme, Sensasi dan Resiko Kerentanan Hidup; yang Luput dari Viralnya ‘OKB Tuban’
Oleh: Wahyu Eka S
Persoalan viralnya segelintir warga di tapak Proyek Strategis Nasional (PSN) mega proyek kilang minyak Pertamina yang bekerja sama dengan Rosneft Rusia, membuat sensasi yang mengundang decap kagum oleh sebagian orang dan juga semacam prihatin. Banyak komentar yang berseliweran mengenai fenomena tersebut, mulai dari anggapan soal orang kaya baru (OKB), ada pula yang menyesalkan tindakan mereka karena tidak berpikir secara jangka panjang dan ada pula yang hanya numpang panjat sosial atasnya.
Fenomena tersebut menarik untuk dibahas secara analitis terkait kerangka umum masa depan food security dan psikologis mengenai yang terjadi pada wilayah pesisir utara Pulau Jawa ini. Persoalan kilang minyak memang menjadi pro dan kontra, pihak pemerintah mengklaim akan meningkatkan kesejahteraan, tetapi pihak kontra merasa bahwa mereka akan tergeser dari pola ekonomi lokalnya. Dalam kajian agraria akan didapatkan kata kunci “depeasantization” seperti yang diungkapkan oleh McMichael (2012), sebagai suatu peristiwa di mana petani kehilangan lahannya dan memaksa mereka bekerja di luar pertanian (erosi praktik dan subtitusi rasionalitas pasar). Kondisi ini menjadi satu fenomena “modernisasi” Tuban selekas masuknya aneka industri rakus lahan dan berkaitan dengan unit usaha ekstraktivisme (pertambangan).
Belum ada survey yang mumpuni untuk menjelaskan berapa penurunan populasi pertanian di Tuban, lahan pertanian yang terus menurun, serta prediksi tentang penurunan input dan output pertanian. Apalagi situasi kini, selain lahan yang berkurang drastis juga input pertanian seringkali terganggu saat musim tanam karena faktor tidak menentunya cuaca sebagai imbas dari perubahan iklim. Selain itu juga karena intensifikasi pertanian mekanik dengan sokongan pupuk dan obat-obatan juga berpengaruh pada kesuburan lahan dan tentu hilangnya siklus alami ekologi tanah, sehingga salah satu dampaknya adalah resiko menurunnya kesuburan tanah semakin tinggi (Montgomery, 2017).
Resiko yang Luput Dari Pewartaan
Risiko penurunan pertanian yang secara tidak langsung memiliki keterkaitan erat dengan keamanan makanan atau food security sebagai salah satu instrumen umum yang disepakati adalah availability yang terkait juga dengan ketesediaan pangan baik dalam pasokan yang sangat dipengaruhi oleh produksi makanan, distribusi dan pertukaran (Gregory, Ingram & Brklacich, 2005). Berkenaan dengan persoalan pangan lainnya, yakni soal penggunaan lahan yang tidak semestinya dapat berganti menjadi area urbanisasi, rusak karena praktik pertanian yang tidak berkelanjutan atau hal lain yang berpotensi menghilangkan lahan (Godfray, et all, 2010).
Kondisi tersebut menjadi satu bingkai yang luput dari bahasan sebagaian media, yang hanya melihat pada sisi sensasi dan yang sedang naik daun, sebagai suatu fenomena yang dapat mengatrol pencapaian suatu hal, tanpa memikirkan persoalan yang sedang terjadi. Kondisi ini melupakan bagaimana proses pembangunan proyek tersebut yang jauh dari praktik demokratis dan pedoman hak asasi manusia. Adanya kriminalisasi yang tempo hari menyasar petani yang menolak kilang minyak, pemaksaan menerima suatu proyek tanpa melihat hak mereka yang dijamin negara melalui instrumen UUD NRI 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sehingga secara umum praktik di Tuban tidak jauh beda dengan yang terjadi di Kertajati, Jawa Barat atau di Kulon Progo, Yogyakarta. Sebuah pengusiran sistematis manusia dari tempat ia hidup menggunakan instrumentasi legal yakni undang-undang, yang secara tidak langsung dapat ditautkan sebagai bentuk abuse of power (human right abuses dan violating) atau penyalahgunaan kewenangan untuk merampas hak seseorang (Borras et all, 2016).
Selain itu, luputnya beberapa media dalam mengabarkan tentang bagaimana potensi kerentanan petani yang terkena imbas dengan mengabarkan berita tersebut. Secara tidak langsung juga bertanggung jawab atas psikis masyarakat yang memang ia merasakan betul proses perampasan lahan yang mereka alam. Karena tentu kelas pemilik lahan itu nyata adanya, mereka yang menjual lahan dan dapat ganti rugi besar rata-rata memiliki lahan yang luas dari 1 hektar hingga 2,5 hektar. Sementara yang di bawahnya mendapatkan lebih sedikit, belum lagi buruh tani atau petani penyakap (sewa).
Ada sekitar 348 hektare yang dikuasai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada lahan tersebut terdapat kurang lebih ada 799 petani penggarap pada lahan tesebut. Setelah dirata-rata dari jumlah luasan, ada petani yang menggarap sekitar 0,43 hektare lahan. Sementara pada lahan yang menjadi hak milik warga seluas 384 hektar tersebar di tiga desa, yakni Sumurgeneng, Wadung dan Kaliuntu, terdapat kurang lebih 800-900 petani dan setelah dirata-rata mengelola 0,4-0,7 hektare (Setyawan, 2020).
Inilah faktor kerentanan yang tidak diceritakan, artinya faktor sensasional menutupi potensi kerentanan yang mungkin terjadi di masa depan. Memang persoalan ekonomi berbasis mikro dan makro selalu diperdebatkan, tetapi hingga sekarang perekonomian level mikro yang berkelanjutan telah terbukti menjadi satu potret pengelolaan jangka panjang, sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat adat Badui dalam di Jawa Barat dan Banten sana. Karena perekonomian berkelanjutan berbasis pada kelestarian dan kebahagiaan memang harusnya menjadi platform yang seharusnya didorong. Belajar dari pengalaman masyarakat adat.
Pewartaan dan Kemanusiaan
Berkaitan dengan ini kondisi psikologis turut dipengaruhi, karena dalam konteks komunikasi yang seperti peluru tajam, siap menghantam seseorang dengan suatu informasi, melalui framing yang coba dibuat untuk menarik sensasi tetapi berimplikasi pada bagaimana anggapan khalayak (Croteau & Hoynes, 2013). Serta telah menurunkan moral dari mereka yang masih teguh pada keyakinan dan memang memiliki lahan sempit yang tak mampu berpamer ria. Dan, tentu ini semakin menurunkan semangat mereka sebagai bentuk self esteem atau kepercayaan diri yang terkikis oleh anggapan, bahwa berjuang untuk lahannya hanya untuk materi yang lebih besar (Steinsbekk et all, 2021).Kondisi ini tentu selain mempengaruhi mereka yang masih bertahan, juga menjadi pengaruh bagi mereka di wilayah lain yang sedang berjuang mempertahankan wilayahnya.
Salah satu yang menarik dikritisi adalah bagaimana faktor penggunaan berita sensasional juga sangat berpengaruh pada bagaimana seharusnya jurnalisme bekerja. Setiap pemberitaan seharusnya bertanggung jawab atas keakuratan. Seharusnya memang pewartaan memberikan konteks yang sesuai dan berhati-hati untuk tidak memberikan gambaran terlalu menyederhanakan dalam mempromosikan, melihat sebuah pratinjau, atau meringkas sebuah cerita. Tentu persoalan ini juga berkaitan dengan cara pengidentifikasian sumber dengan jelas. Ini semua terangkum dalam lima prinsip universal jurnalisme, kebenaran dan akurasi, independensi, keadilan dan tidak memihak, kemanusiaan dan akuntabilitas.
Masyarakat berhak atas informasi sebanyak mungkin untuk menilai keandalan dan motivasi sumber. Pewartaan harus waspada dan berani meminta pertanggungjawaban mereka yang memiliki kekuasaan. Memberikan suara kepada yang tidak bersuara. Mendukung pertukaran pandangan yang terbuka pada masyarakat sipil, bahkan pandangan yang mungkin bertentangan dengan situasi mainstream. Hal itu juga diperjelas oleh Cohen-Almagor (2014) jurnalis memang seharusnya memegang sumpah dengan setia dan tanpa prasangka, dengan mengambil bagian dalam praktik jurnalisme, mendapatkan rasa hormat dari publik. Dengan tetap berpedoman pada sumpah mereka dan etika jurnalisme, tetap menjadi sumber informasi untuk pengetahuan publik.
Referensi
Borras, S. M., Seufert, P., Backes, S., Fyfe, D., Herre, R., Michele, L., & Mills, E. N. (2016). Land grabbing and human rights: The involvement of European corporate and financial entities in land grabbing outside the European Union. |
Cohen-Almagor, R. (2014). Towards responsible journalism: Code of practice, journalist oath and conscience clause. Ethical Space, 11(1-2), 37-43. |
Croteau, D., & Hoynes, W. (2013). Media/society: Industries, images, and audiences. Sage Publications. |
Godfray, H. C. J., Beddington, J. R., Crute, I. R., Haddad, L., Lawrence, D., Muir, J. F., … & Toulmin, C. (2010). Food security: the challenge of feeding 9 billion people. science, 327(5967), 812-818. |
Gregory, P. J., Ingram, J. S., & Brklacich, M. (2005). Climate change and food security. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 360(1463), 2139-2148. |
McMichael, P. (2012). Depeasantization. The Wiley‐Blackwell Encyclopedia of Globalization. |
Montgomery, David. R. (April, 14, 2017). Make our soil great again. Diakses dari https://theconversation.com/make-our-soil-great-again-76242 |
Setyawan, Wahyu. Eka. (September, 1, 2020). Negara Hadir di Kilang Minyak Tuban untuk Merampas Ruang Hidup Rakyat. Diakses dari https://indoprogress.com/2020/09/negara-hadir-di-kilang-minyak-tuban-untuk-merampas-ruang-rakyat/ |
Steinsbekk, S., Wichstrøm, L., Stenseng, F., Nesi, J., Hygen, B. W., & Skalická, V. (2021). The impact of social media use on appearance self-esteem from childhood to adolescence–A 3-wave community study. Computers in Human Behavior, 114, 106528. |
Sumber lain: https://ethicaljournalismnetwork.org/who-we-are/5-principles-of-journalism |