Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kepala perunding nuklir Iran Ali Bagheri Kani mengadakan pertemuan dengan Enrique Mora dari UE di Wina menjelang pembicaraan pleno tentang menghidupkan kembali JCPOA, yang dijadwalkan Senin sore. Foto: Iran Official News.
Kepala perunding nuklir Iran Ali Bagheri Kani mengadakan pertemuan dengan Enrique Mora dari UE di Wina menjelang pembicaraan pleno tentang menghidupkan kembali JCPOA, yang dijadwalkan Senin sore. Foto: Iran Official News.

Jelang Pertemuan Wina, Rusia Ingin Menarik Diri dan Barat Ragukan Keseriusan Iran



Berita Baru, Wina – Jelang pertemuan Wina yang akan diselenggarakan Senin (29/11) sore waktu setempat, Rusia ingin menarik diri karena pihaknya tidak menemukan alternatif yang masuk akal.

Delegasi dari Rusia, Mikhail Ulyanov mengatakan pihaknya ingin mengundurkan diri dari perjanjian karena tidak menemukan alternatif terkait kesepakatan nuklir Iran 2015.

“Hitung Rusia keluar, tolong. Kami sepenuhnya menyadari semua masalah di Pertemuan Wina tetapi tetap optimis dengan hati-hati. Alasan untuk optimisme yang hati-hati ini sangat sederhana: kami tidak memiliki alternatif yang masuk akal dan dapat diterima untuk kesimpulan yang berhasil dari pembicaraan tentang JCPOA,” katanya di Twitter, Senin (29/11).

Selain itu, Barat ragukan keseriusan Iran dalam melanjutkan pembicaraan terkait kesepakatan nuklir Iran 2015 (JCPOA).

Di satu pihak, Iran tetap berpegang teguh pada pendiriannya yang keras di mana pihaknya ingin agar sanksi atau embargonya dicabut meskipun produksi uranium yang diperkaya Iran dilaporkan telah jauh melebihi kesepakatan.

Di sisi lain, Barat atau kekuatan dunia yang diwakili oleh Dewan Keamanaan PBB semakin frustrasi untuk mencari jalan keluar dan harapan akan terobosan tampak tipis.

Para diplomat mengatakan waktu hampir habis untuk menghidupkan kembali kesepakatan tersebut.

Kesepakatan tersebut mulai kacau pada tahun 2018 saat AS di masa kepemimpinan Donald Trump menarik diri dari kesepakatan dan memberikan sanksi keras pada Iran. Sikap ini kemudian membuat marah Iran dan mencemaskan kekuatan lain yang terlibat, diantaranya Inggris, Cina, Prancis, Jerman, dan Rusia.

Sejak saat itu, berbagai upaya dilakukan oleh Barat untuk mengembalikan kesepakatan. Enam putaran pembicaraan tidak langsung diadakan antara April dan Juni 2021. Namun, tidak menghasilkan kesepakatan yang jelas.

Upaya baru dilakukan, namun dijeda lantaran pemilihan presiden baru Iran. Ebrahim Raisi menjadi presiden baru yang dikenal masyarakat internasional sebagai pemimpin yang keras.

Presiden Raisi kemudian menunjuk tim perunding baru dan menetapkan tuntutan yang dianggap tidak realistis oleh diplomat AS dan Eropa.

Mereka termasuk bersikeras bahwa semua sanksi AS dan Uni Eropa yang diberlakukan sejak 2017, termasuk yang tidak terkait dengan program nuklir Iran, dibatalkan.

Secara paralel, konflik Iran dengan pengawas atom PBB, yang memantau program nuklir, telah memburuk.

Iran telah terus maju dengan program pengayaan uraniumnya dan IAEA mengatakan para inspekturnya telah diperlakukan secara kasar dan menolak akses untuk memasang kembali kamera pemantau di situs yang dianggap penting untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu.

“Jika Iran berpikir dapat menggunakan waktu ini untuk membangun lebih banyak pengaruh dan kemudian kembali dan mengatakan mereka menginginkan sesuatu yang lebih baik, itu tidak akan berhasil. Kami dan mitra kami tidak akan melakukannya,” kata utusan AS Robert Malley kepada BBC Sounds Sabtu ini, dilansir dari Reuters.

Dia memperingatkan bahwa Washington akan siap untuk meningkatkan tekanan pada Teheran jika pembicaraan gagal.

Sementara itu, para pejabat Iran bersikeras menjelang Senin bahwa fokus mereka adalah murni pencabutan sanksi daripada masalah nuklir. Menyoroti itu, 40 delegasinya yang kuat sebagian besar termasuk pejabat ekonomi.

“Untuk memastikan setiap kesepakatan yang akan datang benar-benar kuat, Barat perlu membayar harga karena gagal menegakkan bagiannya dari tawar-menawar. Seperti dalam bisnis apa pun, kesepakatan adalah kesepakatan, dan melanggarnya memiliki konsekuensi,” negosiator nuklir utama Iran, Ali Bagheri Kani mengatakan dalam kolom menantang di Financial Times pada hari Minggu (28/11).

“Prinsip ‘kepatuhan timbal balik’ tidak dapat menjadi dasar yang tepat untuk negosiasi karena pemerintah AS yang secara sepihak meninggalkan kesepakatan,” imbuhnya.

Para diplomat mengatakan Washington telah menyarankan untuk merundingkan kesepakatan sementara terbuka dengan Teheran selama kesepakatan permanen tidak tercapai.

Kegagalan untuk mencapai kesepakatan juga dapat memicu reaksi dari Israel yang mengatakan opsi militer akan dibahas.