Jelang IPO Harita, JATAM Peringatkan OJK dan BEI Terkait Kejahatan Lingkungan-Kemanusiaan Harita Group
Berita Baru, Jakarta – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) telah menyurati secara resmi dua institusi penting terkait dengan investasi, pasar modal dan keuangan yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI), pada Kamis, 30 Maret 2023, lalu.
Kepala Divisi Hukum JATAM, Muh. Jamil menyebut bahwa langkah ini terkait dengan rencana penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO) oleh PT Trimegah Bangun Persada, sebuah perusahaan tambang nikel milik Harita Group, yang beroperasi di Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
“Beragam hal melatarbelakangi JATAM dalam mengirimkan surat ini. Sebagaimana dituangkan dalam surat JATAM tersebut yang berisi sepuluh poin utama. Yakni, IPO saham PT Trimega Bangun Persada, berlangsung di tengah meluasnya kerusakan lingkungan dan derita warga di Kawasi, Halmahera Selatan, Maluku Utara,” kata Muh. Jamil dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (13/4).
Jatam menilai operasi PT Trimegah Bagun Persada, bersama PT Gane Sentosa Permai, PT Halmahera Persada Lygend, PT Megah Surya Pertiwi, dan PT Halmahera Jaya Feronikel di Pulau Obi—seluruh perusahaan itu berada dibawah naungan Harita Group, telah meluluhlantakkan wilayah daratan/lahan perkebunan warga, mencemari sumber air, air sungai, dan air laut.
“Mencemari udara akibat debu dan polusi yang berdampak pada kesehatan warga, hingga memicu konflik sosial akibat intimidasi dan kekerasan berulang terhadap warga yang mempertahankan tanah-ruang hidupnya,” ungkap Muh. Jamil.
Selain itu, menurut Jatam pencaplokan lahan secara sepihak juga dilakukan oleh PT Trimegah Bangun Persada, bersama sejumlah perusahaan lainnya milik Harita Group, tanpa negosiasi dan ganti rugi yang adil. Hal ini setidaknya dialami Lili Mangundap dan empat keluarga pemilik lahan di Kawasi.
“Ganti rugi paksa dilakukan hanya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Halmahera Selatan Nomor 117 Tahun 2017 yang mengatur harga untuk tanaman jambu, dengan rincian: per satu pohon hambu berbuah dihargai Rp75.000, tidak berbuah Rp35.000, dan yang kecil atau anakan seharga Rp6.000. Di luar jenis tanaman itu dianggap tidak bernilai secara ekonomis,” terangnya.
Tak hanya itu, bahkan seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Warga yang sebelum tambang masuk dan beroperasi bisa mendapatkan air secara gratis, kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air telah tercemar.
“Terkonfirmasi juga telah terjadi pencemaran ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Kawasi, Pulau Obi. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan. Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas perusahaan mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan tercemar logam berat,” ukap Jamil.
Dijelaskan Melky Nahar, selaku Koordinator JATAM Nasional, bahwa merujuk pada penelitian yang dilakukan Muhammad Aris dalam jurnal “Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histophathological of Marine Fish, in the Obi Island, Indonesia” (2020)12, polusi logam berat di perairan pulau Obi terakumulasi dalam fisiologi ikan-ikan.
“Logam yang mengkontaminasi perairan laut bisa dimakan plankton, lalu plankton dimakan ikan kecil dan ikan besar,” katanya.
Dalam keteranganya Melky Nahar juga mengungkap, PLTU batubara yang menjadi penunjang operasi PT Trimegah Bangun Persada dan sejumlah perusahaan lainnya dibawah Harita Group, juga telah mencemari udara dan menyebabkan kesehatan warga terganggu.
“Jaraknya begitu dekat dengan pemukiman, sehingga debu, kebisingan, dan lingkungan yang kotor mesti dihadapi warga. Saat musim panas, peralatan dapur, meja makan, kursi, lantai, hingga dalam kamar penuh dengan debu dari aktivitas perusahaan dan debu batubara,” urainya.
Warga mengaku, kata Melky Nahar, hampir setiap hari ada anak-anak kecil dan dewasa yang dibawa ke fasilitas kesehatan desa yang, peralatan medisnya tidak lengkap. Para petugas di Polindes Kawasi mengaku jika infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan paling utama di Kawasi.
“Kebanyakan pasien adalah balita. Tercatat ada 124 bayi berusia 0-1 tahun yang mendatangi Polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283, menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sebanyak 179 orang,” katanya.
Berangkat dari seluruh fakta-fakta di atas, Jatam menilai, diketahui operasi PT Trimegah Bangun Persada, serta seluruh perusahaan Harita Group di Kawasi selama ini, tidak mematuhi prinsip-prinsip Environment, Social, dan Governance (ESG).
Sebaliknya, seluruh prinsip-prinsip ESG tersebut justru dilabrak, sebagaimana operasi perusahaan yang secara terbuka merampas hak-hak warga Kawasi dan lingkungan hidup yang sehat dan lestari.
“Jika rencana IPO saham PT Trimegah Bangun Persada hendak diteruskan, maka pihak perusahaan harus menerbitkan pernyataan tertulis secara terbuka, baik untuk bertanggung jawab atas seluruh tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang sudah dilakukan, maupun untuk memastikan agar infrastruktur ekologis pulau dan perairan pesisir tidak dirusak, terutama dalam kaitan dengan rencana pembuangan limbah cair di wilayah hutan pulau Obi,” kata Melky Nahar.
Dengan demikian berbagai entitas calon pembeli saham maupun mereka yang sudah menyanggupi untuk membeli, sebelum melakukan transaksi telah mengetahui bahwa investasi dana segar yang mereka pertaruhkan tidak mungkin masuk dalam kategori investasi ethical.
Pertimbangannya, kata Melky Nahar, jelas dan sederhana. Investasi PT Trimegah Bangun Persada menjanjikan pemasukan pendapatan raksasa, akan tetapi seluruh proses produksinya berlangsung di medan operasi pertambangan dan pengolahan bahan baterai dengan skala kerusakan yang sama sekali tidak mungkin dipulihkan.
Pelanjutan proses IPO akan secara langsung memicu percepatan prospek perburukan kondisi lingkungan hidup maupun nasib warga penghuni pulau, baik di daratan dan perairan pulau Obi, maupun di sekujur perairan laut Halmahera yang tidak mungkin bebas sepenuhnya dari pencemaran limbah pertambangan terbuka dan proses HPAL.
“Di akhir, JATAM juga mengingatkan, bahwa Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia sebagai regulator transaksi keuangan dan penyelenggara pasar modal dan keuangan tertinggi di Indonesia, ikut dan wajib bertanggung jawab atas pembangkitan kerusakan ekologis dari investasi PT Trimegah Bangun Persada di Pulau Obi dan perairannya, beserta resiko pembengkakan biaya biaya mitigasinya, seandainya mungkin untuk dilakukan,” pungkas Melky Nahar.